Saturday, February 17, 2007

Revolusi Layanan Kesehatan Mental

Isu baru tentang pelayanan kesehatan dirasakan masyarakat belum layak. Ketidaklayakan ini bisa bersumber dari banyak faktor, misalnya faktor human error, bencana alam, ekonomi miskin, status sosial, dan budaya patriarkhi. Faktor ekonomi miskin menyebabkan masyarakat miskin diperlakukan secara tidak adil, tidak layak dan tidak sama. Layanan kesehatan masyarakat belum adil di tataran orang dengan ekonomi kelas bawah. Hanya masyarakat yang mampu saja yang bisa menikmati layanan kesehatan menggunakan teknologi canggih, sementara masyarakat miskin hanya puas dengan pelayanan seadanya dan asal-asalan. Bagaimana hendaknya?




***


Revolusi Layanan Kesehatan Mental

Oleh: Najlah Naqiyah

Penulis adalah mahasiswa Program S3, Bimbingan Konseling di Universitas negeri Malang.


Isu baru tentang pelayanan kesehatan dirasakan masyarakat belum layak. Ketidaklayakan ini bisa bersumber dari banyak faktor, misalnya faktor human error, bencana alam, ekonomi miskin, status sosial, dan budaya patriarkhi. Faktor ekonomi miskin menyebabkan masyarakat miskin diperlakukan secara tidak adil, tidak layak dan tidak sama. Layanan kesehatan masyarakat belum adil di tataran orang dengan ekonomi kelas bawah. Hanya masyarakat yang mampu saja yang bisa menikmati layanan kesehatan menggunakan teknologi canggih, sementara masyarakat miskin hanya puas dengan pelayanan seadanya dan asal-asalan.

Ketidaksamaan perlakuan terhadap pasien dikarenakan oleh human error, sering terjadi, misalnya, tidak ada komunikasi antara dokter dengan pasien, dan anggapan bahwa pasien lebih rendah posisinya dari dokter. Akibatnya, banyak ditemukan kesalahan praktek yang merugikan, salah obat dan berakibat fatal bagi pasien. Pemberi layanan merasa sebagai orang yang paling tahu, paling pandai, sehingga menjadi satu-satunya penentu untuk mengobati pasien. Cara ini cenderung serampangan dan mengabaikan kemampuan pasien. Di sisi lain, harga berobat mahal, tidak terjangkau oleh masyarakat kelas rendah. Perlindungan terhadap konsumen juga tergolong rendah. Tiada komunikasi antara dokter-pasien telah mengakibatkan meningkatnya sejumlah penyakit yang tiada kunjung sembuh, bahkan kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya, wabah demam berdarah, suspect flu burung, HIV/Aids, kecanduan obat-obatan terlarang, kekerasan seksual telah menjadi gejala penyakit masyarakat di pedesaan maupun perkotaan saat ini. Wabah penyakit tersebut terus menular dan semakin meningkat setiap tahun.

Persoalan kaum miskin seolah terus berkembang akurt. Penyebaran penyakit menular disebabkan oleh faktor kerusakan alam dan juga kelalaian manusia. Misalnya, rendahnya kebersihan di lingkungan masyarakat, buruknya gizi masyarakat miskin. Wabah penyakit tersebut terus meningkat dan mengkhawatirkan masyarakat yang ada di Indonesia seperti akibat pergaulan bebas, kecanduan obat-obatan dan trafficking lintas negara. Sementara kerusakan alam telah mengakibatkan bencana alam seperti gunung meletus, tsunami, banjir bandang, banjir lumpur, limbah industri, lumpur dan gempa bumi. Bencana tersebut telah membuat masyarakat stress, tertekan dan depresi. Gejala tersebut nampak pada keadaan masyarakat yang sakit, cenderung menurun rasa percaya diri mereka, menutup diri dan merasa tidak bahagia.

Pelayanan kesehatan menjadi isu aktual bagi profesi yang bergerak dalam bidang pemberian bantuan (helping profession) seperti profesi kedokteran, kesehatan mental dan konseling dan pendidikan. Profesi pemberi bantuan tertantang memperbaiki kualitas layanan bagi masyarakat secara sama dan adil. Tanggung jawab profesi ialah melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Masyarakat terpenuhi haknya untuk mendapatkan akses teknologi untuk menyembuhkan penyakit mereka. Bagaimana memenuhi harapan masyarakat guna memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya murah ?.

Krauth (1996) berpendapat bahwa ada tantangan besar pada masa yang akan datang dikarenakan terjadinya revolusi yang cepat dalam praktek kesehatan mental, atau disebut sebagai transformasi pendekatan baru. Berbagai pendekatan baru bermunculan dalam perkembangan ilmu konseling dan psikoterapi. Antara lain Evidence-Based Practice (EBP) (Glicken, 2005), Competency-Based Counseling, Konseling berbasis pada pengambilan keputusan. Bahkan lebih jauh lagi Richardson (2000) menyimpulkan bahwa masa depan dunia psikoterapi akan menyerupai dengan dunia kedokteran, di mana hasil penelitian ditempatkan sebagai usaha untuk meningkatkan layanan bantuan bagi klien. Pendekatan EBT bersandar pada bukti-bukti untuk memberikan pengobatan atau bantuan ke orang yang menjumpai masalah.

• Pendekatan EBT sebuah alternatif
Gambril (2000) mendefinisikan Evidence-Based Practice (EBP) sebagai suatu proses yang mengharuskan pekerja profesional bisa mengakses informasi sehingga memungkinkan bisa memberikan beberapa evidence (bukti-bukti) kemanjuran obat untuk dipilih oleh klien. Bukti-bukti tersebut menjadi dasar bagi klien menentukan alternatif pilihan yang ditawarkan oleh konselor. Pekerja profesional menggunakan pengetahuan yang telah di miliki untuk menemukan bukti-bukti terbaik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan; menganalisis bukti-bukti terbaik untuk mendapatkan validitas penelitian pada praktik; dan mengevaluasi kualitas praktik pada klien. Klien sebagai partisipan yang terlibat pembelajaran atas arahan diri mereka sendiri dalam pembuatan keputusan.

Pada praktik konseling, terdapat problem antara konseling sebagai science dan konseling sebagai art. Untuk menjembatani keduanya, maka pendekatan Evidence-Based Practice (EBP) diadopsi sebagai pendekatan konseling yang berbasis bukti. Evidence-Based counseling (EBC) diharapkan mampu menghubungkan antara bukti-bukti ilmiah dalam praktek konselor. Evidence-based counseling atau disingkat EBC diartikan “is the integration of the best available research with clinical expertise in the context of client characteristics, culture, and preferences” atau “sebagai integrasi dari hasil penelitian terbaik yang tersedia dengan keahlian klinis ke dalam konteks karakterstik klien, budaya, dan preferensi” (Sexton, 1996). Adapun hal penting yang harus dimiliki konselor untuk meningkatkan kinerja profesionalnya adalah dengan: (1) a level of skillfullness (yang didefinisikan sebagai sebuah kompetensi daripada pengalaman), (2) cognitive complexity (sebuah kemampuan untuk berfikir diversif dan kompleks terhadap kasus-kasus klien), dan (3) kemampuan (konselor) untuk berhubungan dan bekerjasama dengan klien (Sexton, 1996).

Evidence-Based counseling (EBC) untuk menangani masalah-masalah klien yang bersifat spesifik (mis: stres, kecemasan, kesulitan beradaptasi) diperlukan pendekatan best practice yang berbasis evidensi, sehingga mencapai sebuah kefektifan dalam konseling. Bagaimana EBC berkooperasi mengatasi masalah klien ? Pertama, konselor berusaha memahami masalah klien dan mencari solusi dengan cara mencari informasi yang berisi bukti-bukti empirik. Bukti-bukti tersebut berdasarkan pada pengetahuan yang di miliki oleh konselor sebelumnya, dan juga pengetahuan baru yang dihasilkan oleh konselor. Informasi baru diperoleh dengan mengakses hasil-hasil penelitian terbaru dari literatur jurnal di internet, di buku-buku jurnal dan majalah ilmiah. Kedua, Konselor menganalisis hasil-hasil penelitian berdasarkan validitas praktek, lalu menawarkan beberapa alternatif terapi ke klien. Dengan berbasis bukti-bukti, konselor bisa memberikan banyak alternatif treatment (perlakuan) terapi yang akan di pilih oleh klien. Konselor bersama klien mendiskusikan masalah, kemungkinan alternatif yang akan di pilih oleh klien disesuaikan dengan kultur, sosial budaya serta preferensi klien. Ketiga, Klien memilih alternatif terapi berdasarkan informasi yang meeka terima dari konselor. Klien yang mengambil keputusan sendiri terapi mana yang cocok dengan diri mereka dengan mempertimbangkan kondisi klien. Keempat, konselor mengkomunikasikan kualitas prakteknya ke klien. Konselor memantau perubahan-perubahan klien ke arah yang lebih baik.


Melalui pendekatan Evidence-Based counseling (EBC) diharapkan adanya revolusi yang cepat dalam perubahan praktek layanan kesehatan mental. Perubahan layanan yang lebih maju karena bercirikan hasil-hasil riset yang terbaik, sehingga tawaran terapi bisa mendapatkan kepercayaan di masyarakat. Perubahan paradigma layanan kesehatan Evidence-Based counseling (EBC) memberikan solusi dari gejala mraknya praktek yang cenderung asal-asalan dan serampangan. Dengan bersandar pada hasil-hasil penelitian terbaik dan validitas praktek akan mampu mengatasi gap tersebut. Masyarakat kian menuntut adanya akuntabilitas dari setiap layanan yang mereka dapatkan dari dokter maupun konselor.