Thursday, October 27, 2005

“Semangat” di Tengah Konflik Multikultural

Kehidupan di Indonesia bergeser ke arah multikultural. Kehidupan multikultural berkembang di masyarakat dengan beragam latar dan keinginan yang berbeda-beda. Nilai-nilai budaya kini syarat dengan masalah minoritas, rasial dan etnik, serta agama. Carut marut ekonomi dan sosial, pendidikan dan konflik rasial dan etnik serta agama makin nyata. Masalah aliran sesat, penolakan terhadap perubahan, korupsi, dan terorisme menjadi serba dilematis. Sebagian orang rigid, eksklusif dan ekstrim. Sebagian lainnya, nampak menjadi sangat liberal, individualistik dan membawa perubahan cepat tak terkendali. Mereka membentuk kelompok-kelompok militan, membangun jaringan untuk tetap eksis. Kesemuanya membawa pada situasi serba problematik. Lantas, jalan keluarnya bagaimana?

***


“Semangat” di Tengah Konflik Multikultural

Oleh: Najlah Naqiyah


Kehidupan di Indonesia bergeser ke arah multikultural. Kehidupan multikultural berkembang di masyarakat dengan beragam latar dan keinginan yang berbeda-beda. Nilai-nilai budaya kini syarat dengan masalah minoritas, rasial dan etnik, serta agama. Carut marut ekonomi dan sosial, pendidikan dan konflik rasial dan etnik serta agama makin nyata. Masalah aliran sesat, penolakan terhadap perubahan, korupsi, dan terorisme menjadi serba dilematis. Sebagian orang rigid, eksklusif dan ekstrim. Sebagian lainnya, nampak menjadi sangat liberal, individualistik dan membawa perubahan cepat tak terkendali. Mereka membentuk kelompok-kelompok militan, membangun jaringan untuk tetap eksis. Kesemuanya membawa pada situasi serba problematik.

Meningkatnya isu multikulturalisme saat ini, menuntut orang untuk memiliki wawasan pendekatan post-modernisme tentang manusia. Isu-isu berseliweran, seperti, persamaan sosial (equality social), gender, kelompok minoritas dan marginal, dan pemberdayaan serta pembebasan perempuan, dan lebih khusus lagi meningkatnya kekuatan kelompok militan. Pertanyaannya adalah, Bagaimana menghadapi kultur populasi yang berbeda-beda di masyarakat kontemporer? Masyarakat kontemporer membutuhkan pencegahan stress, strategi menciptakan pertumbuhan, membangkitkan visi dan inspirasi individu memperoleh rasa kompeten, mencari jalan keluar dari kesulian-kesulitan kejiwaan, menemukan pemahaman, dan peka terhadap konteks masyarakat. Lalu, apa implikasi bagi masyarakat miskin, yang kebutuhannya tidak terpenuhi?

Ekonomi global menggilas orang-orang miskin. Kebutuhan pangan mahal. Sedangkan pendapatan kurang, bahkan tidak menentu. Masyarakat bawah terseret mundur oleh laju kehidupan post-modern. Terjadi kesenjangan antara masyarakat tradisional dan post-modern. Orang-orang tradisional ada di desa, dan terpinggirkan dari jantung kota. Jumlah orang-orang miskin meningkat hingga 30% setelah kenaikan BBM. Demikian juga angka statistik masyarakat miskin mencapai 60 juta. Mereka menjadi tanggungan bangsa Indonesia. Bagaimana menyikapi keadaan miskin di era ekonomi global ini? Orang-orang miskin bukan saja kekurangan harta benda. Orang miskin juga terancam kehilangan semangat untuk hidup. Semangat kompetisi rendah dan mereka lari dari masalah dan putus asa. Salah satu tugas bersama kita ialah saling memberi semangat agar mampu merubah diri ke arah hidup lebih baik.

Adler dan pengikutnya menganggap bahwa pemberian semangat/dorongan adalah aspek krusial dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia. “setiap langkah hidup, kita harus memberi dorongan/semangat untuk tumbuh kembang. “betapa pentingnya untuk setiap saat memperbaharui semangat/dorongan”. Keterampilan memberikan semangat/dorongan termasuk mengungkapkan keresahan yang dialami oleh masyarakat, aktif mendengarkan dan empatik. Komunikasi yang respek memberikan rasa percaya; fokus pada kekuatan, aset-aset dan sumber-sumber; untuk membantu menemukan persepsi alternatif dari dorongan kepercayaan yang salah, memfokuskan kemajuan dan usaha dan membantu orang menemukan humor dari pengalaman hidupnya. (Adler, 1956. et.al.)

Proses memberi semangat/dorongan sendiri bisa dilakukan oleh orang tua, guru, konselor, tokoh pemerintah dan tokoh agama serta teman sebaya. Ada tiga proses memberi semangat, yaitu pandangan tentang perilaku malasuai (prespective on maladjustment), hubungan (relationship), dan fasilitas perubahan.

Pertama, definisi masalah dan perilaku malasuai. Orang yang bermasalah bukanlah orang sakit, dan tidak memberi “label” untuk mendiagnosanya. (Dejong, 1998 et.al). Littrell menyatakan bahwa orang bermasalah disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, “demoralized’ atau kehilangan semangat/dorongan, “discouraged”. Jika seseorang hanya kehilangan harapan, maka salah satu tugas konselor/guru/tokoh agama/aparat pemerintah ialah membantu proses membongkar harapan yang hilang. Dreikurs (1967) menulis bahwa orang yang memiliki semangat akan memfungsikan hidup secara penuh, sebaliknya, orang yang kehilangan semangat, akan rusak dan tidak bisa berfungsi secara lebih baik.

Kedua, Hubungan dengan orang lain menggunakan berbagai macam kata, seperti kerjasama, kolaborasi, persamaan, timbal balik, optimis, saling hormat dan berbagi. (“cooperative”, “collaborative”, “egalitarian”, “mutual”, “optimistic”, respectfull”, dan “shared” ). (Dejong & Berg, 1998. et.al,.). Untuk mengembangkan hubungan dengan orang lain, memfokuskan pada kekuatan aliansi, kepercayaan terhadap orang lain, dan mengeksplorasi kompetensi. Littrell mengatakan, strategi dan teknik tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan keramahan, ketulusan, dan empatik dalam keseluruhan proses membina hubungan. Menurut Aliran Adler, kekuatan hubungan dicapai dengan model interes sosial. Model interes sosial memiliki kesamaan juga dengan aliran Rogers yaitu, menekankan pada memfasilitasi kondisi bagi perubahan yang “sesuai” dengan lingkungan, penuh hormat, empati dan memahaminya. Ini untuk menumbuhkan semangat dan membantu menerima pengalamannya agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Ketiga, memfasilitasi perubahan. Orang perlu dibantu untuk menemukan solusi dari problem/kegagalannya baik sikap dan perilaku. kemudian menunjukkan asset-aset dan sumber-sumber dan kekuatannya untuk melawan kekurangan dan keterbatasannya. O’Hallon 1993 et.al mengemukan tiga bagian yang digunakan, yaitu:
(1) Perubahan “kerja” (doing) terhadap situasi yang dirasakan problematik. Membantu orang untuk merubah aksi dan interaksi yang membebaskan. “menggunakan aksi lain yang tidak lazim agar lebih menguntungkan untuk keluar dari situasi daripada mengulang kembali ketidaksuksesannya”.
(2). Perubahan “pandangan” (viewing) terhadap situasi yang dirasakan problematik. Memfasilitasi perubahan pandangan sesuai dengan cara berpikirnya “ frames of reference”. Perubahan cara pandang memungkinkan untuk menciptakan perubahan tingkah laku yang menimbulkan kekuatan dan kemampuannya.
(3) Menimbulkan sumber-sumber, solusi dan kekuatan menghadapi situasi yang dirasakan problematik. Dengan mengingat kemampuan yang dimiliki, sumber-sumber, dan kekuatan akan menciptakan perubahan perilaku atau persepsi untuk terus tumbuh kembang.

Pada akhirnya, multikulturalisme menuntut manusia untuk saling memberikan semangat antara satu dengan yang lain. Pemberian semangat menekankan pendengaran empatik, penerimaan tanpa menilai, respek terhadap orang lain, mengembangkan hubungan kolaboratif dan egaliter, menyampaikan keyakinan dan kepercayaan bagi orang lain, menghargai orang lain membuat keputusan. Berfokus pada kekuatan yang memungkinkan berkembang, mengidentifikasi kepercayaan yang salah, dan memfasilitasi orang lain membuat pandangan alternatif serta usaha dan penguasaan proses daripada “penyelesaian hasil”. Di sinilah, pentingnya kita menyadari bahwa manusia itu satu, saling bersaudara antara satu dengan yang lain. Semua adalah ciptaan Allah SWT.

Tuesday, October 25, 2005

Asghar A Engineer: On Ta'lim-o-Tarbiyyat (Upbringing) of Muslim Children in India

Saya merasa tersentuh dengan tulisan Asghar Ali Engineer, salah seorang pemikir Muslim India, berjudul: "On Ta'lim-o-Tarbiyyat (Upbringing) of Muslim Children in India". Saya membaca, meresapi, dan membandingkan dengan Indonesia meskipun tulisan itu ditulis pada tahun 2004. Saya sedang merenungkan. Sebelum saya tuangkan review terhadap tulisan itu, ada baiknya saya posting di sini terlebih dahulu. Silahkan dilihat dengan meng-klik ke dalam. Tulisan yang sangat menarik. Dalam salah satu alenia, Asghar menulis:

"... Thus in this world of consumerism one has to teach moderation to the child and virtues of basing life on basic material necessities and spiritual richness. For this one needs to cultivate virtues of patience and truth (in Qur'anic words sabr and haq). These virtues lead to inner peace and sobriety. The life should be, as Iqbal also says jahd-e-musalsal (constant and meaningful struggle) is the law of life. A child should be made aware of this need for jahd-e-musalsal enriching life and making life meaningful. Only one who strives to struggle would die with satisfaction of achievement..."

***


On Ta'lim-o-Tarbiyyat (Upbringing) of Muslim Children in India

July, 2004

by Asghar Ali Engineer



This might appear somewhat odd subject for Islam and Modern Age series but I feel is important as future of the community depends very much on upbringing of our young ones, especially in a country like India. India is a home to more than 140 million Muslims of highly diverse cultural and social origins. For Muslims India is a country of challenges and opportunities. India is a non-Muslim country but certainly not un-Muslim country. We can call it, if I am permitted to do so, as proto-Muslim country.

Also, India has been home to Islam as long as Islam has existed. It has deeply influenced India and has in turn been influenced by Indian society and culture. India thus has composite culture. Right from Kashmir to Kanyakumari Sufis have played very important role in shaping Indian Muslim ethos. Thus Indian Islam has been very liberal and humane and open. This is its real strength.

Many Muslims came from Central Asia, Iran and Turkey but they never hesitated to accept composite identity. Amir Khusro, the celebrated poet and musician and disciple of the great Sufi Saint Hazrat Nizamuddin Awliya was first generation Muslim. His father had migrated from Central Asia. But Khusro completely identified himself with India and Indian culture. He even wrote many verses one line in Persian and another in Brijbhasha. And Khusro was no exception. The Indian Muslim rulers with few exceptions also adopted Indian customs, traditions and cultural ethos and patronised Indian music, painting and literature. Rulers like Ibrahim Adil Shah of Bijapur were even known as 'Jagat Guru'.

Alberuni studied Indian scriptures and acquired profound knowledge of Indian religions and philosophy and wrote a classical book Kitab al-Hind. Dara Shikoh who was appointed heir apparent by Emperor Shah Jahaan was great scholar of Sanskrit and Hindu philosophy and translated Upanishads into Persian under the title of Sirr-e-Akbar. Many more such examples can be given.

It is to show that Indian Muslims were profoundly influenced by Indian culture and did not hesitate to accept it and make rich contributions to it. Thus Indian Islam has unique character of its own and several generations of Muslims have been brought up under these cultural ethos. The Indian 'ulama also characterised India as Darul Aman (abode of peace) and when the British established its political hegemony over India fought shoulder to shoulder with Hindu brethren for India's freedom.

II

Indian Muslims live under this ethos and value both their Islamic as well Indian identity. They are as much proud of being Indian as being Muslim. All our Islamic festivals also have been influenced by Indian ethos. One has to bring up Muslim children in this atmosphere. It is both a challenge and unique opportunity. Today unfortunately communal and fundamentalist forces are on the rise and are posing great challenge to our humane, open and liberal culture. It is one of the greatest challenges facing us.

On the other hand, onslaught of globalisation and consumerism poses its own challenge. Globalisation and consumerism stress nothing but instant gratification of our instinctual demands reducing our life to mere a project for pleasure seeking. It is modern form of hedonism. We are being invaded all around by pop culture and pop way of life devoid of any meaning or concern for social and transcendental values.

Thus those responsible for bringing of young ones have to face these challenges. Those responsible for upbringing can be divided into three categories: parents, teachers and imams or clergy. All three play an important role in upbringing or ta?lim-o-trabiyyat of younger generation. But in case of upper class children, perhaps imams or members of clergy hardly have any role. They are educated in western atmosphere and are fluent only in English language and hardly ever attend mosques. They are hardly educated in Islamic tradition. They might even be indifferent to religion and religious values.

These actors i.e. parents, teachers and imams can and should play an important role in proper upbringing of young children. The first most important role is of course played by parents, and specially mothers. It is regrettable that among Indian Muslims the rate of literacy is extremely low among women. Illiterate or less literate mothers cannot really prepare their children for facing acute challenges of life. Thus there is great urgency for spreading education among Muslim women.

In fact responsible parenting requires equal share of responsibility between father and mother. However, in traditional households it is mother who shares this responsibility and that is why educated mother can discharge this responsibility much better. In urban areas female education among Muslims is, of course, on the rise and this augurs well for coming generations. Like others Muslim girls are far better achievers than boys in various examinations.

Muslim men are also not far ahead in the field of literacy. Most men in urban areas are artisans and in rural areas landless labourers, besides being rural artisans. Others in urban areas do odd jobs and belong to unorganised sectors. There are very few middle class professionals, businessmen and industrialists. For artisans, labourers and workers belonging to unorganised sectors life is a prolonged or unending struggle and their children are deprived even of elementary schooling. What we are discussing here hardly ever applies to them. Their children are brought up in ramshackle homes or even on footpaths. They enjoy no comforts and education is luxury for them.

Some of them may have chance to attend madrasas where maulavis or imams of the mosque play a role in shaping their mindset. Their natural or work environment plays greater role in their upbringing. In rural areas too, either they can avail of madrasa education or elementary school education. They have hardly any chance for going for higher education. Their parents are also generally illiterate and follow age- old customs and traditions. For them Islam is nothing but aggregate of these customs and traditions. They are much more integrated with general rural atmosphere.

Thus what we are going to discuss applies more to a small (though not insignificant) urban middle class Muslims. It should be remembered that India is a secular democratic country and schools impart secular education. Also, middle class children generally do not go to madrasas and also not all of them go to mosques for prayers so as to come under the influence of imams. It is another irony that most of the imams in mosques are semi-literate lot who come from very poor and backward families and are working as imams precisely because they are not educated enough to go for any other secular profession. Thus they tend to be very conservative and can hardly appreciate modern problems and challenges.

III

It was necessary to throw light on all these aspects of Indian situation so that we can put the question of ta?lim-o-tarbiyyat in proper perspective and appreciate the kind of challenges facing Muslim children in Indian society today. Our discussion will relate mainly to children of middle class families living in urban or semi-urban areas. It is quite likely that in these families both parents are likely to be educated. Of course there are cases of some upward mobile artisan families who have achieved economic success, are not educated themselves but want their children to be better educated.

Most of the children of these families go to secular institutions for education, private or governmental. There are very few schools and colleges run by Muslims and even in these institutions prescribed syllabus has to be followed and there is very little or no time for religious education. And since these institutions are poor in resources cannot employ more competent teachers and thus standard of education is not very satisfactory. And since most of these institutions are government aided they cannot impart religious education of any kind. Mostly the school going Muslim children have to be tutored at home as far as religious education is concerned.

The mullah who comes home to impart religious instructions to middle class children is semi-literate and is ill equipped to prepare a child for coming challenges of modern, composite and secular society. Ultimately the parents have to discharge this onerous responsibility. It is again very unlikely that both parents would be well educated both in secular as well as religious fields. Only very fortunate children will have such parents.

Muslim middle class families in urban areas have to face communal challenge and question of religious identity becomes more and more important. Of course Muslims, like others in India have plurality of identities, religious identity being one among them. Also, there is great deal of tension between some of these identities thanks to the pressures created by communal forces. Are they Indians first or Muslims? This question haunts them in schools, colleges and work places. Such pressures drive them into conservative fold or even communal fold.

In secular educational institutions teachers too are either conservative or communal. There are very few teachers who are really secular and respectful of all religions and religious identities. The school environment creates unhealthy tensions in child's mind and confuses him. Though all teachers are not like that but many are, particularly in government schools where students of lower middle class usually study. In these cases the responsibility of the parents increases as they remain the only likely source of healthy input for the child. But the parents of lower middle class households are also not likely to be very educated or enlightened.

Thus what we can say here is likely to apply more to middle and upper-middle class children and parents. In fact if one can look after the upbringing of this section of society it is much more effective also as germs of fundamentalism and communalism are carried by middle classes. If correct understanding of religious and social values is imparted to this section of society, it will be highly productive.

Very first requirement of education is sharpening of intellect and this can be done by encouraging inquisitiveness of the child rather making him/her conform. The best education is one, which cultivates critical attitude towards existing realities. An inquisitive and critical mind alone can bring healthy changes in the world. We normally discourage it in child either to buy temporary peace or to guard our own little interests. That for ever suppresses creativity of the child.

First thing a child should be made to understand is that there is no conflict in having religious and national identities. One should be a good Muslim and also a good Indian at the same time. It is part of Islamic faith to love ones country as Holy Prophet has said that love of country is part of ones faith (hubb al- watan min al-iman). Great Muslim leaders like Maulana Azad, Dr. Zakir Husain and others can be their role model. They were true Muslims and great patriots and served their country with great distinction. Darul Uloom, Deoband, one of the greatest Islamic seminaries in Asia has produced many great Islamic scholars who were great patriots. One can give example of Maulana Husain Ahmad Madani and Mufti Atiqur Rahman. Maulana Abul Hasan Nadvi of Nadwat-ul-?Ulama, Lucknow, is another shining example. The Imams in the mosques should emphasise this in their sermons and cite these examples.

Even in the event of a conflict with any Muslim country our loyalty must be with the country of our birth as these conflicts are political in nature, not religious. The concept of ummah is also spiritual, not political, as very well pointed out by Maulana Husain Ahmad Madani in his book Muttahida Qaumiyyat Aur Islam (Composite Nationalism and Islam).

Our cultural values and customs and traditions treat women, as weak and inferior and parents often desire son, in Indian sub-continent. It is contrary to the Qur'anic teachings. Qur'an does not treat women as inferior and gives her equal rights. In hadith literature also the Holy Prophet has repeatedly emphasised the love for mother and her rights. He has also said that those who educate their daughters well, give them proper tarbiyyah and marry them off, Allah will reward them with paradise.

The question of gender equality is very important today and though the Qur'an stressed gender equality 1400 years ago but Muslim society always practiced gender discriminatory laws. Respect for feminine gender should be cultivated by parents, through schools as well as by Imams though it is a tall order. Even if parents and teachers do it, imams are very unlikely to do it. For that madrasa education needs to be re-oriented.

Another important aspect is to stress the Qur'anic ethics, not only rituals. This can best be done through the agency of parents and imams. Usually parents and imams lay much more stress on prayer and fasting which is necessary but not so much on Qur'anic ethics. The important aspects of Qur'anic ethics are justice, benevolence, compassion and wisdom. A Muslim child should be made to cultivate these Islamic virtues. In fact these virtues should be deeply imbibed by Muslim children and they should ideally be known for these virtues.

One of the Qur'anic teachings is sympathy for the weaker sections. It is stated in various forms in the Qur'an whether in the form of sympathy for the poor, for orphans and widows and afflicted. The Qur'an talks of eternal struggle between those who are weak and those who are powerful and Allah always favours the mustad?ifin (weak) and inflicts defeat on the powerful. This sympathy for the weak and a deep feeling of compassion for those who suffer should become part of children's character.

Also, Qur'an teaches us respect for all religions as a matter of principle. A child right from beginning should be taught to respect religious beliefs of non-Muslims. Generally a human being takes pride only in his/her religion and even looks at others' beliefs and practices as inferior. This negativity towards others and ?otherisation' of other results in communal tension and occasionally in eruption of violence. This is very problematic in a modern plural societies.

In all modern societies religious, linguistic and cultural pluralism has become way of life. And to live with plurality one must cultivate respect for other religions, cultures and ways of life. Even every religion has plurality of its own in the form of different sects and one must learn to respect intra-religious plurality as well. We often come across sectarian killings. Thus acceptance of intra-religious pluralism is as necessary as inter-religious or inter-cultural pluralism.

An attempt should also be made to induce in child an urge for seeking for truth. This urge should be made as strong as possible. One cannot truly worship Allah without being uncompromising on the question of truth. Allah is haq and worshipping truth is worshipping Allah. The quest for truth should be very carefully cultivated and it should also be stressed that truth cannot be monopoly of any one community or a person. One should have open mind as far as truth is concerned. The Holy Prophet also says that wisdom is the lost property of a mu'min (believer) and accept it wherever found. This openness will make us much richer intellectually and spiritually.

Sectarianism is a curse for humanity. It should never be encouraged. Islam discouraged it and stressed unity of religion. Hazrat Shah Waliyullah, Maulana Azad and other eminent Islamic thinkers have stressed wahdat-e-din (unity of all religions). Each religion is unique and different but not false. Thus a positive and respectful attitude towards other religions while being firmly rooted in our own religious tradition will prove to be a great boon for humanity today.

Those who emphasise superiority of ones own religion and breeds contempt for others are really enemies of peace and harmony. They benefit through conflict and bloodshed. No religion can encourage hatred and bloodshed. A child should be made to love all others, besides ones own.

The Sufi Islam is the popular Islam in Indian sub-continent and the most fundamental doctrine of Sufi Islam is sulh-i-kul i.e. total peace and peace with all. This doctrine of Sufism is basically derived from Islamic teaching on peace. Unlike widespread impression that Islam and jihad go together and violence is more fundamental than peace, the truth is that peace is most fundamental to Islam and war is only incidental. Islam means establishment of peace and surrender to the will of Allah and will of Allah is peace (Allah's name is Salam i.e. Peace).

The imams in the mosques and parents should try to inculcate the value of peace in child's mind. One should learn to live in peace and harmony with all, whatever their religion or culture. The Sufis always kept away from ruling establishments as they always issued religion for their vested interests and waged wars in the name of religion. Sufis were closer to the people than to the power.

Another important doctrine of Sufi Islam is love. Maulana Rum's poetry is full of love and so are the teachings of all Sufi saints. For Sufis love of Allah is more central than fear of Allah. The great Sufi saint Muhyuddin Ibn Arabi known as great Sheikh said that my heart is centre of love for Allah and so it is centre of all religions which teach to love Allah. If we can impart this doctrine of love in the minds of children our world will be much better place to live in. Thus love and peace will make this world paradise.

Also the Prophet of Islam (PBUH) has said that real jihad is to fight against ones own lust and control ones desire and greed. Jihad with sword is small jihad and jihad against ones own lust and greed is jihad-i-Akbar i.e. greatest jihad. Today our world values consumption and consumerism has become the only accepted norm and this is root of all evils. The whole capitalist system is based on lust for consumption and one spends whole life in this system to earn to consume and to earn more to consume more. This derives one crazy for possession. Life looses all higher values.

Thus in this world of consumerism one has to teach moderation to the child and virtues of basing life on basic material necessities and spiritual richness. For this one needs to cultivate virtues of patience and truth (in Qur'anic words sabr and haq). These virtues lead to inner peace and sobriety. The life should be, as Iqbal also says jahd-e-musalsal (constant and meaningful struggle) is the law of life. A child should be made aware of this need for jahd-e-musalsal enriching life and making life meaningful. Only one who strives to struggle would die with satisfaction of achievement.

This jahd-e-musalsal should be aimed at transcendence ? a constant struggle to transcend what is given and build what is desirable. Life is not to be lived for this moment enjoying all sensory pleasures but to enrich akhirah i.e. what is to come. This tarbiyyah is required for all, not for children alone. To reduce life to momentary pleasure is source of all tensions, conflict and violence. To make our lives more rich we should do enrich others' lives.

This is essence of Islam and essence of all world religions and essence of all great civlizations in the world.



9B, Himalaya Apts., 1st Floor
6th Road, Santacruz (E)
Mumbai 400 055, India
E-mail: csss@vsnl.com

Friday, October 21, 2005

Mengajak al-Qur’an Berbicara Menyelesaikan Masalah

Hari ini tanggal 17 Ramadlan, bulan diturunkannya al-Qur’an. Pada tradisi Nabi Muhammad, senantiasa membaca ulang keseluruhan al-qur’an pada buan Ramadlan. Bulan turunnya al-quran, musti terus dilakukan refleksi. Apakah sudah manusia memanfaatkan kalam Tuhan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya? Seperti Nabi Muhammad yang menggunakan al-qur’an dalam menghadapi persoalan ummat manusia. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh umat Islam saat ini, bagaimana Alquran dapat berbicara dan bertindak tentang berbagai persoalan hari ini?

***



Mengajak al-Qur’an Berbicara Menyelesaikan Masalah

Oleh: Najlah Naqiyah


Hari ini tanggal 17 Ramadlan, bulan diturunkannya al-Qur’an. Pada tradisi Nabi Muhammad, senantiasa membaca ulang keseluruhan al-qur’an pada buan Ramadlan. Bulan turunnya al-quran, mustiti terus dilakukan refleksi. Apakah sudah manusia memanfaatkan kalam Tuhan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya? Seperti Nabi Muhammad yang menggunakan al-qur’an dalam menghadapi persoalan ummat manusia. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh umat Islam saat ini, bagaimana Alquran dapat berbicara dan bertindak tentang berbagai persoalan hari ini? Seperti, pemberantasan korupsi, kemiskinan, penggusuran, advokasi TKI-Buruh, perang, dan bencana alam dan lain sebagainya. Walaupun disadari, bahwa Alquran tidak mungkin berbicara sendiri tanpa perantara penafsiran para penafsirnya.

Makna turunnya Alquran

al-quran tidak diragukan lagi sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Quran merupakan satu-satunya kitab yang dipercaya secara otentik berasal dari kalam ilahi. Maka perlu bagi hamba untuk mengkaji dan mengambil intisari dalam setiap firmanNYa. Karena disitulah, manusia bisa mengambil intisari dan hikmah dalam hidupnya. Bagaimana realitasnya, al-Qur’an seakan bisu dan diam. Al-Qur’an bisu dengan semua problematika umat Islam dan ummat manusia. Mengapa al-Quran tidak kunjung berbicara ? kalaupun al-Qur’an mampu bicara pada realitas kekinian, bagaimana wujudnya? Kerisauan inilah yang senantiasa menggelayut dalam setiap kali penulis merayakan nuzul al-qur’an. Bagaimana cara mengajak al-quran berbicara dalam realitas kekinian?

Untuk mengajak al-Qur’an berbicara dalam menyelesaikan kehidupan krisis ini, terdapat keterkaitan langsung antara apa yang tertulis dalam Kitab Suci dengan realitas kemanusiaan. Komposisi ini akan terus menemukan saluranya kalau teks suci dibiarkan berdialog dengan kenyataan yang mampu membebaskan manusia dari penderitaan.

Sejarah emansipasi, pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan atau humanitas merupakan inti dari tujuan-tujuan agama hadir dalam kehidupan setiap individu. Proposisi ini bisa dijadikan alas untuk melakukan penafsiran Alquran yang berpihak kepada keadilan, kebebasan, kemerdekaan dan dinamisme sejarah.

Memperhatikan hal yang tidak diperhatikan: Perhatikan maqosid-syariah

Manusia perlu memperhatikan firman TuhanNya, baik secara tekstual maupun kontekstual. Bagi orang-orang yang beriman pada al-Qur’an, telah diisyaratkan agar manusia menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Bagaimana caranya? Penting untuk memperhatikan maksud diturunkannya al-Qur’an untuk keselamatan manusia. Caranya menyertakan al-Qur’an untuk berdialog dengan masalah kontekstual. Memperhatikan makna dan maksud al-Qur’an yang membawa pesan kemanusiaan, mengartikulasikan keadilan dan kebenaran. Sebuah cara pandang yang akan terus maju dalam sebuah peradaban manusia. Sebaliknya, mengabaikan rasa keadilan dan meniadakan rasa kemanusiaan akan menghancurkan posisi manusia sebagai pemimpin dimuka bumi. Hal ini parallel dengan batasan terpikirkan dan tidak terpikirkan yang ada dalam al-Qur’an dan alam semesta. Artinya, membaca ulang ayat-ayat al-Qur’an secara kauniyah akan lebih menajamkan analisa dalam memecahkan persoalan, baik kemiskinan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa.

Dengan memperhatikan maksud turunnya al-Qur’an sebagai cara mencapai keadilan yang benar, layak bagi bangsa Indonesia bercermin dan terus bercermin. Ketika mafia peradilan saling suap dan melakukan korupsi, maka akan terjadilah kerapuhan didalam tatanan hukum itu sendiri. Padahal spirit al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia harus menegakkan hukum secara adil. Tegakkan keadilan walaupun itu pahit. Dan para nabi selalu mencontohkan kehidupan yang sederhana, bersih dan belas asih bagi sesama manusia. Lalu apakah yang menjadikan kita tidak mau melaksanakannya?

Selama ini, al-Qur’an hanya dijadikan sebagai mushaf yang disanjung dalam kata-kata, tetapi absent dalam pengamalannya. Maka turunnya al-Qur’an hanya nampak pada acara seremonial biasa dengan perayaan ceramah. Namun lebih dari itu, tidak mampu mengejewantahkan nilai-nilai al-Qur’an melalui aksi yang nyata. Aksi yang mengutamakan keadilan dan kemanusiaan bagi bangsa tercinta.

Membaca Ulang Harga Diri

Jika menilik persoalan carut marut bangsa yang tergelincir berulang kali pada krisis panjang. Jika menelisik dampaknya kenaikan BBM, justru membuat anak-anak bertambah bodoh. Bagaimana tidak? Dampak yang paling nyata pada anak. Kenaikan harga BBM, mengakibatkan harga bahan pokok makanan membumbung tinggi. Konsumsi makanan anak tidak terjangkau. Anak sekolah dari kalangan keluarga miskin, banyak tidak makan saat pergi ke sekolah, kecerdasannya menurun karena sumber energinya kurang. Mereka makan tidak memenuhi asupan gizi. Mereka cepat ngantuk dan terlelap saat belajar disekolah. Anak-anaklah yang paling menderita. Mereka tidak memperoleh hak-hak hidup dan perlindungan secara layak. Untuk apa mendapat spp gratis di sekolah, apabila kebutuhan makan mereka terlantar?

***


Membaca Ulang Harga Diri

Oleh: Najlah Naqiyah•

Jika menilik persoalan carut marut bangsa yang tergelincir berulang kali pada krisis panjang. Jika menelisik dampaknya kenaikan BBM, justru membuat anak-anak bertambah bodoh. Bagaimana tidak? Dampak yang paling nyata pada anak. Kenaikan harga BBM, mengakibatkan harga bahan pokok makanan membumbung tinggi. Konsumsi makanan anak tidak terjangkau. Anak sekolah dari kalangan keluarga miskin, banyak tidak makan saat pergi ke sekolah, kecerdasannya menurun karena sumber energinya kurang. Mereka makan tidak memenuhi asupan gizi. Mereka cepat ngantuk dan terlelap saat belajar disekolah. Anak-anaklah yang paling menderita. Mereka tidak memperoleh hak-hak hidup dan perlindungan secara layak. Untuk apa mendapat spp gratis di sekolah, apabila kebutuhan makan mereka terlantar?

Krisis multidimensi semakin menyengsarakan rakyat. Krisis ekonomi, moral dan politik-sosial makin membuat rakyat ringkih. Pemerintah dan rakyat kebanyakan tidak bersikap jujur. Masih saling menyalahkan dan tidak menerima kenyataan pahit untuk lebih bekerja keras, disiplin dan tekun mengatasi krisis. Selama ini, pembangunan bangsa hanya menyandarkan pada hutang keluar negeri dan terus hidup dalam ketidakjujuran. Manipulasi data, korupsi dan menutup-nutupi kesalahan yang ada. Akibatnya bangsa ini terus menerus membuat rakyat sengsara. Semakin hari, menyiksa rakyat miskin. Kemalasan dan lambat merupakan kinerja bangsa Indonesia. Negara berdalih menaikkan harga BBM untuk memberikan subsidi pada masyarakat miskin, justru membuat rakyat banyak yang risau, sakit dan stress berkepanjangan. Sebenarnya kenaikan BBM untuk rakyat atau pasar bebas? Disinilah harga diri bangsa dipertaruhkan, apakah pemerintah lebih menghargai pasar bebas atau menghargai rakyat jelata?. Apabila pemerintah masih konsern terhadap kepentingan rakyat jelata, mestinya kenaikan BBM, minyak tanah perlu ditinjau ulang. Tidakada salahnya mengambil pelajaran dari gejala kepanikan rakyat. Contoh, kepanikan rakyat saat antre mengambil subsidi BBM, menyebabkan meninggalnya beberapa orang. Pemerintah semestinya tanggap dan peka untuk meninjau ulang kebijakannya.

Harga Diri Menentukan Pandangan, Aksi Dan Perilaku Manusia

Harga diri modal manusia untuk menakar keberadaan dirinya. Harga diri ialah cara manusia untuk melihat dan bercermin serta menilai diri. Harga diri dapat bermanfaat dan merugikan manusia. Harga diri adalah cara manusia menghargai dirinya dan orang lain. Harga diri disebut juga kehormatan diri. Nilai bagi manusia mencapai produktivitas kerja. Harga diri menentukan manusia untuk sukses atau gagal dimasa mendatang. Apa peran harga diri dalam menjalani hidup?

Harga diri menentukan cara pandang manusia, banyak manusia yang salah kaprah dalam menilai harga dirinya. Misalnya menyandarkan harga diri pada kecantikan dan ketampanan fisik, kekayaan dan kecerdasan semata. Ironiknya, karena mempertahankan harga diri materialistiknya, mereka rela melakukan korupsi berjamaah meraup kekayaan. Dengan dalih harga dirinya, sampai berkelahi dan saling membunuh demi menjaga gengsi dan status keluarganya. Harga diri sebagai cara pandang yang menuntun perilaku manusia menjalani hidupnya. Harga diri didasarkan pada sistem niliai budaya. Penganut nilai materialisme cenderung mengeksploitasi harga diri kearah pemujaan seks. Kecenderungan budaya memuja seks, semakin menghargai kecantikan dan menghukum orang-orang buruk rupa. Bisnis hiburan menempati posisi tawar tinggi menggairahkan pasar di tengah krisis bangsa ini.

Kecantikan dan ketampanan fisik mendominasi cara pandang dunia hiburan, seperti acara televisi dan film bioskop. Film-film ditayangkan dengan menekankan pada erotisme dan bentuk tubuh seksi. Pajangan iklan dikaitkan dengan aroma seks terhadap lawan jenis. Orang yang menyandarkan harga diri pada kecantikan fisik, mengejar obsesi kesempurnaan fisik dengan beragam cara, misalnya operasi plastic, obat-obatan kecantikan tubuh. Tidak perduli resiko dari harganya mahal. Dampak dari obesesi tersebut membuat orang dalam keadaan tidak pernah puas dan risau dengan fisik yang kurang sempurna. Akibatnya, harga diri yang rendah melahirkan epidemic yang menyebabkan orang sakit dan menderita. Orang merasa tidak berharga karena buruk rupa, miskin dan bodoh. Cara pandang harga diri seperti membuat orang cenderng labil, tidak kuat dan mengakibatkan patologi serta stress. Lalu bagaimana harga diri yang benar?

Harga diri yang menuntun pandangan nilai, aksi dan konteks manusia menjalani hidup. Harga diri yang hakiki seperti kejujuran, tanggung jawab, kebaikan hati, cinta kepada Tuhan dan sesama manusia, kebenaran dan pengabdian kepada Tuhan. Harga diri yang didasarkan pada nilai kejujuran akan mampu memberikn penerimaan yang tulus tentang keadaan dirinya, baik kemampuan maupun kekurangan yang dimiliki. Karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan bercermin secara penuh jujur maka akan memiliki kerelaan untuk melihat dan menghargai semua apa yang dimilikinya, pengalaman masa lalu, sekarang dan mendatang.

Harga diri telah berbentuk dari semenjak anak-anak. Selayaknya, membangun karakter anak-anak bangsa dengan harga diri yang kuat dan benar. Apabila menyandarkan pada perubahan harga diri aparat sekarang, rasanya sulit, karena mesin birokrasi telah terjadi sekian lama. Untuk itu, memperbaiki bangsa dengan mengawal perubahan sejak dini pada generasi mendatang merupakan keniscayaan. Bagaimana membangun harga diri anak-anak bangsa di tengah carut marut global?

Membangun Harga diri Anak Bangsa

Anak-anak adalah manusia biasa. Kehadiran anak-anak didunia adalah pilihan orang tua. Anak-anak sangat ingin dicintai dan diterima seperti apa adanya diri mereka. Apabila anak merasa dicintai oleh orrang tua, maka ia cenderung untuk menerima perasaan berharga sebagai seorang manusia. Sebaliknya, apabila anak dianggap sebagai beban bagi orang tua, maka anak-anak akan merasa kehadirannya ditolak dan merasa tidak dicintai. Jika kemungkinan ditolak sangat mendominasi anak, maka akan berkembang kemauannya dengan kuat untuk melakukan penganiayaan bagi dirinya sendiri hingga melakukan pembunuhan diri. Maka, usaha orang tua dalam menyikapi anak memerlukan sikap yang hangat, lembut, cinta dan perduli.

Orang tua bisa membuat ruangan dihatinya untuk menyayangi anak-anak yang kurang sempurna. Orang tua sejatinya menilai dan memeriksa nilai-nilai yang akan ditransfer kepada anak. Untuk itulah, penting bagi orang tua untuk berhati-hati melontarkan kata-kata agar anak tidak menghancurkan harga dirinya sejak awal. Apa yang perlu dihindarkan oleh orang tua, (1) jangan menghina atau mengecam fisik anak. Bagaimanapun, hinaan ke wilayah fisik merupakan hal sensitif. Anak bisa kehilangan kepercayaan dirinya karena cercaan atau label fisik. Lalu bagaimana cara orang tua menempatkan anak? Anak perlu diberikan penguatan untuk menerima bentuk fisik seperti apa adanya mereka. Memberikan kesadaran yang jernih (insight) untuk mengembangkan diri secara terus menerus tanpa merisaukan bentuk fisik yang tidak bisa diubah. Kalaupun orang tua bisa memperbaiki bentuk fisik anak, bantulah mencapai kesempurnaanya dengan tanpa harus mencaci maki. Sebab caci maki orang tua, sangat besar pengaruhnya kepada pertumbuhan anak. Betapa banyak anak-anak yang dihancurkan harga dirinya sejak mereka masih diusia dini, seperti ucapan “bodoh” oleh orang tua/kakak/guru.

(2). Jangan membuat anak selalu terancam. Jika anak selalu berada dalam tekanan dan ketakutan, maka anak akan belajar untuk menjadi seorang penakut. Ajari anakanak memiliki keberanian untuk hidup. Menyelesaikan tantangan dan tugasnya secara bertanggung jawab.

Pada akhirnya, agar orang tua bisa menyayangi anak dengan sepenuh hati dan jiwa, tentu membutuhkan ketenangan dan kesejahteraan. Jika para orang tua harus letih dan tidak punya waktu, maka sulit mengontrol perilakunya saat bersama anak. Disitulah, pentingnya para orang tua perlu mendapat payung dari negara yang menyejahterakan, bukan negara yang membuat rakyat menderita.

Strategi Memperbaiki Harga Diri Anak

Jika menilik persoalan carut marut bangsa yang tergelincir berulang kali pada krisis panjang. Jika menelisik dampaknya kenaikan BBM, justru membuat anak-anak bertambah bodoh. Bagaimana tidak? Dampak yang paling nyata pada anak. Kenaikan harga BBM, mengakibatkan harga bahan pokok makanan membumbung tinggi. Konsumsi makanan anak tidak terjangkau. Anak sekolah dari kalangan keluarga miskin, banyak tidak makan saat pergi ke sekolah, kecerdasannya menurun karena sumber energinya kurang. Mereka makan tidak memenuhi asupan gizi. Mereka cepat ngantuk dan terlelap saat belajar disekolah. Anak-anaklah yang paling menderita. Mereka tidak memperoleh hak-hak hidup dan perlindungan secara layak. Untuk apa mendapat SPP gratis di sekolah, apabila kebutuhan makan mereka terlantar?

***


Strategi Memperbaiki Harga Diri Anak

Oleh : Najlah Naqiyah


Jika menilik persoalan carut marut bangsa yang tergelincir berulang kali pada krisis panjang. Jika menelisik dampaknya kenaikan BBM, justru membuat anak-anak bertambah bodoh. Bagaimana tidak? Dampak yang paling nyata pada anak. Kenaikan harga BBM, mengakibatkan harga bahan pokok makanan membumbung tinggi. Konsumsi makanan anak tidak terjangkau. Anak sekolah dari kalangan keluarga miskin, banyak tidak makan saat pergi ke sekolah, kecerdasannya menurun karena sumber energinya kurang. Mereka makan tidak memenuhi asupan gizi. Mereka cepat ngantuk dan terlelap saat belajar disekolah. Anak-anaklah yang paling menderita. Mereka tidak memperoleh hak-hak hidup dan perlindungan secara layak. Untuk apa mendapat SPP gratis di sekolah, apabila kebutuhan makan mereka terlantar?

Krisis multidimensi semakin menyengsarakan rakyat. Krisis ekonomi, moral dan politik-sosial makin membuat rakyat ringkih. Pemerintah dan rakyat kebanyakan tidak bersikap jujur. Masih saling menyalahkan dan tidak menerima kenyataan pahit untuk lebih bekerja keras, disiplin dan tekun mengatasi krisis. Selama ini, pembangunan bangsa hanya menyandarkan pada hutang keluar negeri dan terus hidup dalam ketidakjujuran. Manipulasi data, korupsi dan menutup-nutupi kesalahan yang ada. Akibatnya bangsa ini terus menerus membuat rakyat sengsara. Semakin hari, menyiksa rakyat miskin. Kemalasan dan lambat merupakan kinerja bangsa Indonesia. Negara berdalih menaikkan harga BBM untuk memberikan subsidi pada masyarakat miskin, justru membuat rakyat banyak yang risau, sakit dan stress berkepanjangan. Sebenarnya kenaikan BBM untuk rakyat atau pasar bebas? Disinilah harga diri bangsa dipertaruhkan, apakah pemerintah lebih menghargai pasar bebas atau menghargai rakyat jelata?. Apabila pemerintah masih konsern terhadap kepentingan rakyat jelata, mestinya kenaikan BBM, minyak tanah perlu ditinjau ulang. Tidakada salahnya mengambil pelajaran dari gejala kepanikan rakyat. Contoh, kepanikan rakyat saat antre mengambil subsidi BBM, menyebabkan meninggalnya beberapa orang. Pemerintah semestinya tanggap dan peka untuk meninjau ulang kebijakannya.

Harga Diri Menentukan Pandangan, Aksi Dan Perilaku Manusia

Harga diri modal manusia untuk menakar keberadaan dirinya. Harga diri ialah cara manusia untuk melihat dan bercermin serta menilai diri. Harga diri dapat bermanfaat dan merugikan manusia. Harga diri adalah cara manusia menghargai dirinya dan orang lain. Harga diri disebut juga kehormatan diri. Nilai bagi manusia mencapai produktivitas kerja. Harga diri menentukan manusia untuk sukses atau gagal dimasa mendatang. Apa peran harga diri dalam menjalani hidup?

Harga diri menentukan cara pandang manusia, banyak manusia yang salah kaprah dalam menilai harga dirinya. Misalnya menyandarkan harga diri pada kecantikan dan ketampanan fisik, kekayaan dan kecerdasan semata. Ironiknya, karena mempertahankan harga diri materialistiknya, mereka rela melakukan korupsi berjamaah meraup kekayaan. Dengan dalih harga dirinya, sampai berkelahi dan saling membunuh demi menjaga gengsi dan status keluarganya. Harga diri sebagai cara pandang yang menuntun perilaku manusia menjalani hidupnya. Harga diri didasarkan pada sistem niliai budaya. Penganut nilai materialisme cenderung mengeksploitasi harga diri kearah pemujaan seks. Kecenderungan budaya memuja seks, semakin menghargai kecantikan dan menghukum orang-orang buruk rupa. Bisnis hiburan menempati posisi tawar tinggi menggairahkan pasar di tengah krisis bangsa ini.

Kecantikan dan ketampanan fisik mendominasi cara pandang dunia hiburan, seperti acara televisi dan film bioskop. Film-film ditayangkan dengan menekankan pada erotisme dan bentuk tubuh seksi. Pajangan iklan dikaitkan dengan aroma seks terhadap lawan jenis. Orang yang menyandarkan harga diri pada kecantikan fisik, mengejar obsesi kesempurnaan fisik dengan beragam cara, misalnya operasi plastic, obat-obatan kecantikan tubuh. Tidak perduli resiko dari harganya mahal. Dampak dari obesesi tersebut membuat orang dalam keadaan tidak pernah puas dan risau dengan fisik yang kurang sempurna. Akibatnya, harga diri yang rendah melahirkan epidemic yang menyebabkan orang sakit dan menderita. Orang merasa tidak berharga karena buruk rupa, miskin dan bodoh. Cara pandang harga diri seperti membuat orang cenderng labil, tidak kuat dan mengakibatkan patologi serta stress. Lalu bagaimana harga diri yang benar?

Harga diri yang menuntun pandangan nilai, aksi dan konteks manusia menjalani hidup. Harga diri yang hakiki seperti kejujuran, tanggung jawab, kebaikan hati, cinta kepada Tuhan dan sesama manusia, kebenaran dan pengabdian kepada Tuhan. Harga diri yang didasarkan pada nilai kejujuran akan mampu memberikn penerimaan yang tulus tentang keadaan dirinya, baik kemampuan maupun kekurangan yang dimiliki. Karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan bercermin secara penuh jujur maka akan memiliki kerelaan untuk melihat dan menghargai semua apa yang dimilikinya, pengalaman masa lalu, sekarang dan mendatang.

Harga diri telah berbentuk dari semenjak anak-anak. Selayaknya, membangun karakter anak-anak bangsa dengan harga diri yang kuat dan benar. Apabila menyandarkan pada perubahan harga diri aparat sekarang, rasanya sulit, karena mesin birokrasi telah terjadi sekian lama. Untuk itu, memperbaiki bangsa dengan mengawal perubahan sejak dini pada generasi mendatang merupakan keniscayaan. Bagaimana membangun harga diri anak-anak bangsa ditengah carut marut global?

Membangun Harga diri Anak Bangsa

Anak-anak adalah manusia biasa. Kehadiran anak-anak didunia adalah pilihan orang tua. Anak-anak sangat ingin dicintai dan diterima seperti apa adanya diri mereka. Apabila anak merasa dicintai oleh orrang tua, maka ia cenderung untuk menerima perasaan berharga sebagai seorang manusia. Sebaliknya, apabila anak dianggap sebagai beban bagi orang tua, maka anak-anak akan merasa kehadirannya ditolak dan merasa tidak dicintai. Jika kemungkinan ditolak sangat mendominasi anak, maka akan berkembang kemauannya dengan kuat untuk melakukan penganiayaan bagi dirinya sendiri hingga melakukan pembunuhan diri. Maka, usaha orang tua dalam menyikapi anak memerlukan sikap yang hangat, lembut, cinta dan perduli.

Orang tua bisa membuat ruangan dihatinya untuk menyayangi anak-anak yang kurang sempurna. Orang tua sejatinya menilai dan memeriksa nilai-nilai yang akan ditransfer kepada anak. Untuk itulah, penting bagi orang tua untuk berhati-hati melontarkan kata-kata agar anak tidak menghancurkan harga dirinya sejak awal. Apa yang perlu dihindarkan oleh orang tua:
(1) jangan menghina atau mengecam fisik anak. Bagaimanapun, hinaan ke wilayah fisik merupakan hal sensitif. Anak bisa kehilangan kepercayaan dirinya karena cercaan atau label fisik. Lalu bagaimana cara orang tua menempatkan anak? Anak perlu diberikan penguatan untuk menerima bentuk fisik seperti apa adanya mereka. Memberikan kesadaran yang jernih (insight) untuk mengembangkan diri secara terus menerus tanpa merisaukan bentuk fisik yang tidak bisa diubah. Kalaupun orang tua bisa memperbaiki bentuk fisik anak, bantulah mencapai kesempurnaanya dengan tanpa harus mencaci maki. Sebab caci maki orang tua, sangat besar pengaruhnya kepada pertumbuhan anak. Betapa banyak anak-anak yang dihancurkan harga dirinya sejak mereka masih diusia dini, seperti ucapan “bodoh” oleh orang tua/kakak/guru.

(2). Jangan membuat anak selalu terancam. Jika anak selalu berada dalam tekanan dan ketakutan, maka anak akan belajar untuk menjadi seorang penakut. Ajari anakanak memiliki keberanian untuk hidup. Menyelesaikan tantangan dan tugasnya secara bertanggung jawab.
Pada akhirnya, agar orang tua bisa menyayangi anak dengan sepenuh hati dan jiwa, tentu membutuhkan ketenangan dan kesejahteraan. Jika para orang tua harus letih dan tidak punya waktu, maka sulit mengontrol perilakunya saat bersama anak. Disitulah, pentingnya para orang tua perlu mendapat payung dari negara yang menyejahterakan, bukan negara yang membuat rakyat menderita.

Tuesday, October 18, 2005

Degradasi Layanan Meresahkan

Bangsa Indonesia saat ini mengalami gejala degradasi layanan. Degradasi di segala lapisan masyarakat, miskin dan kaya. Degradasi tersebut nampak dalam keseharian. Kondisi masyarakat penuh antri dan meresahkan seperti zaman orde lama. Degradasi nampak terjadi di sektor umum dan khusus. Disektor umum, pelayanan masyarakat sangat sulit, baik transportasi, layanan bantuan cenderung terlambat, lumpuhnya birokrasi pemerintah. Di sektor khusus mencakup diri insan. Rakyat miskin sakit dan menderita. Orang menderita, dan sulit mendapat sandang pangan. Masyarakat cenderung panik, reaktif dan melakukan jalan pintas memenuhi kebutuhan hidupnya. Contoh, jika lapar, dan tidak memiliki makanan, niscaya berusaha memperoleh makan dengan cara baik ataupun buruk. Untuk keluar dari problem ini, apa yang semestinya dilakukan?


***


Degradasi Moral Meresahkan

Oleh : Najlah Naqiyah


Bangsa Indonesia saat ini mengalami gejala degradasi layanan. Degradasi moral disegala lapisan masyarakat miskin dan kaya. Degradasi moral tersebut nampak di keseharian. Kondisi masyarakat penuh antri dan meresahkan seperti zaman orde lama. Degradasi ini nampak terjadi di sektor umum dan khusus. Di sektor umum, pelayanan masyarakat sangat sulit, baik transportasi, layanan bantuan cenderung terlambat, lumpuhnya birokrasi pemerintah. Di sektor khusus mencakup diri insan. Rakyat miskin sakit dan menderita. Orang menderita, dan sulit mendapat sandang pangan. Masyarakat cenderung panik, reaktif dan melakukan jalan pintas memenuhi kebutuhan hidupnya. Contoh, jika lapar, dan tidak memiliki makanan, niscaya berusaha memperoleh makan, dengan cara baik ataupun buruk.

Kebijakan pemerintah menaikkan BBM dan minyak tanah terlampau membebani masyarakat. Kondisi pemerintah kolaps. Dan masyarakat dikorbankan dengan menaikkan BBM, dan minyak tanah. Hidup masyarakat kian sulit dan mulai meresahkan. Masyarakat terlihat resah dan gundah. Dimana-mana nampak antrian panjang. Gejala tindak kejahatan meningkat, seperti pencuri, maling di desa dan kota berkeliaran mengancam keamanan. Demikian juga, naiknya biaya transportasi membuat masyarakat jengah. Kenaikan ongkos transportasi tidak disertai dengan pelayanan memadai. Ironinya, kenaikan ongkos tersebut, tidak mendapatkan pelayanan prima. Alih-alih, dengan mahalnya ongkos makin memuaskan pelanggan, justru yang terjadi pelayanan makin sembrono. Penumpang tidak nyaman di perjalanan. Para sopir dan kernet seakan diburu oleh setoran. Jumlah penumpang yang diangkut melebihi kapasistas muatan kendaraan. Contoh, angkot kapasitas angkut sepuluh orang, dipaksa berisi 17 orang. Penumpang dimasukkan seperti barang. Duduk berdesakan dan bergelantungan. Demikian juga angkutan bus umum, tidak kalah mengerikan. Masyarakat berjejal, berdiri disertai dengan kecepatan tinggi. Gambaran keseharian ini terjadi di kalangan miskin dan menengah.

Sementara bagaimana kondisi birokrasi di tengah kemelut krisis ini? Sebagian besar birokrasi lumpuh. Terutama birokrasi pendidikan sekolah dasar, menengah dan tinggi. Lumpuhnya birokrasi bukan tanpa sebab. Lumpuhnya birokrasi disebabkan oleh isu korupsi yang tidak jelas. Birokrasi yang menyalahi prosedur dianggap melakukan korupsi. Untuk jalan aman, maka semua pihak sekarang dalam posisi wait and see (menunggu dan melihat) aksi komisi pemeberantas korupsi. Semua pandangan bisa ditafsir secara sepihak oleh KPK. Dan apabila melanggar undang-undang dan menyalahi prosedur, maka ancamannya adalah korupsi. Tuduhan melakukan korupsi memang tidaklah jelas dan terukur. Misalnya, lambatnya dana kompensasi BBM ke masyarakat, tidak diperhitungkan oleh pemerintah sebagai pelanggaran. Demikian juga biaya untuk sekolah sebagai ganti spp gratis, masih sangat lamban. Akibatnya banyak para kepala sekolah mengeluh dan tidak memiliki dana operasional sehari-hari. Jika dipaksakan untuk menarik iuran kepada murid, untuk membeli alat perlengkapan seperti kapur dan penghapus, maka kepala sekolah diancam melakukan tindak korupsi. Akibatnya, kualitas belajar mengajar sangat terganggu akibat lambannya bantuan sekolah. SPP gratis siswa bukan meningkatkan kualitas belajar, justru yang terjadi adanya gejala penurunan kualitas. Mengapa? Karena bantuan pemerintah ke sekolah terlambat, sementara kebutuhan belajar membutuhkan biaya mendesak dan segera. Akibatnya, kebutuhan murid dipenuhi secara asal-asalan oleh pengelola sekolah.

Bagaimana keluar dari degradasi meresahkan ini? Degradasi ini berkaitan dengan sistem pendidikan integratif. Orang yang moralnya rusak, perlu berbenah melalui pendidikan dan agama. Kebijakan pembangunan pendidikan bertujuan untuk memantapkan pendidikan akhlak/budi-pekerti/moral agama dan nilai sosial budaya. Bagaimana kebijakan tersebut mampu membumi pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi?

Pertama, pendidikan niscaya mengajarkan hard skill dan soft skill. Hard skill meliputi content atau materi ilmu pengetahuan. Hard skill dihasilkan dari kerangka pikir rasional dan realistik. Penguasaan hard-skill membekali anak pengetahuan. Pengetahuan yang menuntunnya di dunia kerja sesungguhnya. Penguasaan materi ilmu membuat masyarakat terus berkembang mencapai hidup efektif. Dengan ilmunya, masyarakat kreatif dan terus belajar sendiri. Sedangkan soft-skill adalah keterampilan yang dipelajari dari hati, perasaan, dan sikap. Keterampilan soft-skill meliputi keterampilan mengenal diri, berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan vokasional. Orang yang terlatih keterampilan soft-skill, memiliki kecerdasan emosional, kerjasama, mengelola informasi untuk eksis hidup.

Kedua, Pendidikan selayaknya mewarnai lingkungan yang bersih dan bertanggung jawab. Tantangan pendidikan memberi konstribusi di masyarakat dengan hidup bersih dan bertanggung jawab. Jika pendidikan mampu menghasilkan output, anak-anak yang bersih, jujur dan bertanggung jawab, maka pendidikan bermanfaat. Pendidikan bisa juga pencipta dan pelaku menuju lingkungan yang bersih dan bertanggung jawab. Lingkungan merupakan prasyarat menggelar dan melatih anak untuk berkarakter dengan budi pekerti. Anak tidak bisa berkembang optimal apabila berada di lingkungan korup. Anak berkembang secara aktual dan potensial apabila lingkungan kondusif. Ikatan kuat antara lingkungan dan pendidikan saling mendukung.

Ketiga, Menghargai profesi guru/dosen. Selama ini guru disebut pahlawan tanpa jasa. Hidupnya seperti mati segan hidup tidak mampu. Kesejahteraan guru disamakan dengan PNS lainnya. Akibatnya, guru tidak berkembang dan sibuk mencari uang tambahan untuk hidup. Guru sepatutnya dihargai, dan sebagai profesi perlu dipayungi oleh undang-undang. Sebab keberadaan guru merupakan model/pembimbing/pencetak generasi bangsa. Apabila guru dihargai sebagai pekerjaan profesi, maka guru harus bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya. Salah satunya sebagai contoh transformasi nilai-nilai ilmu dan budi pekerti.

Sunday, October 16, 2005

Dhuafa' Korban Kekerasan Negara

Kaum dhuafa’ (lemah) terlahir dari kekerasan negara. Kaum dhuafa’ terdiri dari orang-orang yang terlantar, fakir miskin, anak-anak yatim dan orang cacat. Kaum dhuafa’ ialah orang-orang yang menderita hidupnya secara sistemik. Para dhuafa’ setiap hari berjuang melawan kemiskinan. Kaum dhuafa’ korban dari kenaikan harga BBM, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Kaum dhuafa’ cerminan ketidakmampuan negara dalam memelihara mereka. Para dhuafa’ secara sendirian harus berjuang melawan sistem kapitalisme. Kaum dhuafa’ adalah orang-orang miskin yang ada di jalanan, di pinggiran dan di sudut-sudut lingkungan kumuh. Mereka bekerja sebagai pemulung, para pedagang asongan, pengemis jalanan, buruh bangunan dan abang becak. Mereka ini kelompok masyarakat yang mudah terkena penyakit menural, seperti demam berdarah, malaria, dan kusta, dan segudang kesengsaraan. Lantas, apa yang harus dilakukan?

***


Dhuafa’ Korban Kekerasan Negara

Oleh: Najlah Naqiyah


Kaum dhuafa’ (lemah) merupakan korban kekerasan negara. Kaum dhuafa’ terdiri dari orang-orang yang terlantar, fakir miskin, anak-anak yatim dan orang cacat. Kaum dhuafa’ ialah orang-orang yang menderita hidupnya secara sistemik. Para dhuafa’ setiap hari berjuang melawan kemiskinan. Kaum dhuafa’ korban dari kenaikan harga BBM, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Mereka harus menanggung beban hutang negara dengan membeli mahalnya minyak tanah dan sembako. Kaum dhuafa’ cerminan ketidakmampuan negara dalam memelihara mereka. Para duafa’ sendirian berjuang melawan sistem kapitalisme. Kaum dhuafa’ adalah orang-orang miskin yang ada di jalanan, di pinggiran dan di sudut-sudut lingkungan kumuh. Mereka bekerja sebagai pemulung, para pedagang asongan, pengemis jalanan, buruh bangunan dan abang becak. Penderitaan dan penindasan yang dialaminya menyebabkan kaum dhuafa’ sangat rentan dengan penyakit menular dan ancaman bunuh diri. Contoh, mereka yang terkena penyakit menural seperti demam berdarah, malaria, kusta adalah mereka yang miskin dan dari lingkungan kumuh. Demikian juga orang-orang yang terinfeksi penyakit menular seksual HIV/AIDS banyak dari kalangan miskin dan tidak mengerti arti menjaga kesehatan tubuh.

Meningkatnya kaum dhuafa’ seiring kenaikan BBM dan harga bahan pokok menunjukkan ironi. Negara kian buta melindungi masyarakatnya. Kaum dhuafa’ makin tidak terpelihara seiring naiknya harga kebutuhan makan. Kenaikan minyak tanah menjerat hidup mereka yang miskin. Kini jumlah warga miskin telah mencapai 64 juta lebih. Mereka harus hidup dari sisa-sisa orang lain dalam segala kebutuhannya. Makan sisa orang lain, seperti nasib para pembantu rumah tangga. Memakai baju pemberian orang kaya yang menjadi majikannya. Mereka sangat hidup penuh kesulitan dari hari ke hari. Mereka menjadi korban kekerasan negara. Meraka seharusnya menjadi tanggungan dan dirawat oleh negara. Namun justru yang terjadi, rakyat semakin dibuat tidak berdaya dan tersiksa. Kenaikan BBM menyesakkan hidup masyarakat miskin. Akses transportasi menjadi sulit dan mahal. Masyarakat miskin semakin hidup terpuruk didera laju kapitalisme global yang menghegemonik. Apapun alasan pemerintah yang semakin berat, seharusnya tidak memperparah hidup kaum duafa’.

Pada momentum Ramadlan, selayaknya kita merasakan suka dan duka bersama kaum dhuafa’. Agama memberikan isyarat sangat jelas untuk mengeluarkan zakat fitrah kepada kaum dhuafa’. Zakat adalah perintah untuk mensucikan diri yang dibagikan kepada orang-orang yang lemah. Mereka merupakan orang-orang yang tertindas yang memerlukan pertolongan manusia yang lainnya. Membiarkan mereka dalam penderitaan, berarti menyia-nyiakan agama. Kehadiran agama Islam adalah untuk memberikan keselamatan kepada seluruh alam, terutama bagi orang miskin yang membutuhkan uluran tangan-tangan manusia yang lain. Mereka seharusnya dikasihani dan dilindungi hak-haknya. Kaum dhuafa’ merupakan bentuk ketidak-adilan sistem yang patriarkhal. Sistem dominasi melanggar hak-hak hidup orang lain. Misalnya, hak memperoleh makan dan minum serta pekerjaan layak. Para kaum dhuafa’ tidak memperoleh hak tersebut karena uang untuk mereka dikorup, dirampas oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Orang miskin semenjak dulu kala kehidupannya dililit oleh kemiskinan. Miskin segala hal. Miskin pengetahuan dan kesempatan melakukan perubahan. Miskin pendidikan yang mampu merubah keadaan hidupnya. Akibatnya, hidup mereka secara turun temurun berada dalam lingkaran kemiskinan. Sementara itu orang-oramg yang memiliki kekuasaan, sebagian menjadi sangat serakah dan tidak memberikan kesempatan yang sama. Akar persolan dari lingkaran setan sistem patriarkhal. Sistem doominasi yang tidak adil. Lalu bagaimana melihat dari prespektif kemanusiaan?

Kaum dhuafa’ disebut oleh Nabi Muhammad sebagai orang-orang yang sangat dekat dengan Nabi kelak di akhirat. Hidup mereka lebih berharga dan tehormat dari pada mereka yang makan uang rakyat. Doa orang-orang mustadh'afin (orang yang terlemahkan) akan cepat dikabulkan oleh Allah SWT. Bahkan Nabi Muhammmad bersabda, bahwa kelak Nabi akan bersama kaum dhuafa’ di akhirat. Maka sudah selayaknya, sebagai ummat Muhammad SAW untuk membela kepentingan para dhuafa’, berjuang memperoleh hak hidup yang layak. Hak hidup yang adil dalam memperoleh makan dan minum serta lapangan pekerjaan. Hampir semua agama mengajarkan kemanusiaan untuk memperhatikan kaum ini. Misalnya, Yesus dalam Kristen hadir untuk membela golongan tertindas. Demikian juga Nabi Muhammad sebagai bapak anak-anak yatim. Nabi sangat menolong kaum fakir miskin. Nabi menyebutkan, bahwa antara dirinya dengan anak-anak yatim seperti jari telunjuk dengan jari tengah. Keduanya sangat dekat. Bagaimana jika kaum duafa’ tidak diperhatikan, dan malah dizalimi? Sesungguhnya do’a kaum dhuafa’ sangat mustajab (dikabulkan oleh Allah SWT). Apabila kaum dhuafa’ dibiarkan menderita, maka bangsa ini akan mendapatkan generasi-generasi lemah dan tidak berdaya. Apabila generasi itu lemah, tentu bangsa ini akan rapuh dan gagal. Bangsa lemah, akan mudah musuh-musuh menyerang dan merongrong bangsa. Rongrongan tersebut beragam cara, misalnya nampak nyata penjajahan ekonomi dengan permainan harga BBM. Negara tidak mampu mengontrol lagi harga standar sesuai dengan kemampuan daya jangkauan masyarakatnya, harga-harga dipermainkan kepentingan global. Akibatnya rakyat makin sulit memperoleh hak-hak hidup yang layak.

Lalu bagaimana agar bangsa ini menjadi kuat? Pertama, ialah memberdayakan kaum dhuafa’. Semakin kaum dhuafa’ dipelihara dan dilindungi, mereka bangkit dengan sendirinya mengubah hidupnya. Sebaliknya, membiarkan dan mendiamkan kaum dhuafa’ di jalanan dan terlantar memunculkan ragam kekerasan. Misalnya, orang-orang miskin yang lari dari kehidupan normal kepada kehidupan tidak normal, seperti pencandu narkoba, minuman-minuman keras, dan pecandu seksual yang tidak halal. Realitas ini menimbulkan banyak penyakit sosial seperti kejahatan, kriminal dan bunuh diri. Misalnya, setiap hari rata-rata lima orang yang ditembak karena melakukan pencurian, apabila dibiarkan maka tindak pencurian akan meningkat seiring kemiskinan yang nyata. Apabila orang-orang tersebut dibina, dirawat dan diberikan mata pencaharian dan semangat hidupnya bangkit, maka perlahan mereka akan menjalani hidup normal kembali. Hadis Nabi menyebutkan, bahwa sesungguhnya kefakiran mempercepat pada kekufuran. Bagaimana caranya agar kaum duafa’ mampu bangkit? Kedua, yaitu dengan menjalin kerjasama lintas agama, etnik dan budaya. Secara faktual, bangsa Indonesia terdiri dari beragam agama yang mampu bekerjasama dengan baik. Menafikan kekuatan agama lain, mengakibatkan kerjasama berkurang dan tidak efektif. Bagaimana kerjasama itu bisa dilakukan? Caranya dengan saling menghargai dari berbagai agama, dan kelompok profesional dalam melakukan pemberdayaan kepada para duafa’. penghargaan itu terwujud apabila adanya kerukunan antar ummat beragama. Kerukunan antar ummat beragama relevan untuk mengusung isue kepedulian kepada kaum dhuafa’.

Ketiga, membangkitkan semangat kerja keras bagi generasi muda dan anak-anak. Kehidupan adalah milik masa depan. Masa depan tersebut sangat bergantung dari keadaan generasi mudanya. Generasi muda dibentuk oleh masa anak-anak. Apabila anak-anak sudah kuat karakter hidupnya untuk bersemangat dan kerja keras, tentu mereka akan gigih melawan kemiskinan. Sebaliknya, meninggalkan generasi dan anak-anak yang lemah, bencana bagi bangsa ini dimasa mendatang. Semenjak kecil, anak-anak dilatih untuk menghadapi kesulitan demi kesulitan agar tangguh. Mengapa sejak kecil harus dilatih? karena kecakapan seseorang yang paling berpengaruh didasarkan pada penguasaan pengalaman mereka. Jika semenjak kecil, anak-anak dibiasakan untuk berlatih kerja keras dan mandiri serta bertanggung jawab, maka akan menjadi orang yang kuat menghadapi permasalahan hidupnya. Apabila anak dibiasakan menadahkan tangan dan meminta-meminta, maka akan tertanam di benaknya untuk hidup dari pemberian dan belas kasihan orang lain. Pengalaman mereka itulah yang akan banyak menuntun mereka membaca kehidupannya kelak dimasa mendatang. Ironinya, banyak kalangan dhuafa’ yang menjadikan anak-anak mereka sebagai pengais rezeki, seperti penjualan anak-anak dan kerja-kerja jalanan saat masih dibawah umur. Menerjunkan anak pada kerja-kerja eksploitatif, menyebabkan kemiskinan sistemis menghegemonik mereka. Untuk itulah, kesadaran mendidikan anak menjadi rajin belajar, kerja keras merupakan bentuk keluar dari mata rantai kemiskinan.

Saturday, October 15, 2005

Puasa untuk Mensyukuri Nikmat Allah SWT

Kini puasa memasuki pertengahan ramadlan. Bulan yang penuh berkah, karena disitu orang-orang yang beriman menguji hidup dengan berpuasa. Puasa untuk mengekang segala nafsu. Melakukan puasa dimasa yang sulit tidaklah mudah bagi orang-orang miskin. Kenaikan BBM, disertai naiknya bahan-bahan pokok secara tidak stabil memicu gundah. Minyak tanah dan minyak goreng membuat resah karena harganya naik dan tidak terkendali. Orang-orang miskin panik dan menderita. Hidup mereka kian tidak menentu. Kebutuhan makan tidak bisa dipenuhi secara layak. Apa yang harus kita lakukan dalam Ramadlan sehubungan dengan itu semua?

***


Puasa untuk Mensyukuri Nikmat Allah SWT

Oleh: Najlah Naqiyah


Kini puasa memasuki pertengahan Ramadlan. Bulan yang penuh berkah, karena di situ orang-orang yang beriman menguji hidup dengan berpuasa. Puasa untuk mengekang segala nafsu. Melakukan puasa di masa yang sulit tidaklah mudah bagi orang-orang miskin. Kenaikan BBM, disertai naiknya bahan-bahan pokok secara tidak stabil, memicu gundah. Minyak tanah dan minyak goreng membuat resah karena harganya naik dan tidak terkendali. Orang-orang miskin panik dan menderita. Hidup mereka kian tidak menentu. Kebutuhan makan tidak bisa dipenuhi secara layak. Kesulitan demi kesulitan menerpa seiring keadaan alam tropis yang panas. Kondisi panas bagi pekerja-pekerja buruh dengan upah minim. Seringkali, pekerja kuli bangunan, abang becak, kondektur dan sopir bus kepanasan dan ada yang tidak berpuasa. Di situlah rentam tersulut kekerasan yang menyakitkan.

Kehidupan kian menyesakkan. Maka patut kita renungkan keadaan puasa sekarang. Apa makna dari melaksanakan ritual puasa ini? Puasa memberikan kesabaran dan ketabahan bagi para pelakunya. Puasa untuk mengekang dorongan sesaat (impulsive) yang meledak-ledak. Contoh, dorongan untuk melakukan korupsi di saat transparansi tidak berjalan. Dorongan membunuh dan menguasai orang lain. Marah dan melampiaskan pukulan ke orang lain. Pelaku pengeboman Bali II merupakan wujud instink tanatos yang merajai hidup mereka.

Hakikat puasa merupakan bukti rasa syukur ummat beragama kepada Allah Yang Maha Esa, Allah SWT yang menciptakan manusia. Dan Dia pula yang mencabut nyawa manusia menurut kehendakNya. Kalau manusia pada saat ini masih diberi rahmat memasuki bulan Ramadlan, berarti punya kesempatan untuk mensucikan diri. Mensucikan diri dari segala noda dan dosa. Bersuci dari keserakahan dan kedengkian. Mensucikan diri dari segala kemunafikan dan penindasan. Allah SWT sangat mencintai makhluknya yang sadar akan tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia untuk menyembah dan menjadi pemimpin di muka bumi. Manusia bisa menyelamatkan saudaranya yang lain. Manusia memberi manfaat bagi kehidupannya, bukan manusia yang mementingkan diri sendiri dengan menindas saudara lainnya. Dengan puasa ini, manusia memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk memilih hidup yang berguna. Menjalankan hidup dengan beribadah secara benar. Bekerja secara giat dan tekun serta melapangkan kesulitan orang lain. Itulah bukti syukur manusia kepada Pencipta, yaitu dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Orang yang mampu bersyukur kepada Allah SWT merasakan lezatnya iman. Anugrah keyakinan bahwa segala nikmat hidup hanya karena kemurahan Allah SWT. Allah SWT yang memberikan semua karunia kepada manusia. Kalau Tuhan mencabut nikmat hidup, maka tidak ada yang mampu menghalanginya. Selagi Tuhan memberikan karunia umur panjang, kondisi sehat dan keyakinan untuk melakukan perintah puasa, maka sejatinya kita diberi kesempatan untuk memberi manfaat bagi sesama. Apabila manusia sangat pelit untuk membantu saudaranya, lalu apa yang akan dibanggakan kelak di akhirat? Perbuatan amal shaleh lah yang akan membawa manusia menjadi mulia. Manusia yang kikir, Allah SWT akan enggan merahmati mereka. Dan apabila Allah SWT menjahui manusia yang dhalim, maka ia makin terperosok dalam jalan sesat yang ditempuh. Sungguh dalam keadaan itu, manusia sangat merugi. Dan kesombongan nyata bagi orang-orang yang dlalim. Contoh, orang kikir dan memakan uang rakyat, akan mudah bagi Allah SWT membuka tabir kejahatan mereka, sehingga mereka hidup dengan hinaan dan penjara. Orang yang tidak belajar dari pengalaman pahit orang-orang jahat, akan sangat merugi.

Kesempatan mensucikan diri bisa dilakukan saat menunaikan kebajikan saat berpuasa. Mengapa orang harus mensucikan dirinya? Tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan dan dosa. Dalam menjalankan kehidupan keseharian, manusia dihadapkan dengan beragam pilihan hidup yang kadang menyulitkan. Di situlah adanya pertentangan-pertentangan antara situasi, sikap, pikiran dan perilaku. Pertentangan itulah yang berpotensi mengambil keputusan dengan ceroboh. Keputusan yang menguntungkan dirinya di lain pihak, tetapi terkadang mengorbankan orang lain. Manusia seringkali merasa benar dan menindas yang lemah. Pada skala itulah orang bersalah dan berdosa, bisa bersalah pada dirinya, orang lain atau lingkungan sekitarnya. Contoh orang yang bersalah pada dirinya, ialah orang yang menyia-nyiakan hidupnya dengan minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, dan orang yang menyakiti dirinya dan ingin membunuh dirinya sendiri. Sedang, orang yang menyakiti orang lain, bersalah kepada orang lain yang sering dilakukan dalam keseharian misalnya, mencaci maki, menggunjing, dan merampas hak-hak mereka. Orang tersebut tidak bertanggung jawab. Orang yang bersalah pada lingkungan, melakukan penebangan hutan secara besar-besaran sehingga menjadi hutan gundul dan banjir.

Di tengah bulan puasa, perbuatan dosa yang telah lalu patut direnungkan. Mengapa? Karena akan memperoleh pelajaran dari perbuatan tersebut. Namun, jika tidak diambil hikmah, maka akan senantiasa berada dalam kerugian. Perjalanan hidup telah lalu, akan sangat banyak ditemui kerikil dalam hidup. Maka jika bulan puasa ini, menjadi awal untuk mensucikan perilaku dan sikap kita menjadi lebih baik. Sungguh akan menjadi orang-orang yang sadar diri dan mampu memperbaiki kualitas hidupnya di masa mendatang. Orang yang mensucikan hati akan sangat berguna untuk menjadi orang yang tulus ikhlas semata karena mengharap kerelaan Tuhan. Mensucikan diri secara lahir perlu dilakukan, saat puasa. Mensucikan makanan yang dimakan agar bersih dari segi perolehan dan jenisnya. Tuhan sangat mencintai orang-orang yang hidup bersih, baik dan menyehatkan. Dengan tubuh yang sehat, berarti punya kesempatan untuk beramal shaleh lebih banyak daripada yang sakit. Orang sehat akan memiliki percaya diri secara meningkat diabnding orang yang sakit.

Puasa dengan mensucikan diri secara lahir dan batin akan menuntun manusia pada cahaya ilahi. Cahaya (nur) yang akan menuntun dan menjadi lentera kehidupan manusia. Cara yang paling efektif untuk merasakan bukti syukur ialah melakukan kegiatan sahur atau berbuka bersama duafa. Sahur bersama orang-orang miskin dan tertindas. Sahur bersama mereka yang bekerja keras bertaruh hidup saat malam. Saat jam tiga malam telah menggelar jualan di pinggir-pinggir jalan. Sahur bersama abang becak yang mengayuh becak di kegelapan malam. Berbagi dengan penderitaan orang lain akan lebih membuka mata hati kita untuk bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur dengan menolong manusia yang tengah berjuang melawan kesulitan. Kegiatan sahur telah dilakukan oleh Ibu Sinta Nuriyah setiap tahun, dengan ribuan kaum miskin, yang di gelar di pondok pesantren Syekh Abdul Qodir al-Jailani, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, pada kamis malam jum’at, 14 oktober 2005. Cara sahur bersama seperti ini akan mengembangkan sikap empati kita kepada orang lain. Demikian juga, tradisi buka bersama dengan kalangan anak-anak yatim dan fakir miskin akan mendekatkan kita untuk mewujudkan rasa syukur atas karunia Allah SWT

Ikut berbagi rasa dan mencintai kehidupan manusia merupakan strategi mensyukuri nikmat kesehatan dan keselamatan, disamping istiqomah menjalankan sholat dan dzikir kepada Allah SWT setiap waktu.

Sunday, October 02, 2005

Rakyat Kian Rapuh

Kebijakan menaikkan BBM telah membuat sebagia rakyat mengeluh. Rakyat mulai menuai air mata. Bensin satu liter mencapai 4500. dan solar 4.200. barang-barang pun naik tinggi. Rakyat terbentur beban yang semakin berat. Benturan kini tengah menghadang didepan mata. Sejauh mana tingkat kesengsaraan mereka?

***


Rakyat Kian Rapuh

Oleh: Najlah Naqiyah


Rakyat mulai menuai air mata. Kebijakan menaikkan BBM telah membuat sebagia rakyat mengeluh. Rakyat terbentur beban yang semakin berat. Benturan kini tengah menghadang didepan mata. Bensin satu liter mencapai 4500. dan solar 4.200. barang-barang pun naik tinggi.

Rakyat menghadapi musuh di negeri sendiri. Musuh globalisasi yang ada pada kehidupan sehari-hari. Musuh berupa harga-harga tinggi dalam sektor kebutuhan. Mengapa kenaikan harga menjadi beban rakyat? Karena rakyat mayoritas terlelap. Rakyat sebagai buruh dinegerinya sendiri. Rakyat hidup pas-pasan bahkan seringkali kekurangan. Rakyat bekerja dengan upah rendah. Selama ini, rakyat tidak dibangkitkan. Hanya jadi penonton pembangunan. Rakyat yang malang. Kini tengah dipecundangi oleh harga yang tidak terjangkau.

Rakyat tengah melawan tirani global. Betapa tidak, naiknya BBM mengikuti harga pasar dunia, membuat rakyat jelata makin melata. Rakyat Indonesia tidak siap bertanding melawan harga global. Dalam ketidaksiapan tersebut, apapun bisa terjadi. Lima ledakan bom beruntun dikota Bali sehari menyambut kenaikan BBM dilaksanakan. 25 orang meninggal dunia dan puluhan luka-luka. Teroris sepertinya tumbuh subur ditengah kemiskinan. Sementara kecemasan hidup makin dirasakan.

Kalkulasi penghasilan rakyat tidak sebanding dengan ongkos hidup sehari-hari. Kini rakyatpun harus bertaruh. Tergilas ekonomi global atau melawan kapitalisme global. Pilihan itupun harus dilakukan. Harga terus melambung, dan kebutuhan hidup makin penuh persaingan. Benturan kenaikan harga. Bensin melambung tinggi. Sembako merambah tidak terkendali. Rakyatpun makin tenggelam kelaut sunyi. Laut penuh dengan tangisan. Jeritan rakyat tersembunyi. Menjadi nyanyian demonstarasi. Demonstrasi yang gegap gempita melawan meneriakkan jeritan rakyat yang nyinyir. Suara penolakan terasa anyir. Hentakan para demonstran melanggamkan ketertindasan kaum miskin. Alih-alih, suara itu mau didengarkan, justru yang terjadi ketidakpedulian terhadap lolongan kaum miskin. Lalu bagaimana dengan nasib rakyat miskin?

Rakyat miskin seolah hanya menjadi tumbal bagi kepongahan kapitalisme. Gerojokan bantuan BBM, 300 ribu untuk tiga bulan tidak akan banyak membantu rakyat untuk bangkit. Bagaimana bisa membantu mereka, sedangkan harga seluruh kebutuhan bahan pokok makanan juga mengalami kenaikan. Bantuan BBM hanya jadi lips service bagi pemerintah seakan mengurangi beban rakyat miskin. Tapi sesungguhnya tidak cukup berarti apabila seluruh bahan pokok tidak bisa dikendalikan harganya oleh pemerintah. Lalu bagaimana dampak bagi rakyat jelata ?

Lihatlah, kekerasan makin merajalela. Aksi peledakan lima bom di Bali (1 Oktober 2005) seiring kenaikan BBM adalah realitas miris. Realitas yang tidak bisa diingkari. Peledakan bom adalah aksi kejahatan yang mereaksi kapitalisme global. Pelaku kejahatan tidak bermoral. Mengapa pelaku meledakkan saat BBM mulai dinaikkan? Mengaitkan peledakan bom dengan harga BBM baru adalah sebuah skenario sunyi. Skenario yang bisu tetapi menolak keras. Kalau pelaku tidak mempermasalahkan harga BBM, mengapa peledakan itu dilakukan saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM? Suatu perenungan mengungkap modus teroris. Terorisme mengail diair keruh untuk membuat resah kebijakan pemerintah.

Ketika ledakan itu benar-benar meluluh lantakkan kuta Bali. Ada tanya tersisa? Sekuat apapun kapitalisme global dilawan dengan kekerasan, tidak akan bisa dihancur luluhkan. Karena sesungguhnya kerapuhan rakyat adalah jalan tol bagi kapitalisme bertahta. Satu-satunya cara melawan kapitalisme adalah kekuatan rakyat yang tangguh. Kekuatan akal budi yang santun. Kekatan nalar rasional yang bisa melawan jaringan kapital global. Bukan dengan peledakan bom atau membunuh orang-orang tidak bersalah.

Semakin kekerasan dijadikan jalan. Akan semakin rapuh bangsa ini berjalan. Kebijakan menaikkan BBM merapuhkan rakyat. Kekeroposan hidup rakyat makin nyata. Rakyat makin tidak memperoleh akses transportasi. Kenapa? Karena transportasi menjadi mahal dan layanan tidak nyaman. Dilain pihak, kebutuhan pangan makin mahal.dalam kondisi yang terjepit, maka rakyat akan berbuat apa saja mempertahankan hidup. Maka kemiskinan rakyat menjadi tumbuh suburnya kejahatan, kekerasan dan kesengsaraan. Disitulah terorisme akan makin subur dan dipelihara. Kiranya, kebijakan BBM disatu pihak mengajarkan masyarakat untuk bersikap hemat dan hati-hati. Tapi dipihak lain akan membuat kebutuhan barang melambung tinggi. Akhirnya, rakyat jua yang tercekik oleh kepentingan kapitalisme. Sementara para pemilik modal akan makin mengokohkan usahanya. Mereka menjadikan rakyat jelata sebagai mesin-mesin memproduksi usaha mereka. Pilihan seperti inilah, yang membuat rakyat seperti memakan buah simala kama. Terlebih jika pemerintah masuk dalam kepentingan kapitalisme. Kehidupan rakyat jelata kian ringkih.