Thursday, October 27, 2005

“Semangat” di Tengah Konflik Multikultural

Kehidupan di Indonesia bergeser ke arah multikultural. Kehidupan multikultural berkembang di masyarakat dengan beragam latar dan keinginan yang berbeda-beda. Nilai-nilai budaya kini syarat dengan masalah minoritas, rasial dan etnik, serta agama. Carut marut ekonomi dan sosial, pendidikan dan konflik rasial dan etnik serta agama makin nyata. Masalah aliran sesat, penolakan terhadap perubahan, korupsi, dan terorisme menjadi serba dilematis. Sebagian orang rigid, eksklusif dan ekstrim. Sebagian lainnya, nampak menjadi sangat liberal, individualistik dan membawa perubahan cepat tak terkendali. Mereka membentuk kelompok-kelompok militan, membangun jaringan untuk tetap eksis. Kesemuanya membawa pada situasi serba problematik. Lantas, jalan keluarnya bagaimana?

***


“Semangat” di Tengah Konflik Multikultural

Oleh: Najlah Naqiyah


Kehidupan di Indonesia bergeser ke arah multikultural. Kehidupan multikultural berkembang di masyarakat dengan beragam latar dan keinginan yang berbeda-beda. Nilai-nilai budaya kini syarat dengan masalah minoritas, rasial dan etnik, serta agama. Carut marut ekonomi dan sosial, pendidikan dan konflik rasial dan etnik serta agama makin nyata. Masalah aliran sesat, penolakan terhadap perubahan, korupsi, dan terorisme menjadi serba dilematis. Sebagian orang rigid, eksklusif dan ekstrim. Sebagian lainnya, nampak menjadi sangat liberal, individualistik dan membawa perubahan cepat tak terkendali. Mereka membentuk kelompok-kelompok militan, membangun jaringan untuk tetap eksis. Kesemuanya membawa pada situasi serba problematik.

Meningkatnya isu multikulturalisme saat ini, menuntut orang untuk memiliki wawasan pendekatan post-modernisme tentang manusia. Isu-isu berseliweran, seperti, persamaan sosial (equality social), gender, kelompok minoritas dan marginal, dan pemberdayaan serta pembebasan perempuan, dan lebih khusus lagi meningkatnya kekuatan kelompok militan. Pertanyaannya adalah, Bagaimana menghadapi kultur populasi yang berbeda-beda di masyarakat kontemporer? Masyarakat kontemporer membutuhkan pencegahan stress, strategi menciptakan pertumbuhan, membangkitkan visi dan inspirasi individu memperoleh rasa kompeten, mencari jalan keluar dari kesulian-kesulitan kejiwaan, menemukan pemahaman, dan peka terhadap konteks masyarakat. Lalu, apa implikasi bagi masyarakat miskin, yang kebutuhannya tidak terpenuhi?

Ekonomi global menggilas orang-orang miskin. Kebutuhan pangan mahal. Sedangkan pendapatan kurang, bahkan tidak menentu. Masyarakat bawah terseret mundur oleh laju kehidupan post-modern. Terjadi kesenjangan antara masyarakat tradisional dan post-modern. Orang-orang tradisional ada di desa, dan terpinggirkan dari jantung kota. Jumlah orang-orang miskin meningkat hingga 30% setelah kenaikan BBM. Demikian juga angka statistik masyarakat miskin mencapai 60 juta. Mereka menjadi tanggungan bangsa Indonesia. Bagaimana menyikapi keadaan miskin di era ekonomi global ini? Orang-orang miskin bukan saja kekurangan harta benda. Orang miskin juga terancam kehilangan semangat untuk hidup. Semangat kompetisi rendah dan mereka lari dari masalah dan putus asa. Salah satu tugas bersama kita ialah saling memberi semangat agar mampu merubah diri ke arah hidup lebih baik.

Adler dan pengikutnya menganggap bahwa pemberian semangat/dorongan adalah aspek krusial dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia. “setiap langkah hidup, kita harus memberi dorongan/semangat untuk tumbuh kembang. “betapa pentingnya untuk setiap saat memperbaharui semangat/dorongan”. Keterampilan memberikan semangat/dorongan termasuk mengungkapkan keresahan yang dialami oleh masyarakat, aktif mendengarkan dan empatik. Komunikasi yang respek memberikan rasa percaya; fokus pada kekuatan, aset-aset dan sumber-sumber; untuk membantu menemukan persepsi alternatif dari dorongan kepercayaan yang salah, memfokuskan kemajuan dan usaha dan membantu orang menemukan humor dari pengalaman hidupnya. (Adler, 1956. et.al.)

Proses memberi semangat/dorongan sendiri bisa dilakukan oleh orang tua, guru, konselor, tokoh pemerintah dan tokoh agama serta teman sebaya. Ada tiga proses memberi semangat, yaitu pandangan tentang perilaku malasuai (prespective on maladjustment), hubungan (relationship), dan fasilitas perubahan.

Pertama, definisi masalah dan perilaku malasuai. Orang yang bermasalah bukanlah orang sakit, dan tidak memberi “label” untuk mendiagnosanya. (Dejong, 1998 et.al). Littrell menyatakan bahwa orang bermasalah disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, “demoralized’ atau kehilangan semangat/dorongan, “discouraged”. Jika seseorang hanya kehilangan harapan, maka salah satu tugas konselor/guru/tokoh agama/aparat pemerintah ialah membantu proses membongkar harapan yang hilang. Dreikurs (1967) menulis bahwa orang yang memiliki semangat akan memfungsikan hidup secara penuh, sebaliknya, orang yang kehilangan semangat, akan rusak dan tidak bisa berfungsi secara lebih baik.

Kedua, Hubungan dengan orang lain menggunakan berbagai macam kata, seperti kerjasama, kolaborasi, persamaan, timbal balik, optimis, saling hormat dan berbagi. (“cooperative”, “collaborative”, “egalitarian”, “mutual”, “optimistic”, respectfull”, dan “shared” ). (Dejong & Berg, 1998. et.al,.). Untuk mengembangkan hubungan dengan orang lain, memfokuskan pada kekuatan aliansi, kepercayaan terhadap orang lain, dan mengeksplorasi kompetensi. Littrell mengatakan, strategi dan teknik tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan keramahan, ketulusan, dan empatik dalam keseluruhan proses membina hubungan. Menurut Aliran Adler, kekuatan hubungan dicapai dengan model interes sosial. Model interes sosial memiliki kesamaan juga dengan aliran Rogers yaitu, menekankan pada memfasilitasi kondisi bagi perubahan yang “sesuai” dengan lingkungan, penuh hormat, empati dan memahaminya. Ini untuk menumbuhkan semangat dan membantu menerima pengalamannya agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Ketiga, memfasilitasi perubahan. Orang perlu dibantu untuk menemukan solusi dari problem/kegagalannya baik sikap dan perilaku. kemudian menunjukkan asset-aset dan sumber-sumber dan kekuatannya untuk melawan kekurangan dan keterbatasannya. O’Hallon 1993 et.al mengemukan tiga bagian yang digunakan, yaitu:
(1) Perubahan “kerja” (doing) terhadap situasi yang dirasakan problematik. Membantu orang untuk merubah aksi dan interaksi yang membebaskan. “menggunakan aksi lain yang tidak lazim agar lebih menguntungkan untuk keluar dari situasi daripada mengulang kembali ketidaksuksesannya”.
(2). Perubahan “pandangan” (viewing) terhadap situasi yang dirasakan problematik. Memfasilitasi perubahan pandangan sesuai dengan cara berpikirnya “ frames of reference”. Perubahan cara pandang memungkinkan untuk menciptakan perubahan tingkah laku yang menimbulkan kekuatan dan kemampuannya.
(3) Menimbulkan sumber-sumber, solusi dan kekuatan menghadapi situasi yang dirasakan problematik. Dengan mengingat kemampuan yang dimiliki, sumber-sumber, dan kekuatan akan menciptakan perubahan perilaku atau persepsi untuk terus tumbuh kembang.

Pada akhirnya, multikulturalisme menuntut manusia untuk saling memberikan semangat antara satu dengan yang lain. Pemberian semangat menekankan pendengaran empatik, penerimaan tanpa menilai, respek terhadap orang lain, mengembangkan hubungan kolaboratif dan egaliter, menyampaikan keyakinan dan kepercayaan bagi orang lain, menghargai orang lain membuat keputusan. Berfokus pada kekuatan yang memungkinkan berkembang, mengidentifikasi kepercayaan yang salah, dan memfasilitasi orang lain membuat pandangan alternatif serta usaha dan penguasaan proses daripada “penyelesaian hasil”. Di sinilah, pentingnya kita menyadari bahwa manusia itu satu, saling bersaudara antara satu dengan yang lain. Semua adalah ciptaan Allah SWT.

No comments: