Saturday, November 05, 2005

Lebaran dan Semangat Memperbaharui Tradisi

Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, situasi meningkatnya belanja menjelang lebaran, mungkin tidak begitu hirau. Mereka masih banyak memiliki aset usaha untuk melanjutkan hidupnya. Tapi bagi masyarakat menengah kebawah, yang kategori miskin, sebuah persoalan rumit. Bagaamana tidak? Untuk memperoleh bantuan BLT (Bantuan langsung Tunai) saja, masyarakat mengorbankan solidaritas desa. Ironisnya, setelah mendapatkan BLT, alih-alih digunakan keperluan primer, justru yang terjadi adalah berbelanja secara konsumtif. Mereka menghabiskan uang dalam sekejap, berbelanja di pasar-pasar modern. Pasar-pasar yang dikreasikan bukan dari kerja masyarakat setempat, melainkan dari modal-modal kapital yang menjejaring sampai tingkat kecamatan. Bantuan BLT semestinya digunakan kebutuhan BBM selama tiga bulan, telah habis dibelanjakan. Mereka rela antri berjam-jam bahkan terjadi keretakan sosial ditingkat desa. Kemudian, uang itu dibelikan baju, sandal, kue lebaran. Bahkan, sebagian masyarakat tingkat bawah meminjam uang ke tetangga. Mengapa lebaran membuat orang mudah berbelanja secara berlebihan? Lalu siapa yang menciptakan tradisi konsumerisme tersebut? Lantas, apa jalan keluarnya?

***


Lebaran dan Semangat Memperbaharui Tradisi

Oleh: Najlah Naqiyah


Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, situasi meningkatnya belanja menjelang lebaran, mungkin tidak begitu hirau. Mereka masih banyak memiliki aset usaha untuk melanjutkan hidupnya. Tapi bagi masyarakat menengah kebawah, yang kategori miskin, sebuah persoalan rumit. Bagaimana tidak? Contoh, untuk memperoleh bantuan BLT (Bantuan langsng Tunai) saja, masyarakat mengorbankan solidaritas desa yang secara tradisi menjadi tonggak solidaritas sosial di komunitas yang lebih besar.


Kalau solidaritas sosial masyarakat di tingkat desa saja sudah pudar, lalu bagaimana akan menata tingkat solidaritas sosial bangsa? Pertengkaran dengan kepala desa, anarkisme, saling tidak percaya dan mengabsahkan kekerasan untuk mendapatkan bantuan. Setelah mendapatkan BLT, alih-alih digunakan keperluan primer, justru yang terjadi adalah berbelanja secara konsumtif. Mereka menghabiskan uang dalam sekejab, berbelanja di pasar-pasar modern. Pasar-pasar yang dikreasikan bukan dari kerja masyarakat setempat, melainkan dari modal-modal kapital yang menjejaring sampai tingkat kecamatan. Bantuan BLT semestinya digunakan kebutuhan BBM selama tiga bulan, telah habis dibelanjakan. Mereka rela antri berjam-jam bahkan terjadi keretakan sosial ditingkat desa. Kemudian, uang itu dibelikan baju, sandal, kue lebaran. Bahkan, sebagian masyarakat tingkat bawah meminjam uang ke tetangga. Mengapa lebaran membuat orang mudah berbelanja secara over? Lalu siapa yang menciptakan tradisi konsumerisme tersebut?

Keresahan krisis kontemporer

Keresahan kontemporer tersebut telah menjadi kewajaran. Keresahan menguatnya budaya asing di Tanah Air. Kehidupan yang dikreasikan orang asing. Keresahan tergambar dari fenomena kekinian. Fenomena penonton dari laju pembangunan. Seperti fenomena penonton diam menyaksikan aneka tayangan televisi. Tayangan yang membolak-balikkan semangat “idul fitri” dengan hura-hura. Aneka tayangan artis berjilbab dengan gaya hidup glamour jauh dari sederhana. Tayangan yang mempertontonkan artis-artis berbusana kerudung atau peci dengan membawa pesan sponsor konsumerisme. Tayangan yang mengedepankan iklan dan mengajak orang terus menerus berbelanja. Lebaran membutuhkan konsumsi yang besar diangkat sebagai momen. Momen mempromosikan harga diri manusia diukur dari baju hingga sepatu serba baru. Pola gaya hidup serba konsumerisme menunggangi pelaksanaan hari raya. Sampai akhirnya, sebagian masyarakat masih menganggap suatu kewajaran, meningkatnya belanja menjelang lebaran. Walau kadang cenderung dipaksakan, untuk bisa membeli barang-barang yang diinginkan. berbelanja over tanpa melihat kapasitas keuangan yang dimiliki. Resah dengan hilangnya identitas diri.


Tradisi Islam yang meneguhkan nilai sederhana diganti dengan nilai mewah. Nilai solidaritas sesama diberangus. Islam yang membawa keselamatan bagi kaum duafa’ mulai retak. Dirampas oleh hegemonik kapitalisme. Budaya konsumerisme, ditandai dengan meningkatnya belanja. Budaya yang diciptakan oleh kekuasaan kapitalisme. Masyarakat dikondisikan menjadi orang-orang penikmat. Orang-orang yang “diberikan/disuguhkan” pasar tanpa ikut menciptanya.. Masyarakat terlena dan terjebak perangkat konsumerisme. Masyarakat miskin semakin lemah dan tidak berdaya.

Membangun Tradisi adalah suatu kreativitas

Hiruk pikuk kesulitan ekonomi mulai terdengar lagi. Setelah beberapa saat tertekan oleh keramaian perayaan lebaran. Setelah lebaran, habis sudah semua bekal, tinggal kembali ke jalanan, mengais hidup dengan serba kekurangan. Waktupun terus berjalan. Perayaan hari raya telah usai. Mudik kampung halaman membawa kesan cukup serius, meskipun, tradisi mudik membawa semangat baru. Harapan baru meyusuri jalan hidup masing-masing. Orang-orang pergi bekerja. Para ibu-ibu berjalan kaki membawa dagangan, sebagian menggayuh sepeda menembus kegelapan malam. Para tukang becak menggayuh mengangkut sayuran. Orang-orang gigih bekerja berjuang mempertahankan hidup untuk diri dan keluarganya. Berjuang keras melawan kemiskinan.

Untuk sementara ini, bagaimana memberi jalan keluar yang tepat? Membangun tradisi baru. Ada tiga langkah memperbaharui tradisi secara kreatif. Pertama, menciptakan pembaharuan tradisi untuk memecahkan masalah. Salah satu unsur dari kreativitas adalah penyelesaian kesulitan. Pemecahan masalah saat ini menjadi bagian penting menyikapi hidup. Orang dituntut kreatif menjalani krisis. Memilih pekerjaan yang membuat orang tetap bisa survive di tengah badai. Bagi orang-orang kreatif menghadapi hidup serba sulit sebagai tantangan dan lebih gigih bekerja. Membangun tradisi di mulai dengan mempertegas kembali nilai-nilai masa lalu yang baik dan mengembangkannya sesuai era saat ini. Memperbaharui tradisi dengan membuang nilai-nilai yang menghambat dan tidak relevan. Kedua, Kolaborasi antara pikiran, sikap, aksi merupakan modal mencipta cara-cara kreatif menyiasati kenaikan harga, kenaikan BBM dan rendahnya mutu pelayanan publik. Membongkar keyakinan yang tidak rasional dengan pemikiran yang baru dan berpandangan maju. Mengubah sikap-sikap yang merusak untuk tumbuh kembang dan memunculkan sumber-sumber serta potensi yang dimiliki untuk mencipta tradisi. Ketiga, Tidak putus asa dari kesulitan yang dihadapi. Hidup ditengah kesulitan membutuhkan tingkat ketabahan dan kesabaran yang lebih dari biasanya. Orang yang mampu bertahan dari krisis adalah orang-orang yang gigih berusaha, kuat menderita dan segera mencari jalan keluar dari penderitaan.

Akhirnya, Langkah yang ditempuh untuk mengisi kehidupan baru butuh usaha memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi penderitaan. Membangun tradisi seperti di atas pada era kontemporer saat ini harus terus menerus diupayakan. Memelihara kesederhanaan, kejujuran dan kearifan ditengah budaya hidonisme feodalisme membutuhkan kerja keras.