Tuesday, November 09, 2004

Litani Kematian TKW

Kedatangan tiga jenazah tenaga kerja wanita (TKW) dari Malaysia telah menjadi tangis bagi keluarga dan bagi kita. Tiga jenazah tersebut tiba di bandara Juanda pada tanggal 9 November 2004. Mereka adalah korban sia-sia dari carut marut pengelolaan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, dan di negeri asalnya: Indonesia.

Sebelum itu, hal serupa juga pernah terjadi. Semua ini seolah-olah mengesankan, perempuan seperti menjadi tempat dan wadah bagi penindasan dan kekerasan. Lintani jenazah para TKW berdatangan membawa kegetiran bagi sanak keluarga dan kita. Sebelum ajal menjemput, mereka adalah pejuang bagi keluarganya. Pahlawan-pahlawan tersebut: (1). Nanik, 25 tahun, asal Blitar, (2). Rosiatun, Kediri, dianiaya oleh majikan di Arab saudi, (3). Karmini, 39 tahun, lari dari majikan, Malaysia, (4). Katinem, 36 warga Blitar, meninggal dari lantai 16, Hongkong, (5). Ika wakiah, mengalami nasib serupa, jatuh dari lantai 15, Malaysia, (6). Suprihatin, Malaysia, bunuh diri, (7). Lilis Cempaka Wati, asal blitar, meninggal di Taiwan, (8). Maesaroh, Ngawi, jenazahnya terkatung-katung selama 4 bulan tertahan di Home hospital di Kota Gaza. (Surya, Sabtu, 9 November 2004).

Nasib delapan TKW di atas adalah klimaks dari kekerasan yang mereka rasakan, hingga akhirnya semua itu berkesudahan sampai titik batas akhir: kematian. Peristiwa serupa juga mengancam para TKI lainnya apabila tidak ada perubahan perlakuan dan perlindungan terhadap lima juta buruh migran yang ada di luar negeri. Satu persatu kasus kekerasan akan menghantui dan mencemaskan. Tidakkah kita menangis melihat semua ini?

Litani kekerasan yang mereka alami merupakan bentuk eksploitasi kemanusiaan yang mengusung perbudakan gaya baru. Sebuah perbudakan yang menghancurkan sisi kemanusiaan perempuan: terancam tindak kekerasan ditempat bekerja. Sedang devisa yang dihasilkan sepenuhnya bukan untuk kepentingan diri mereka semata. Bila ditilik lebih jauh, mereka bekerja untuk keluarga dan anak-anaknya di Tanah Air. Bukti-bukti memperlihatkan, devisa yang diterima oleh negara dari hasil pengiriman jasa TKI, sebesar US$ 1.250 miliar (Surya, 9/11/2004). Jasa ini menunjukkan secara jelas, bahwa kepergian mereka untuk bekerja bertujuan menghidupi keluarga di Tanah Air. Perlakuan yang tidak seimbang dengan jasa besar mereka. Mengenaskan.

Kita layak bertanya, mengapa mereka harus ke luar negeri untuk menghidupi keluarga? Apakah di negeri ini telah tertutup akses untuk mencari pekerjaan? Apakah di negeri ini tidak ada penghidupan? Apakah di Indonesia sudah tidak memadai untuk mencari nafkah menghidupi sanak keluarga, sehingga harus eksodus ke luar negeri? Apa sebenarnya yang terjadi sehingga jutaan orang, lebih menumpukan kehidupan di negara orang? Apakah negeri sendiri sudah tidak dipercaya untuk tempat mengadu nasib? Ada apa di negeri kita, sehingga pekerjaan yang ada tersebut tidak memberikan jalan hidup? Apalagi, jika ditelaah lebih jujur, Indonesia memasuki peringkat ke lima sebagai negara koruptor di dunia. Indeks persepsi korupsi (IPK 2004) untuk Indonesia naik 0,1 % dari 1,9 menjadi 2.0 (Tempo interaktif, 20/10/2004).

Persoalan yang sekarang terus menguak ialah pemulangan TKI yang tidak berdokumen secara massal ke Indonesia, lebih dari 700 ribu orang sampai batas masa pengampunan dari pemerintah Malaysia 3 Desember 2004. Apakah ketika mereka kembali ke Indonesia tidak akan menjadi pengangguran? Bagaimana mengatasi kehidupan rumah tangga yang semakin gelap? Sedang, apabila kegelapan telah menghujam lama di sanubari, maka akan menambah stress dan putus asa. Persoalan litani kematian menjadi beban psikologis para TKI akibat makin bundelnya persoalan mendesak. Bagaimana sikap kita?

Melihat problema pengangguran yang kian membengkak, maka pemerintah harus bertekad keras mencarikan jalan keluar bagi kelas warga negara yang tertindas ini. Bagaimana cararanya? Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi penduduk "teraniaya" ini untuk memperoleh pekerjaan. Pengalaman bekerja di luar negeri akan memudahkan bagi mereka untuk meneruskan pekerjaannya karena telah terbekali oleh pengalaman dan keterampilan. Lahan pekerjaan yang lebih mungkin adalah pemberian modal, dengan memberi prioritas kepada mereka dan orang miskin lainnya dalam memperoleh kredit usaha dengan bunga rendah.

Tapi saya tidak yakin pemerintah akan serius menangani soal ini. Entahlah. Saya ragu. Dan saya kembali menatap dengan sedih.