Monday, December 13, 2004

Perempuan, Dogma, dan HIV/AIDS

Jumlah pengidap epidemik HIV/AIDS di Surabaya meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2003 diperoleh data 34 orang terjangkit, dan pada bulan Nopember 2004 telah membengkak 84 orang. Sedangkan jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia mencapai 39,4 juta. Dari jumlah itu, perempuan 17,6 juta. Peluang besar tertular HIV/AIDS lebih banyak kepada perempuan. Data menunjukkan jumlah penularan orang terjangkit HIV/AIDS perhari 14 ribu, dan 6.000 kasus dialami oleh perempuan (Pelita, 29 Nopember 2004).

Mengapa perempuan lebih cepat terjangkiti? Karena perempuan paling banyak menjalani resiko seksual dengan alat-alat reproduksinya. Ini berdampak luas untuk psikologi perempuan.

Perempuan yang terkena HIV/AIDS, secara psikologi, akan mengalami berbagai masalah, mulai dari kecemasan, keraguan, stress dan depresi. Tekanan lingkungan juga akan membuat perempuan kehilangan penghargaan terhadap dirinya. Ditambah lagi, sifat menular sangat cepat dari penyakit ini menyebabkan perempuan mengalami kekhawatiran dan keterkejutan yang tinggi.

Persoalannya kemudian, bagaimana menghadapi dan memperlakukan perempuan pengidap penyakit HIV/AIDS tersebut? Perempuan membutuhkan rasa percaya diri dalam menjalani hidupnya. Bahaya ditimbulkan oleh HIV/AIDS akan menambah berat beban perempuan akibat dikucilkan dari interaksi sosialnya.

Perempuan dan Dogma

Pengucilan sosial ini bisa ditelusuri dari beragam konteks sejarah diskriminasi dari dogma, teologi, dan ilmu pengetahuan. Freud mengembangkan teori psikologinya berawal dari pengalaman kebenciannya terhadap sosok ibu, sehingga melahirkan teori yang mengkooptasi dan menghasilkan rasa rendah diri.

Bagaimana dengan Islam? Dalam perkembangan wacana keislaman, posisi perempuan tidak diuntungkan akibat jenis kelaminnya. Ia diperlakukan berbeda dalam aspek hukum dan norma. Walaupun secara nilai, Al-Quran sangat menghargai praktek keadilan, kejujuran dan kasih sayang, namun pada tataran praktek, hubungan norma dan dogma agama sarat dengan pelecehan perempuan, seperti poligami, warisan lebih kecil dari laki-laki, dan pembatasan peran publik.

Budaya patriarkhi memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua, apalagi bagi perempuan pengidap beragam penyakit seksualitas, HIV/AIDS, sebagai misal. Mereka dibiarkan dengan minimnya pemihakan adanya kebijakan yang peka untuk menolong dan meringankan kepada mereka. Perempuan pengidap HIV/AIDS tidak mendapatkan perawatan gratis, alih-alih, justru dieksploitasi dengan membesar-besarkan jumlah penderita melalui media.

Membongkar Dogma

Bagaimana jalan keluar dari buruknya pelayanan terhadap perempuan ini? Cara terbaiknya, membongkar akar stigma negatif untuk mencapai penghargaan diri setara dan meningkatkan kepercayaan diri. Perasaan rendah diri perempuan, menurut William Stewart (thn. 2000), menjadikan: (1) mereka sering mengalami kesulitan untuk melihat hal positif tentang apa yang dilakukan, (2) khawatir akan hidup, dan tidak ingin mengambil resiko, (3) cenderung tidak mendapat pujian karena suksesnya, (4) mengira kegagalan merupakan tanggung jawab mereka, dan bukti baginya telah berbuat dengan kurang baik, (5) merasakan lebih rendah dari orang lain, (6) tidak termotivasi untuk meningkatkan diri, tetapi bertahan dan melawan terhadap kegagalan dari semua perbuatannya. (7) Mereka tidak bahagia dan tidak merasa cukup dengan diri sendiri, dan tidak menyesuaikan diri dengan baik, (8) mengalami tekanan, keputusasaan dan bunuh diri.

Untuk mendapatkan rasa percaya diri menurut Lilian Kantz (thn. 2000) diperoleh dengan cara: (1) membongkar penipuan diri dengan memberdayakan dan menghafalkan diri, (self deception : self con and self hype), yaitu pembongkaran terhadap pikiran dan perasaan negatif yang telah memicu pikiran salah dan menyiksa diri. Membongkar perasaan rendah diri adalah menghapus segala bentuk prasangka. Sedang, prasangka adalah dosa. Dan orang-orang berdosa adalah orang yang menyakiti diri sendiri, orang lain, sosial serta lingkungan. Al-Quran memberikan pelajaran penting dalam surat Al-Hujurat, ayat 12: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Penerima taubat lagi maha penyayang”.

Perempuan yang telah divonis terserang HIV/AIDS harus mampu memelihara pikiran dan perasaan negatif akan tubuhnya. Mereka berusaha sekuat tenaga menerima diri apa-adanya. Hal tersebut akan menuntunnya untuk menghindarkan diri dari perasaan destruktif yang akan melukai tubuh dan perasaannya. Dengan menerima kenyataan dan meyakini akan pertolongan Tuhan, maka makin memudahkan perempuan melakukan perawatan dan pengobatan di rumah sakit.

Masih menurut Lilian Kantz, (2) mengenali cara berkembang secara maksimal dan dapat belajar mencapai yang terbaik. Perempuan yang terkena virus HIV/AIDS berhak menjalani kehidupan yang layak sebagaimana perempuan sehat lainnya. Mereka juga memiliki potensi mencapai perkembangan hidup. Menggali potensi diri merupakan tuntutan manusia agar merasa lebih hidup. Pasien tidak larut pada penderitaan karena banyak waktu yang kosong dan terperosok pada perasaan tidak berharga. Mengisi waktu pasien agar bermanfaat, merupakan tantangan setiap insan yang hidup didunia. Penyadaran bahwa perempuan diciptakan sebagai manusia yang memiliki visi pemimpin diri sendiri, seperti termaktub dalam surat Al-Baqarah “inni jaailun fil ardhi kholifah”, sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai pemimpin. Pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga dan sosial lingkungannya. Keyakinan bahwa kehidupan merupakan misteri Ilahi akan menuntun perempuan pada proses kehidupan dengan perasaan berharga.

Perempuan terinfeksi HIV/AIDS tidak boleh dikucilkan guna membantu meringankan beban mereka meraih keamanan dan kebebasannya. Tuhan telah mengisyaratkan agar manusia harus saling menghargai sesama, seperti firman-Nya pada surat Al-Hujurat ayat 11: “hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang mengolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang diolok-olok), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita yang (wanita yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan jangnlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan sesudah ia beriman). Dan barangsiapa yang bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Akhirnya, Membangun penghargaan diri pada perempuan yang terjangkit HIV/AIDS berarti memberikan kesempatan lebih besar bagi perempuan untuk mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya tanpa terganggu oleh penderitaannya.


(link: Harian Umum Pelita)

1 comment:

Anonymous said...

Assalamualaikum
Tulisan Anda tentang HIV lumayan bagus.
GBU