Wednesday, November 16, 2005

Negeri Perempuan


Kemenangan pemilihan umum presiden di salah satu negeri Afrika, Liberia, diraih oleh perempuan besi “Ellen Jhonson Sirleaf”. Kemenangan presiden perempuan pertama di Afrika ini layaknya negeri impian perempuan. Sir Leaf sebagai perempuan punya impian untuk mengatur Afrika melalui kebijakannya. Semangat dan keberaniannya berhasil mengalahkan saingan presiden sebelumnya. Kemenangan ini menjungkir balikkan tradisi Afrika yang patriarkhi menuju egaliter. Sebelumnya, pemilihan presiden perempuan pro kontra karena dominasi patriarkhi. Dengan kemenangan ini, perempuan telah menerobos pintu kekuasaan presiden.Bagaimana kita membaca kemenangan ini?

***


Negeri Perempuan

Oleh : Najlah Naqiyah


Kemenangan pemilihan umum presiden salah satu negeri di Afrika, Liberia, diraih oleh perempuan besi “Ellen Jhonson Sirleaf”. Kemenangan presiden perempuan pertama di Afrika layaknya negeri impian perempuan. Sir Leaf sebagai perempuan punya impian untuk mengatur Afrika melalui kebijakannya. Semangat dan keberaniannya berhasil mengalahkan saingan presiden sebelumnya. Kemenangan ini menjungkir balikkan tradisi Afrika yang patriarkhi menuju egaliter. Sebelumnya, pemilihan presiden perempuan pro kontra karena dominasi patriarkhi. Dengan kemenangan ini, perempuan telah menerobos pintu kekuasaan presiden. Kepentingan perempuan akan tersuarakan melalui kebijakan dari tangan seorang perempuan. Terlebih, sejarah Afrika, banyak anak-anak dan perempuan bernasib miskin, kelaparan dan menderita. Dengan dipilihnya perempuan sebagai presiden membawa perubahan nasib perempuan Afrika. Misalnya kepentingan kesehatan bagi ibu-ibu yang melahirkan perlu dilindungi oleh negeri secara layak. Kesempatan memperoleh hak-hak reproduksi bagi perempuan lebih diperhatikan. Presiden perempuan mengetahui persis bagaimana kebutuhan ibu melahirkan, maka ia akan menyuarakan kepentingan banyak perempuan.

Perempuan yang ada di level kekuasaan selayaknya membawa kepentingan perempuan dalam wilayah publik. Apa saja kepentingan perempuan itu ? kepentingan kesehatan, akses informasi dan jaringan kekuasaan serta kepentingan pendidikan. Kepentingan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Bagaiamana cara meraihnya ? tentu dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk melibatkan sebanyak mungkin kaum perempuan yang berkualitas dalam segala bidang pemerintahan. Baik bidang hokum, ekonomi dan sosial serta keamanan. Perempuan perlu banyak terlibat mengisi pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan talenta yang berkembang.

Perempuan “tiang negara” atau “tiang listrik”?

Perempuan bisa menjadi “tiang negeri” atau “tiang listrik”. Sebagai tiang negeri, maka perempuan menjadi penyangga bagi kekuatan negeri. Jika penyangga kokoh dan kuat, maka negeri berdiri kokoh. Sebaliknya apabila penyangganya lemah dan rapuh, maka negeri akan menjadi miskin dan tidak berdaya. Perempuan tiang negeri akan berfungsi sebagai perempuan yang berani membela kepentingan perempuan, dan kepentingan masyarakat dengan adil. Perempuan yang berkarakter dan bekerja keras untuk menegakkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Sebaliknya apabila perempuan hanya sebagai tiang listrik, adalah perempuan yang selalu tidak puas dengan dirinya. Perempuan bergaya konsumtif dan memaksa suaminya untuk melakukan korupsi agar kemewahan hidup tercapai dengan cara mudah. Perempuan “tiang listrik” ini hanya mengobarkan kerakusan dan ketamakan bagi negeri. Perempuan yang menghasut dan menjilat untuk kepentingan diri sendiri. Jika menilik realitas sekarang. Lebih banyak mana perempuan yang berfngsi sebagai “tiang negara” atau “tiang listrik”? perempuan yang baik tentu berperan sebagai perempuan yang menjaga martabat diri dan keluarga serta masyarakat. Sebaliknya perempuan yang jahat, akan menumbuhkan rasa kekerasan pada sekelilingnya. Perempuan yang suka marah dan memukul anak-anaknya, perempuan yang culas memeras, memaksa orang lain untuk melakukan korupsi, kolusi dan pelecehan seksual serta pembunuhan.

Perempuan secara budaya berjalan tertatih-tatih dan terhalang oleh kokohnya tradisi. Tradisi perempuan yang terhempas oleh kenyataan bertaburan diberbagai belahan negeri. Di daerah memiliki cerita rakyat yang identik dengan poligami, perempuan rumah dan terbelakang, serta perempuan dikorbankan. Cerita raja-raja dengan ratusan selir perempuan, adalah kenyataan yang sangat pahit. Cerita itu terus menerus bergulir sebagai pembenaran dari laki-laki yang berpoligami. Kartini yang tidak mampu melawan poligami dan meninggal karena melahirkan adalah bentuk sejarah beratnya perempuan menanggung hidup. Dilaju modernisme, perempuan diperjual belikan berkedok kejahatan international, sebagai kurir narkoba, pemuas nafsu dan bisnis prostitusi. Berbagai tradisi selalu berganti dan membengkus ketidak adilan dengan kemewahan perempuan yang menyakitkan. Seperti nasip perempuan kupu-kupu malam, yang menangis dalam senyuman laki-laki hidung belang. Mereka bergelimang tempat mewah dalam keterpasungan. Ditengah keterpasungan tradisi yang mengusung perempuan sebagai ikon yang dijungkir balikkan, perlu sikap kritis dari elemen perempuan sendiri dan kalangan pemerhati perempuan. Sikap kritis irtu ditunjukkan dengan memperjuangkan harapan bagi negeri impian perempuan. Negeri yang diangankan oleh banyak perempuan.

Negeri perempuan adalah sebuah impian, dimana suatu negeri yang menegakkan prisip egaliter antara laki-laki dan perempuan. Negeri yang memiliki budaya memberikan kesempatan perempuan untuk berusaha dan bekerja keras secara maksimal. Negeri yang melayani perempuan untuk bersekolah dan berpengetahuan. Negeri yang membebaskan perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Negeri yang berbudaya dan berbudi. Untuk mencapai negeri impian perempuan, ada beberapa cara:
Pertama, perempuan perlu mengambil tradisi klasik yang baik, seperti peran perempuan sebagai ibu yang mendidik anak-anak secara kasih dan saying dipertegas kembali. Pengasuhan ditangan ibu kandung perempuan akan lebih bisa mempersiapkan perempuan ang percaya diri dan belas asih. Penegasan tradisi yang baik perlu terus disuarakan, agar tidak pudar oleh arus yang menghambat perempuan untuk berperan sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Kedua, perempuan perlu belajar berani, menghilangkan sikap ragu-ragu dan diam. Karena diam dan membiarkan ketidakadilan bagi dirinya adalah menambah penderitaan. Perempuan yang terlalu diam dan pasif akan represif. Perempuan menekan segala keinginan seperti layaknya api dalam sekam. Perempuan siap meledak dan membakar dirinya sendiri dengan kesakitan dan luka. Dengan berani mengambil resiko pilihan hidupnya, perempuan telah memilih bersikap arif untuk kemajuan dirinya. Sebaliknya, terlalu berpikir negative dan berprasngka buruk akan menghambat karier perempuan.

Ketiga, negeri perempuan perlu dihadirkan dalam setiap relung hati perempuan masing-masing. Setiap perempuan perlu meraih impiannya dan mempunyai jalan hidup sesuai hati nuraninta. Akhirnya negeri perempuan ada disetiap relung diri perempuan untuk maju. Meraih keadilan dan memperjuangkan kebenaran hidup manusia seluruhnya.

Teroris, Ideologi Agama dan Ketidakadilan


Penangkapan terorisme adalah isu sentral di tanah air. Rabu, 9 Nopember 2005, Dr Azhari ditembak mati oleh polisi di Batu Malang. Kini, gembong teror itu telah tiada. Apakah jaringannya akan berhenti? Pertanyaan tersebut wajar diajukan. Mengingat gerakan Dr. Azhari sebagai otak pengeboman di Indonesia. Tertangkapnya Dr. Azhari merupakan prestasi kepolisian RI. Polisi berhasil menggeladah dan menembak para teroris. Orang yang tertembak adalah Dr. Azhari diperkuat oleh sidik jari dan barang-barang milik korban, seperti kacamata, baju dan sejumlah bom rakitan. Keberhasilan ini akan membuat polisi lebih percaya diri untuk menemukan kawanan Dr. Azhari yang melarikan diri, seperti Nurdin M. Thop, Cholily dsb. Bagaimana membaca kinerja kepolisian menanggulangi terorisme?

***


Teroris, Ideologi Agama dan Ketidakadilan

Oleh : Najlah Naqiyah


Penangkapan terorisme adalah isu sentral di tanah air. Rabu, 9 Nopember 2005, Dr Azhari ditembak mati oleh polisi di Batu Malang. Kini, gembong teror itu telah tiada. Apakah jaringannya akan berhenti? Pertanyaan tersebut wajar diajukan. Mengingat gerakan Dr. Azhari sebagai otak pengeboman di Indonesia. Tertangkapnya Dr. Azhari merupakan prestasi kepolisian RI. Polisi berhasil menggeladah dan menembak para teroris. Orang yang tertembak adalah Dr. Azhari diperkuat oleh sidik jari dan barang-barang milik korban, seperti kacamata, baju dan sejumlah bom rakitan. Keberhasilan ini akan membuat polisi lebih percaya diri untuk menemukan kawanan Dr. Azhari yang melarikan diri, seperti Nurdin M. Thop, Cholily dsb.

Bagaimana membaca kinerja kepolisian menanggulangi terorisme? Kinerja polisi masih terjadi pro dan kontra. Sebagian beranggapan kepolisian RI lemah dan tidak mampu membasmi teroris. Sebagian lagi berpendapat, polisi memiliki kemampuan apabila didukung oleh sarana memadai. Pendapat tersebut wajar adanya, mengingat polisi kerap kali kecolongan oleh ledakan bom diberbagai tempat. Bom Bali I dan II, dan bom J.V. Mariot dan kedutaan Australia. Karena kebutuhan yang mendesak, lahir undang-undang yang memberikan kewenangan tentara ikut terlibat membasmi teroris. Dana dikucurkan untuk biaya membasmi terorisme diperuntukkan tentara 9 trilun dan polisi 12 trilun. (Jawapos, 11 Nopember 2003). Polisi mampu melakukan penangkapan terhadap pelaku teror. Polisi berhasil menembak mati buron teror yang meresahkan masyarakat.
Membasmi gerakan teroris tidak bisa berhasil hanya dilakukan oleh polisi dan tentara saja. Membasmi teroris perlu kerja sama antara seluruh komponen bangsa. Para tokoh agamawan, keploisian dan masyarakat perlu bahu membahu. Kekerasan menghabiskan nyawa orang banyak dengan ledakan bom meresahkan.

Mengapa gerakan teroris tumbuh subur di negeri miskin? Tumbuhnya terorisme didasarkan oleh ideologi, ketidakadilan dan kelaliman. Adanya ideologi yang membenarkan melakukan kekerasan atas ketidakadilan dan kelaliman disuatu negeri. Ideologi tersebut dihidupkan oleh pelaku kejahatan. Pelaku teror berjubah ideologi tertentu memikat dan menyebarluaskan ajarannya. Jika merunut pada kebebesan dan arus invormasi yang masuk dan beragam, ideologi apapun bisa merasuki dan tumbuh mempengaruhi sebagaian orang. Umumnya, penyebaran ideologi merasuki kaum muda yang militansi mereka sangat kuat untuk melandasi cara berpikir dan beraksi. Misalnya gerakan doktrinisasi dan cuci otak atas suatu ideologi akan menggerakkan kelompok dengan militansi yang kuat. Mereka mudah diprovokasi untuk melakukan aksi sesuai dengan ideologi yang telah ditanamkan. Merasuknya ideologi yang membenarkan kekerasan adalah ideologi kolonial dihidupkan untuk menjajah negeri kembali. Bagaimana reaksi para tokoh agamawan melihat ideologi teroris berkembang merasuki kalangan muda?

Maraknya ideologi baru yang tumbuh kembang tanpa batas, muncul kekhawatiran para Ulama’ Nahdatul Ulama’. Para Ulama’ NU delegasi pesantren berkumpul dan mencetuskan gagasan “resolusi jihad II”. Resolusi tersebut dipelopori oleh pesantren Islam se Indonesia yang di deklarasikan oleh PBNU tanggal 22 Oktober 2005 di Jakarta. Resolusi jihad II untuk menentang keras dan melarang penyebaran paham ideologi kolonial. Paham ieologi yang membenarkan sikap kekerasan untuk mencapai maksudnya. Sumber teroris berasal dari ideologi yang mengabsahkan kekerasan. Ideologi yang membenarkan pembunuhan untuk memenuhi keinginannya. Ideologi yang membenarkan orang melakukan bom bunuh diri. Ideologi yang mencuci orang agar bertindak kekerasan. Ideologi yang membawa jubah agama.

Apakah agama berpotensi menjadi sumber konflik ? Secara idealis, agama apapun mengajarkan cinta damai, dan keselamatan serta kedamaian. Namun prakteknya, ketika agama telah dipeluk oleh pemeluknya, fungsi agama jadi beragam. Pada tataran praksis, agama bisa menjadi candu. Agama sebagai pelarian dari segala kemelaratan dan kemiskinan yang dihadapi. Bahkan agama jadi semangat untuk melakukan ambisi, agresi dan obsesi. Agama sebagai semangat inilah yang memberikan ruang bebas bagi penafsir untuk menterjemahkan agama menurut akal budinya. Pada wilayah tafsir inilah, meniscayakan terjadinya perebutan tafsir. Perebutan kerangka pikir baik tekstual, kontekstual, liberal, klasik, dan kontemporer serta rigid menjadi mungkin dalam produk tafsir. Berbagai tafsir tersebut yang mempengaruhi cara pandang masyarakat. Terbukanya pengaruh dari beragam tafsir agama, teks-teks suci bisa ditafsir sesuai kepentingan mufasir. Luasnya pengaruh pikir dan akal yang membawa teks sesuai kepentingan masin-masing penafsir. Peran tokoh agamawan perlu merebut wilayah tafsir yang sesuai dengan gagasan universal. Para tokoh agama di pesantren punya andil besar menerjemahkan teks agama sebagai rahmat bagi alam semesta.

Tokoh agama di pesantren berkomitmen untuk membawa ideologi agama yang membawa kedamaian dengan cara-cara yang beradab dan menolak kekerasan. Pesantren perlu terlibat untuk mengcounter ideologi kolonial dengan ajaran yang mengedepankan nilai-nilai universal seperti nilai persaudaraan, perdamaian dan persatuan. Ajaran tersebut perlu disebarkan melalui dakwah bil lisan (dengan perkataan yang baik) dan bil hal (dengan amal perbuatan) secara baik dan benar. Komunitas pesantren sebagi miniatur penyebaran Islam tradisional dan modern. Pesantren perlu terlibat karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Konsekwensi yang membawa implikasi terjadinya penyalahgunaan ideologi Islam untuk kepentingan teroris. Paham Islam disalahgunakan untuk kepetingan kekerasan. Untuk itulah, pesantren sangat berperan strategis membangun kultur yang mengedepankan visi perdamaian dan persemaian nilai-nilai lokal yang diajarkan dan disebarkan melalui pendidikan.

Membasmi teroris dalam jangka panjang adalah mengobati sumber dari teror itu sendiri. Sumber teror adalah maraknya ketidakadilan dan kelaliman. Ketidakadilan menyebabkan masyarakat miskin dan terkapar kelaparan. Ketidakadilan menyebabkan pengangguran, dan mudah tergiur dalam rekrutan jaringan teroris. Ketidakadilan seakan menjadi sumbu untuk menyulut ratusan bom siap diledakkan oleh teroris. Kalau hari ini, ideologi kekerasan masih tumbuh makmur, karena ketidakadilan dan kemiskinan dipelihara oleh negara. Bukankah dengan naiknya BBM telah menambah jumlah kemiskinan penduduk menjadi 68 %. Jadi negara telah berhasil meningkatkan kemiskinan rakyat. Ironi bukan?. Selayaknya, pemerintah mesti intropeksi dan memperbaiki diri. Dalam kinerja setahun kabinet SBY-JK masih ada kesempatan untuk membentuk pemerintah yang adil dan bersih. Dengan meningkatkan keadilan dinegeri ini, maka lambat laut penggerak teror tidak mendapatkan tempat dimasyarakat. Teroris dengan sendirinya tidak populer dan mati.

Semangat Rekonsiliasi

Ibadah puasa dan hari raya Idul fitri mengandung semangat rekonsiliasi. Semangat lebaran adalah semangat rekonsiliasi. Saling memaafkan antara sesama manusia. Namun bagaimana bentuk rekonsiliasi pemerintah ke rakyatnya? Semestinya pemerintah serius dan berkomitmen kuat menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pemerintah menindak tegas pelaku koruptor yang makan uang rakyat. Pemerintah memperbaiki layanan publik yang mengutamakan kepentingan masyarakat banyak. Rakyat menunggu tegaknya peraturan yang adil sehingga tercipta institusi sosial yang kokoh. Harus berapa lama rakyat harus menunggu dan terus menanti? Jika kesemuanya tidak ada rasa peduli, maka kualitas pribadi tidak kokoh. Rakyat mudah tergoda untuk melakukan pelanggaran, kekerasan dan kesalahan akibat lingkungan yang rusak. Bagiamana agama berbicara tentang rekonsiliasi?

***


Semangat Rekonsiliasi

Oleh : Najlah Naqiyah


Ibadah puasa dan hari raya Idul fitri mengandung semangat rekonsiliasi. Semangat lebaran adalah semangat rekonsiliasi. Saling memaafkan antara sesama manusia. Namun bagaimana bentuk rekonsiliasi pemerintah ke rakyatnya? Semestinya pemerintah serius dan berkomitmen kuat menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pemerintah menindak tegas pelaku koruptor yang makan uang rakyat. Pemerintah memperbaiki layanan publik yang mengutamakan kepentingan masyarakat banyak. Rakyat menunggu tegaknya peraturan yang adil sehingga tercipta institusi sosial yang kokoh. Harus berapa lama rakyat harus menunggu dan terus menanti? Jika kesemuanya tidak ada rasa peduli, maka kualitas pribadi tidak kokoh. Rakyat mudah tergoda untuk melakukan pelanggaran, kekerasan dan kesalahan akibat lingkungan yang rusak. Bagiamana agama berbicara tentang rekonsiliasi?

Ibadah puasa dan lebaran merupakan perjalanan spritualisme pribadi. Ibadah puasa dan lebaran adalah serangkaian aktivitas relegius melatih orang sabar, menahan diri dan menepati waktu, disiplin dan komitmen kuat melakukan tugas-tugas kewajiban. Sedangkan, tradisi lebaran, bernilai fitrah. Setiap insan membuka hati dan saling memaafkan. Tradisi puasa dan lebaran meningkatkan kualitas individu agar saling menghargai sesamanya. Puasa dan lebaran membentuk kualitas individu lebih baik. Namun demikian, dampak spritulistas tersebut tidak tumbuh apabila tidak disertai dengan institusi sosial dan pemerintah yang baik.

Bagiamana indikasi keretakan institusi sosial masyarakat? indikasi yang paling kuat ialah lemahnya peraturan yang ditaati oelh masyarakat. Masyarakat banyak yang acuh tak acuh ke peraturan daerah, karena tidak ada contoh yang baik dari aparat pemerintah daerah. Bagaimana mungkin rakyat akan taat ke peraturan, sedangkan pembuat peraturannya melanggar? Bagaimana rakyat bisa percaya terhadap kinerja aparatur hukum, sedang pembuat hukum terlibat kasus korupsi dan kolusi serta suap? Bagaimana rakyat bisa taat kepada pemerintah, jika pejabatnya selalu menuntut kenaikan tunjangan dan gaji terus menerus dari uang rakyat?

Indikasi keretakan sosial nampak dari gejala hedonistic meal . banyak sindrom budaya konsumtif ini menggejala ditataran petinggi dan penguasa. Bukti konkrinya ialah, sumber daya alam indonesia yang kaya, tetapi rakyatnya mayoritas miskin. Lalu siapa yang memanfaatkan sumber daya alam yang kaya itu ? hanya segelintir orang yang menjadi penikmat dan mengeruk keuntungan. Dan segelintir orang pula yang mengidap penyakit hidonostic meal. Bagaimana gejala orang yang terjangkit hidonostic meal? yaitu orang yang terus menerus berpikir untuk berbelanja secara berlebih-lebihan. Misalnya, selalu berpikir untuk mengejar merek terbaru setiap waktu. Misalnya, orang yang pikirannya selalu terpenuhi untuk mengejar model mobil terbaru, rumah, hp dan barang mewahnya setiap minggu. Jika mental ini telah menjalar pada pribadi yang memiliki kuasa, maka akan sulit bangsa ini mencapai institusi sosial yang setara, adil dan beradab. Berapapun kekayaan negara akan habis untuk belanja secara konsumtif.

Bagaimana menumbuhkan semangat rekonsiliasi rakyat dan pemerintah? Pertama, Merekatkan kembali institusi sosial. Institusi sosial yang tercerai berai telah nampak ditingkat desa. Kasus ketidakadilan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), membuat rakyat tidak percaya pada aparat desa. Kekerasan, ketidakpedulian warga terhadap kebijakan aparat, adalah indikasi nyata cerai berainya kelompok sosial dilapisan bawah. Cara merekatkan kembali dengan itikad baik pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pemerintah membuktikan keberpihakannya ke masyarakat miskin. Aparat desa hendaknya mendata penerima BLT secara adil, mengutamakan orang-orang yang miskin, bukan keluarga dekatnya. Aparat desa hendaknya menanam kembali rasa percaya masyarakat dengan menyampaikan amanat kepada orang-orang yang berhak. Bukti akan terwujud apabila ada rasa percaya rakyat kepada pemerintah. Rasa percaya bisa hadir apabila pemerintah memberikan kesejahteraan yang sungguh-sungguh bagi masyarakat miskin.

Kedua, Rekonsiliasi bangsa dilakukan dengan penegakan hukum yang memberi rasa keadilan bagi masyarakat. Penghapusan hukum bagi penguasa hanya akan membuat rakyat kecewa dan sengsara. Penegakan hukum bagi aparat yang bersalah harus ditegakkan. Tidak ada jalan lain, kecuali mengusut tuntas pelaku korupsi yang telah menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya.

Sunday, November 06, 2005

Asghar A Engineer: Shari'ah, Women and Traditional Society

Tulisan Asghar Ali Engineer berjudul "Shari'ah, Women and Traditional Society" berikut ini sangat menarik untuk dicermati, menyodok-nyodok kewanitaan kita. Silahkan disimak lebih lanjut. Berikut ini saya kutipkan:

"... a Muslim woman Mukhtaran Mai in Pakistani part of Punjab having been raped by men of her village by the order of Panchayat. Another woman called Imrana from Bijnor district of U.P. in India was raped by her own father-in law and the village Pachayat at the instance of a local mullah asked her to marry her own father-in-law and treat her husband as her 'son'. These are absolutely shocking rulings in the name of Shari'ah. In Mukhtaran Mai's case whole state machinery was ranged against a helpless woman to deny her justice. All this raises important question: what is the place of women in Muslim societies? ...."

***


Shari'ah, Women and Traditional Society

August 2005

by Asghar Ali Engineer


In the last few days there has been disturbing news of a Muslim woman Mukhtaran Mai in Pakistani part of Punjab having been raped by men of her village by the order of Panchayat. Another woman called Imrana from Bijnor district of U.P. in India was raped by her own father-in law and the village Pachayat at the instance of a local mullah asked her to marry her own father-in-law and treat her husband as her 'son'. These are absolutely shocking rulings in the name of Shari'ah.

Similarly few persons raped Mukhtaran Mai in Pakistan as a result of Panchyat's decision as her brother had done something wrong. These persons were released by the Punjab High Court though later on an appeal filed by Mukhtaran Mai Supreme Court of Pakistan again ordered these alleged rapists to be rearrested. What is shocking is that the Government of an Islamic Re-public of Pakistan black listed her so as to disallow her to travel abroad and on public hue and cry removed her name from the black list but took away her passport. Again under pressure from human rights activists passport was returned to her.

In Mukhtaran Mai's case whole state machinery was ranged against a helpless woman to deny her justice. All this raises important question: what is the place of women in Muslim societies? The Muslim men never tire of repeating that Islam gave women rights and human dignity they deserve and also keep her wrapped up in veil to 'protect' her chastity and on the other, readily condone such disgraceful treatment in the society. In almost all Muslim countries (I would hesitate to call them 'Islamic' countries as usually they are referred to) women is treated as secondary to men or even worse. The Taliban even denied her right to education and closed down all schools meant for girls and disallowed them to work and earn their livings even when there was no man member in the house.

The Saudis do not allow women to drive cars and deny them right to vote even in Municipal elections. In Kuwait women won right to vote recently after a long drawn struggle. In Pakistan women are more often punished for rape and men go scot free as she cannot produce required four witnesses. Also, we find in Sindh what is known as 'karo kari according to which she is killed if she is found talking to a stranger of the other sex. In Bangla Desh the village mullahs do not allow women even to pillion ride with her husband or some male relative. They issue fatwas if women work with some NGOs for their living.

They dub all activities outside home as 'un-Islamic' and issues fatwas. Mukhraran Mai was raped at the instance of village panchayat simply because her brother was guilty. Such punishment cannot be given in Islam even if she was guilty of some serious crime, much less for what her brother did. Yet not only the government remained silent spectator but even took steps against her.

The question is whether the Muslim 'ulama consider all this as Islamic (which no one even with elementary knowledge of Islam would uphold as Islamic) or connive at these horrific acts against women because they are men. In India too all Hanafi and Shafi'i 'ulama consider triple divorce as bid'ah (i.e. sinful) and yet while holding such divorce valid according to their school of law never ever launched campaign against it and never tried to educate Muslim men that they should avoid this form of divorce as it is sinful and they should resort to other forms of divorce like talaq-i-sunnah or talaq-i-hasan or ahsan which were approved by the Qur'an or the Prophet's sunnah. Whenever the case of triple divorce came to them they would decree that his divorced wife has now become haram (prohibited) to him.

We can conclude from all this happening in Muslim countries that to our 'ulama are more committed to patriarchy and patriarchal values than to Islam. In North West Frontier province where Muttahida Majlis-e-Amal, an Islamic Front, has won elections and formed the government, maximum number of such cases take place and yet these 'ulama who agitated for enforcing shari'ah rule in this province keep silent when such atrocities are committed against women. Even most conservative shari'ah law would not approve of shooting down a woman if she is found to have relations with any stranger and yet 'ulama keep quiet at such incidents and do not try to educate men against such atrocities.

Thus the commitment to Islam is skin deep when it comes to women's rights. The shari'ah itself is a result of patriarchal interpretation of the Holy Qur'an and even patriarchally loaded shari'ah also is ignored when it comes to persecuting women and depriving them of their rights. There is nothing in the Qur'an which prohibits women from dealing with men other than those who are prohibited to her for marriage and yet in several Muslim societies she is not allowed to deal with them in any manner in the name of Islam.

Thus all of us Muslims need to seriously reflect upon condition of women in Muslim societies. The Qur'an gave her all the rights which modern societies have given her in the beginning of twentieth century and yet she never enjoyed these rights except for a short period when the Prophet (PBUH) was alive and until the Caliphate lasted for 30 years. With the Umayyad period she began to loose her rights until she was completely subjugated and became confined to four walls of her house and this began to be considered as her highest virtue.

It is now that women are getting educated and becoming aware of their Islamic rights and challenging medieval interpretations laded with patriarchal values and agitating for their rights. In Saudi Arabia too women are challenging their conventional status and asking for more rights and Saudi Government is grudgingly responding to women's demands. In Saudi Arabia women graduates from universities constitute about 50 per cent and hence their enhanced awareness.

In western countries now Muslim women have taken yet another step – leading the mixed congregational prayer and delivering Friday sermon. After Amina Wadood now another Muslim woman from New York Pamela Taylor led mixed congregational prayer in Canada on 1 st July 2005 well, it may be too radical for men in Asian ad African countries but it is undoubtedly an irreversible trend. What is considered 'unIslamic' at one stage by our ulama becomes perfectly Islamic after a few decades, or even after a few years, in some cases.

Now a large number of Muslims live in non-Muslim countries and face new dilemmas every day and for which there are no answers in conventional shari'ah books or they conflict with law of the land or modern social ethos. This also necessitates a serious reflection on the state of affairs of Muslim law by committed scholars to Islam. The traditional ulama are by and large unfit for the job. Only those who have in depth knowledge of the Qur'an, hadith and early Islamic history and process of evolution of shari'ah law can do justice to Muslim women's question in modern times.

The blanket assumption that shari'ah is divine and hence unchangeable has to be contested. This is the popular view in the Muslim world. At the cost of repetition I would like to assert that such a view is misplaced. Shari'ah law is a result of man interpretation of divine injunctions and it took several centuries to evolve. The law makers faced new problems and new situations and provided for it through analogical reasoning (qiyas) and consensus (ijma') among 'ulama for those problems for which they did not find any answers in divine sources. This is the reason why there are differences in various schools of law (madhahib) like Hanafi, Shafi'I, Maliki, Hanbali, Ja'fari, Isma'ili, Zaidi, Zahiri and so on. There were even more schools which did not survive.

This became possible for two main reasons: absence of the concept of priesthood in Islam and the Qur'anic doctrine of freedom of conscience (2: The early jurists were very well aware of this and hence developed different schools using different interpretations of the divine sources or using different ahadith (reports of Prophet's sayings). Some used one hadith whole others rejected it in favour of the other. Or some used one Qur'anic injunction and some hadith giving its interpretation while others used different interpretation using some other hadith.

In some matters one imam was more liberal while in other matter the other imam took more favourable view for women. That is why many modernists and even traditional 'ulama suggest that one can borrow from another school if ones own school creates problem for a woman. This is what could have been done in case of Imrana affair also. As the Hanafi school maintains that even in case rape by her father or father- in-law a woman cannot retain her marital tie with her husband one could have taken help of Shafi'i school which takes different view.

Again the problem is with our traditional mullahs that they find nothing unnatural in taking such positions which conflict with modern societal values and enhanced awareness of women. The village panchayat consulted a local maulavi who with his half backed knowledge of shari'ah law even decreed that Imrana should marry the rapist father-in-law and treat her own husband as her 'son'. This was beyond belief and utterly shocking that any such fatwa can be issued. But then our rural areas are far behind in special matters. Here one should not take religious but sociological view of the matter. This is what happens in backward social milieu.

Everyone will agree that to issue any injunction in the name of shari'ah is a highly responsible job. The mullahs in rural areas have half backed knowledge and give their opinion more on the basis of their bias then on the basis of proper knowledge. In fact the Mullah consulted based his opinion on the Qur'anic verse 24:3 which says, “ The adulterer cannot have sexual relations with any but an adulteress or an idolatress and the adulteress, none can have sexual relations with her but an adulterer or an idolater: and it is forbidden to believers.”

Since in the Imrana case father-in-law had intercourse or adultery with her it was decreed by the maulavi that she now live with her father-in- law and treat her husband as her son an opinion which was totally wrong and immoral. According to the Qur'anic verse both should be guilty of adultery and here Imrana is not guilty of adultery but victim of rape. This verse cannot apply to her at all. Moreover this verse is of the general nature and does not deal with daughter-in-law, father-in-law situation. One will have to think twice before applying it in such a situation.

Now question arises about the fatwa' issued by Darul 'Uloom Deoband which is entirely of different category. One cannot say that this fatwa was issued by someone having no knowledge or half baked knowledge. According to this fatwa she should separate from her husband. After adultery by her father-in-law she can no more live with her husband as he happens to be his son and according to the Qur'an prohibiting marriage with the wife of the father. The Qur'anic verse says “And marry not women whom your father married, except what has already passed. This surely is indecent and hateful; and it is an evil way.” (4:22)

This verse obviously refers to the jahiliyyah (pre-Islamic) practice of marrying father's wives other than ones own mother. It was indeed a hateful practice. It appears it was on this basis that Darul Ulum Deoband issued this fatwah. This is also based on Imam Abu Hanifa's ruling that when a woman has sex after marriage with her husband she becomes mother of all his children and so can't marry his son, even though that son may be from previous marriage.

The Darul Ulum fatwah may have taken both – above Qur'anic verse as well as Imam Abu Hanifa's ruling into account and issued the edict. But a fatwah in favour or against any person could be issued not only on general rulings but after through investigation of the case concerned. In Imrana's case it was rape, not marriage or sex with consent. How such ruling can apply to her case?

Only thing that can be said in favour of Deoband is that fatwah was issued without any knowledge of a specific case. One, however, does not know whether with the knowledge of the specific case same fatwah would have been issued or not. It is only a matter of conjecture. It is also to be noted that Imam Shafi'i differs from Imam Abu Hanifa in his ruling on similar case. According to Imam Shafi'I what is haram and impure i.e. rape cannot annul what is halal (legitimate) and pure i.e. relationship. This marriage which is legitimate relationship cannot be annulled by an act of rape.

Thus in no case Imrana's marriage with her husband can be dissolved just because she was raped by her father-in-law. Even if fatwah is issued according to Hanafi ruling, in view of gravity of the case (a woman is married with five children) and as far as possible such a long established perfectly legitimate relationship should not be dissolved specially when it is case of rape on unwilling woman.

Now the personal law board's inquiry that no such rape has taken place and it is likely to be false allegation due to property dispute between son and father, is an altogether different matter. It should be left for the courts to decide, no such hurried conclusion should be drawn on wither side.

We are more concerned with the fatwa rather than allegations and counter-allegations from both sides. Let us assume the rape took place and then only we can discuss the merit of the fatwa. My point is that in modern times one has to bear in mind the rights of women. One cannot simply quote a ruling given more than thousand years ago to decide a case in twenty first century. For justice to be done one has to keep concrete circumstances into mind.

All women issues unfortunately get politicised and becomes a game in minority-majority politics. Majority communal leaders rush in to demand uniform civil code in any case related to minority women, be it Shah Bano case or Imrana case, the minority community leaders also rush with equal haste to accuse majority community of being anti-Muslim and showing false sympathy for Muslim women. The male leadership of both the communities do not care whether justice is being done to the woman victim or not.

Women thus invariably become victim of male politics, particularly so in South Asia. It is therefore highly desirable that one should rise above such considerations and consider women as dignified as men and accord them full dignity honour and rights. It is unfortunate that Qur'an gave women equal status but in all Muslim societies, as pointed out above, they were denied their rightful place and their rights were taken away in the name of Islam.

Men want to retain their dominant position in any case. During Shah Bano movement referring to the verse 2:241 it was maintained by some 'ulama that even one time provision was obligatory only on pious Muslims referring to the word muttaqin and not on all Muslims. This shows strong bias against women of their own community. Thus it is men who give enough opportunity to anti-Islamic forces to ridicule treatment of 'Islam' towards women. In fact it is men to blame for such interpretations of the Holy Qur'an.

Many verses in the Qur'an were revealed when believers men or women came to the Prophet PBUH) asking certain questions and revelation brought answers in that particular context. The whole asbab al-nuzul (occasions of revelation) literature is there on the subject and many shar'i positions were based on such revelations. But now keeping these asbab al-nuzul in mind we have to reinterpreted these Qur'anic verses.

We have to go by Qur'anic values rather than certain verses relating to concrete historical conditions then prevailing. The most central value in the Qur'an is justice, followed by ihsan and rahmah (compassion) and hikmah (wisdom). These values will override all juristic decisions or rulings of the great imams. Taking contemporary conditions into account one must apply these values.

If this method is followed then in the Imrana case no such fatwa should have been issued compelling her to dissolve her marriage. As in the case of Shah Bano (Shah Bano was compelled to disown the Supreme Court judgement in her favour and declare that she would stick to shar'ah rather than accept Supreme Court ruling) Imrana was also compelled to say she would follow shari'ah ruling and be prepared to dissolve her marriage.

It is vitally necessary to train our 'ulama in modern social sciences and muftis in modern principles of jurisprudence so that they can be more careful in issuing ruling rather than simply repeating what this or that Imam said. One should also thoroughly understand how the great imams applied the principles usul al-fiqh in their own circumstances and on what basis they applied those principles to their own circumstances and how modern jurisprudence evolved and how certain fundamental values were applied to modern conditions. This comparative study will immensely benefit our 'ulama, particularly those who deal with shar'i rulings.

But even the higher madrasas of learning only repeat what was evolved during early period of Islam. And this despite the fact that Holy Prophet specifically permitted ijtihad (intellectual efforts to re-apply Islamic principles to new conditions). Even the great Imams like Abu Hanifa and Shafi'i faced new situations and challenges and they exerted themselves to apply Qur'anic provisions to these new situations and looked for ahadith to find answers and when they could not, they used analogical reasoning to find answers.

The whole process needs to be imitated today rather than their rulings, to find answers to modern problems. One will have to clearly identify what is fundamental and what is incidental to the situation and then decide on the ruling. In Indian subcontinent and specially in India there is urgent need to codify Islamic law as it exists today. Unfortunately our personal law board is not even ready to codify whereas during the British period 'ulama like Maulana Ashraf Thanvi codified the Islamic law pertaining to dissolution of marriage which gave so much relief to Muslim women at that time. The MPLB should work on codification of Muslim personal law and that itself will give great relief to Muslim women.

Now Muslim women are becoming more aware due to spread of modern education and they are challenging all the decisions of Muslim personal law board and they have challenged the present fatwa too. It is a healthy sign and one hopes now women will not accept male domination in the name of Islam and will work for realisation of truly Qur'anic status of equality with men. We have to replace earlier juristic rulings with modern laws based more on Qur'an than on earlier opinions.

Saturday, November 05, 2005

Lebaran dan Semangat Memperbaharui Tradisi

Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, situasi meningkatnya belanja menjelang lebaran, mungkin tidak begitu hirau. Mereka masih banyak memiliki aset usaha untuk melanjutkan hidupnya. Tapi bagi masyarakat menengah kebawah, yang kategori miskin, sebuah persoalan rumit. Bagaamana tidak? Untuk memperoleh bantuan BLT (Bantuan langsung Tunai) saja, masyarakat mengorbankan solidaritas desa. Ironisnya, setelah mendapatkan BLT, alih-alih digunakan keperluan primer, justru yang terjadi adalah berbelanja secara konsumtif. Mereka menghabiskan uang dalam sekejap, berbelanja di pasar-pasar modern. Pasar-pasar yang dikreasikan bukan dari kerja masyarakat setempat, melainkan dari modal-modal kapital yang menjejaring sampai tingkat kecamatan. Bantuan BLT semestinya digunakan kebutuhan BBM selama tiga bulan, telah habis dibelanjakan. Mereka rela antri berjam-jam bahkan terjadi keretakan sosial ditingkat desa. Kemudian, uang itu dibelikan baju, sandal, kue lebaran. Bahkan, sebagian masyarakat tingkat bawah meminjam uang ke tetangga. Mengapa lebaran membuat orang mudah berbelanja secara berlebihan? Lalu siapa yang menciptakan tradisi konsumerisme tersebut? Lantas, apa jalan keluarnya?

***


Lebaran dan Semangat Memperbaharui Tradisi

Oleh: Najlah Naqiyah


Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, situasi meningkatnya belanja menjelang lebaran, mungkin tidak begitu hirau. Mereka masih banyak memiliki aset usaha untuk melanjutkan hidupnya. Tapi bagi masyarakat menengah kebawah, yang kategori miskin, sebuah persoalan rumit. Bagaimana tidak? Contoh, untuk memperoleh bantuan BLT (Bantuan langsng Tunai) saja, masyarakat mengorbankan solidaritas desa yang secara tradisi menjadi tonggak solidaritas sosial di komunitas yang lebih besar.


Kalau solidaritas sosial masyarakat di tingkat desa saja sudah pudar, lalu bagaimana akan menata tingkat solidaritas sosial bangsa? Pertengkaran dengan kepala desa, anarkisme, saling tidak percaya dan mengabsahkan kekerasan untuk mendapatkan bantuan. Setelah mendapatkan BLT, alih-alih digunakan keperluan primer, justru yang terjadi adalah berbelanja secara konsumtif. Mereka menghabiskan uang dalam sekejab, berbelanja di pasar-pasar modern. Pasar-pasar yang dikreasikan bukan dari kerja masyarakat setempat, melainkan dari modal-modal kapital yang menjejaring sampai tingkat kecamatan. Bantuan BLT semestinya digunakan kebutuhan BBM selama tiga bulan, telah habis dibelanjakan. Mereka rela antri berjam-jam bahkan terjadi keretakan sosial ditingkat desa. Kemudian, uang itu dibelikan baju, sandal, kue lebaran. Bahkan, sebagian masyarakat tingkat bawah meminjam uang ke tetangga. Mengapa lebaran membuat orang mudah berbelanja secara over? Lalu siapa yang menciptakan tradisi konsumerisme tersebut?

Keresahan krisis kontemporer

Keresahan kontemporer tersebut telah menjadi kewajaran. Keresahan menguatnya budaya asing di Tanah Air. Kehidupan yang dikreasikan orang asing. Keresahan tergambar dari fenomena kekinian. Fenomena penonton dari laju pembangunan. Seperti fenomena penonton diam menyaksikan aneka tayangan televisi. Tayangan yang membolak-balikkan semangat “idul fitri” dengan hura-hura. Aneka tayangan artis berjilbab dengan gaya hidup glamour jauh dari sederhana. Tayangan yang mempertontonkan artis-artis berbusana kerudung atau peci dengan membawa pesan sponsor konsumerisme. Tayangan yang mengedepankan iklan dan mengajak orang terus menerus berbelanja. Lebaran membutuhkan konsumsi yang besar diangkat sebagai momen. Momen mempromosikan harga diri manusia diukur dari baju hingga sepatu serba baru. Pola gaya hidup serba konsumerisme menunggangi pelaksanaan hari raya. Sampai akhirnya, sebagian masyarakat masih menganggap suatu kewajaran, meningkatnya belanja menjelang lebaran. Walau kadang cenderung dipaksakan, untuk bisa membeli barang-barang yang diinginkan. berbelanja over tanpa melihat kapasitas keuangan yang dimiliki. Resah dengan hilangnya identitas diri.


Tradisi Islam yang meneguhkan nilai sederhana diganti dengan nilai mewah. Nilai solidaritas sesama diberangus. Islam yang membawa keselamatan bagi kaum duafa’ mulai retak. Dirampas oleh hegemonik kapitalisme. Budaya konsumerisme, ditandai dengan meningkatnya belanja. Budaya yang diciptakan oleh kekuasaan kapitalisme. Masyarakat dikondisikan menjadi orang-orang penikmat. Orang-orang yang “diberikan/disuguhkan” pasar tanpa ikut menciptanya.. Masyarakat terlena dan terjebak perangkat konsumerisme. Masyarakat miskin semakin lemah dan tidak berdaya.

Membangun Tradisi adalah suatu kreativitas

Hiruk pikuk kesulitan ekonomi mulai terdengar lagi. Setelah beberapa saat tertekan oleh keramaian perayaan lebaran. Setelah lebaran, habis sudah semua bekal, tinggal kembali ke jalanan, mengais hidup dengan serba kekurangan. Waktupun terus berjalan. Perayaan hari raya telah usai. Mudik kampung halaman membawa kesan cukup serius, meskipun, tradisi mudik membawa semangat baru. Harapan baru meyusuri jalan hidup masing-masing. Orang-orang pergi bekerja. Para ibu-ibu berjalan kaki membawa dagangan, sebagian menggayuh sepeda menembus kegelapan malam. Para tukang becak menggayuh mengangkut sayuran. Orang-orang gigih bekerja berjuang mempertahankan hidup untuk diri dan keluarganya. Berjuang keras melawan kemiskinan.

Untuk sementara ini, bagaimana memberi jalan keluar yang tepat? Membangun tradisi baru. Ada tiga langkah memperbaharui tradisi secara kreatif. Pertama, menciptakan pembaharuan tradisi untuk memecahkan masalah. Salah satu unsur dari kreativitas adalah penyelesaian kesulitan. Pemecahan masalah saat ini menjadi bagian penting menyikapi hidup. Orang dituntut kreatif menjalani krisis. Memilih pekerjaan yang membuat orang tetap bisa survive di tengah badai. Bagi orang-orang kreatif menghadapi hidup serba sulit sebagai tantangan dan lebih gigih bekerja. Membangun tradisi di mulai dengan mempertegas kembali nilai-nilai masa lalu yang baik dan mengembangkannya sesuai era saat ini. Memperbaharui tradisi dengan membuang nilai-nilai yang menghambat dan tidak relevan. Kedua, Kolaborasi antara pikiran, sikap, aksi merupakan modal mencipta cara-cara kreatif menyiasati kenaikan harga, kenaikan BBM dan rendahnya mutu pelayanan publik. Membongkar keyakinan yang tidak rasional dengan pemikiran yang baru dan berpandangan maju. Mengubah sikap-sikap yang merusak untuk tumbuh kembang dan memunculkan sumber-sumber serta potensi yang dimiliki untuk mencipta tradisi. Ketiga, Tidak putus asa dari kesulitan yang dihadapi. Hidup ditengah kesulitan membutuhkan tingkat ketabahan dan kesabaran yang lebih dari biasanya. Orang yang mampu bertahan dari krisis adalah orang-orang yang gigih berusaha, kuat menderita dan segera mencari jalan keluar dari penderitaan.

Akhirnya, Langkah yang ditempuh untuk mengisi kehidupan baru butuh usaha memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi penderitaan. Membangun tradisi seperti di atas pada era kontemporer saat ini harus terus menerus diupayakan. Memelihara kesederhanaan, kejujuran dan kearifan ditengah budaya hidonisme feodalisme membutuhkan kerja keras.