Saturday, February 17, 2007

Qou Vadis Refleksi Kesejahteraan Perempuan?

Perempuan juga manusia yang ingin memperoleh kemajuan setiap saat. Perempuan seperti halnya laki-laki yang sama-sama ingin tumbuh kembang secara maksimal. Tetapi apakah perempuan memperoleh kesempatan yang sama dan adil mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan?



***


Qou Vadis Refleksi Kesejahteraan Perempuan?
Oleh: Najlah Naqiyah


Perempuan juga manusia yang ingin memperoleh kemajuan setiap saat. Perempuan seperti halnya laki-laki yang sama-sama ingin tumbuh kembang secara maksimal. Tetapi apakah perempuan memperoleh kesempatan yang sama dan adil mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan?. Nampaknya, perempuan masih belum memperoleh peluang yang sama mengakses pendidikan, ekonomi dan sosial politik. Masalah gerakan perempuan diantaranya, budaya kerja perempuan hanya wilayah domestik dan peran di wilayah publik dibatasi, upah dibayar lebih rendah dari laki-laki, akses ekonomi rendah, minimnya partisipasi pengambilan keputusan. perempuan makin menderita saat bencana alam seperti banjir, lumpur lapindo, longsor dan angin puyuh, biaya kebutuhan pangan tidak terjangkau, lapangan kerja tidak mampu diakses, mengedepankan emosi dan kesejahteraan orang lain darpada kepentingan dirinya sendiri. Keadaan perempuan terlantar terlalu sibuk menjalankan kodrat saat hamil, menyusui, merawat anak-anak dan bekerja mencari nafkah. Meningkatnya kekerasan trafficking di era global juga menambah sejumlah tindak kekerasan. Tulisan ini mencoba merefleksikan bagaimana sesungguhnya ketidakadilan mengkooptasi perempuan miskin dan bagaimana usaha keluar dari ketidakadilan ditengah negeri yang terus dirundung bencana.

Kesempatan memperoleh akses pendidikan berkualitas di negeri ini masih rendah. Tidak semua anak-anak negeri ini berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah yang maju. Terlebih bagi perempuan miskin, hanya mampu menikmati pendidikan dasar secara gratis dengan fasilitas tidak memadai. Sekolah-sekolah negeri yang didanai dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) belum menunjukkan pengelolaan sekolah yang profesional. Kualitas sekolah rendah dengan mutu guru-guru belum standar, buku-buku ajar sedikit dan saran prasarana sekolah kurang. Anak-anak miskin bersekolah di dekat rumah mereka di pedesaan dan pegunungan dengan kualitas sekolah yang tidak memadai. Anak-anak sekolah dengan kualitas rendah akan menghasilakan mutu rendah pula. Perempuan berpendidikan rendah, mudah terkooptasi oleh tuntutan adat setempat agar menikah di usia dini.

Perempuan dibatasi oleh adat menikah di usia dini. Menurut adat Probolinggo dan Madura, orang tua merasa punya beban apabila anak perempuan mereka belum menikah saat remaja. Orang tua merasa malu anaknya tidak menikah dari pada tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, seperti perguruan tinggi. Perempuan dirasa cukup berpendidikan setingkat sekolah menengah SMP/SMU. Bagi orang tua tradisional lebih puas menikahkan anak perempuan mereka, daripada menyekolahkan anak ke pendidikan tinggi. Bagi orang tua, juga tidak hirau bagaimana anak perempuan mereka akan menjalani kehidupan setelah menikah, pekerjaan apa yang akan dilakukan setelah menikah, dan bagaimana mengelola rumah tangga mereka?. Orang tua percaya, bahwa rezeki dan pekerjaan adalah takdir yang ditentukan oleh Allah SWT. Mereka kebanyakan menyederhanakan persoalan nasib, pasrah pada keadaan.

Para anak-anak perempuan miskin yang telah menikah, biasaya tinggal di rumah, dan sebagaian lain bekerja sebagai buruh tani atau buruh di pabrik. Keadaan ini memicu tingginya angka perceraian. Kegagalan membangun keluarga, bersumber dari percekcokan masalah keuangan, kesengsaraan berlangsung terus menerus, pembagian peran yang tidak adil, konflik, dan hilangnya komunikasi. Perceraian terjadi pada pasangan usia muda akibat ketidakmampuan mereka mengelola dua kepentingan secara dewasa. Lalu, bagaimana nasib para perempuan miskin yang gagal membangun rumah tangga mereka?.

Kemiskinan dan rasa malu membuka peluang anak-anak gagal pergi dari rumah. Perempuan merasa malu berstatus janda muda dan pengangguran. Perempuan pindah ke perkotaan mengadukan nasib. Mereka lari dari rumah dan pergi ke kota.
Tanpa bekal pendidikan dan keterampilan serta pengalaman kerja, perempuan terjebak penipuan kerja. Perempuan miskin tanpa bekal pendidikan dan keterampilan hidup, banyak terjebak dunia prostitusi dan narkotika. Perempuan dieksploitasi, dipaksa masuk jaringan kejahatan trafficking. Mereka rentan menjadi korban kekerasan


Di lain pihak, globalisasi memiliki tuntutan persaingan yang tinggi, dan penguasaan terhadap akses teknologi informasi dan transportasi. Mobilitas manusia modern cenderung menekankan pada sikap mandiri, memiliki banyak link kerja serta keterampilan pengetahuan. Perempuan dituntut mampu berkompromi dengan dunia global. Perempuan memilih bentuk-bentuk pekerjaan mengandalkan tenaga kasar, bekerja sebagai pelayan restoran, pelayan toko dan juga mendaftar tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Perempuan yang tidak mampu beradaptasi dengan keadaan global tidak memperoleh kesamaan dan keadilan. Bagaimana upaya-upaya memberdayakan gerakan perempuan ?. Ada tiga cara yang perlu dilakukan guna menyejahterakan perempuan, yaitu ;

Pertama, menguatkan organisasi yang peka kepentingan perempuan. Organisasi yang
memperjuangkan keberpihakan perempuan. Organisasi berupaya membangun wacana tafsir yang memihak kepentingan perempuan. Problem-problem sepanjang tahun 2006 masih rendahnya akses perempuan terhadap tafsir agama dan pengetahuan. Sedikit sekali perempuan mampu membangun wacana agama yang adil bagi perempuan. Perempuan kalah mempublikasikan penjelasan dari sudut pandang diri mereka sendiri mengenai aturan keluarga, masyarakat dan negara. Tokoh agamawan merebut wacana perempuan untuk membuat hukum keluraga dan masyarakat dipandang dari kacamata kepentingan patriarkhi. Misalnya, fatwa atas kasus-kasus yang memperbolehkan tindakan diskriminasi perempuan, seperti poligami, dan ketaatan penuh terhadap suami tanpa memberikan peluang berinisiatif. Fatwa diperbolehkannya poligami membuat sebagian perempuan pasrah dan menerima perlakuan yang tidak adil. Perempuan khawatir dan cemas dengan maraknya wacana diperbolehkannya poligami yang dilakukan oleh sebagian para tokoh agama dan masyarakat. Sementara tafsir agama yang memperbolehkan perempuan untuk menggugat cerai apabila mereka mengalami ketidakadilan dari suaminya tidak muncul di permukaan. Walau secara realitas, permintaan gugatan cerai oleh perempuan meningkat di pengadilan agama.

Kedua, Menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam banyak hal. Partisipasi perempuan terwujud apabila memperoleh akses pendidikan di sekolah, keluarga dan masyarakat. Pembelajaran bagi orang dewasa akan diperhatikan apabila isi pembelajaran berguna dalam kehidupan mereka setelah menyelesaikan pendidikan disekolah. (Caffarella, 1983; itweb@wpi.edu., 2005). Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki, maka semakin mereka banyak berpartisipasi. Sebaliknya, perempuan berpendidikan rendah, partisipasi mereka rendah pula. Mereka tidak memiliki aspirasi mengelola kehidupan diri mereka sendiri, keluarga dan masyarakat. Rendahnya aspirasi perempuan telah memperkuat kooptasi ketidakadilan. Aspirasi rendah dan nyaris tidak mampu membuat keputusan bagi kemajuan hidup diri mereka.

Ketiga, Membuka peluang kerja bagi perempuan secara egaliter. Perempuan mesti diberikan kesempatan memperoleh akses pekerjaan sesuai bakat dan kemampuan. Tidak benar, perempuan dilarang bekerja di sektor publik. Jika perempuan memiliki kemampuan kerja di bidang mesin, akses pada pekerjaan tersebut perlu dibuka. Pandangan bahwa perempuan tidak pantas bekerja di bidang teknik dan mesin adalah pandangan kuno. Di zaman global, persaingan kerja tidak bergantung pada jenis kelamin, melainkan skill dan kemampuan. Untuk itulah, upaya mendidik perempuan dengan hal-hal yang berguna bagi kehidupan tidak perlu dibatasi. Memperbanyak pelatihan kerja membuka peluang partisipasi kerja lebih luas. Akhirnya, perempuan perlu lebih dimotivasi untuk belajar hal-hal yang berguna bagi kesejahteraan hidup mereka.

3 comments:

verstehen said...

miris...ketika saat ini persoalan perempuan berkaitan denga seksualitas tidak kunjung terselesaikan..hal paling paling yang perlu kita cermati adalah salah satu akar permasalahan ini bersumber dari kaum perempuan itu sendiri. disaat sogolongan perempuan memperjuangkan hak dan harga diri perempuan disisi lain segelintir perenpuam lainnya justru mematahkan perjuangan itu sendiri... mereka masih membiarkan dan melegalkan paradigma yang terkontruksi di masayarakat tentang perempuan hanya manusia kelas kedua yang hanya punya seks dan selelu mengandalkannya untuk mendapatkan fasilatas lebih...
jangan kita pernah berharap orang lain menghargai perempuan sebagai individu jika kita sendiri tidak pernah mempertanyakan apakah patut kita dihargai sebagai seorang individu bukan hanya sebagai perempuan (dengan konotasi seksual).. ketika kita masih mengandalkan fisik, senyuman manis dan lain sebagainya untuk mendapatkan posisi setara dengan laki-laki.. jangan birkan lagi itu terjadi.

yanmaneee said...

nike shoes
nike max
supreme clothing
golden goose
supreme clothing
yeezy shoes
yeezy boost
louboutin
nike air max
supreme clothing

bananef said...

y4q18a3u44 l9q57a0a54 q0j99n4y04 u8p88f6d11 e6c40z1i66 j1a51d3q74