Tuesday, November 02, 2004

Buruh Migran Yang Teralienasi

Belakangan ini, terjadi deportasi besar-besaran buruh migran Indonesia dari luar negeri yang senantiasa disertai pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ada 700 ribu buruh migran Indonesia illegal yang akan dipulangkan secara bertahap. Buruh migran dianggap sebagai entitas sosial yang dalam sejarah kemanusian senantiasa menghadapi tantangan rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya.

Kondisi teralienasi para buruh migran itu menyisakan air mata kepedihan yang merelakan hidupnya untuk bekerja di luar negeri demi mengikis kemiskinan. Mereka adalah pahlawan keluarga yang harus dibayar dengan kekerasan. Bagaimana nasib mereka selanjutnya setelah dipulangkan, bagaimana pemecahan dari pengangguran yang meningkat dari tahun ke tahun? Hampir dipastikan angka pengangguran semakin bertambah seiring pemulangan para buruh migran illegal tersebut. Apakah mereka memperoleh jaminan keamanan dalam proses evakuasi selama menanti kepastian pulangnya.

Bagaimana nasib mereka yang ada di penjara akibat penangkapan atas razia yang dilakukan oleh pihak kepolisian negara lain. Kekerasan dialami oleh mereka dengan bentuk yang menyiksa fisik dan rohani. Membiarkan mereka dipenjara dan disiksa merupakan bentuk kedzaliman yang besar bagi sesama warga Negara Indonesia. Hal ini merupakan problem kemanusiaan yang sangat menuntut perhatian agama untuk ikut melindungi hak-hak para buruh migran dan melindungi harkat dan martabatnya. Melindungi mereka dengan payung hukum (fiqih) merupakan bentuk misi keagamaan untuk menegakkan kedilan sesama manusia.

Dalam rangka mengembangkan tafsir kemanusiaan, Nashr memberikan arahan bahwa setiap teks mempunyai pelbagai macam konteks. Pertama, konteks sosial-budaya. Kedua, konteks eksternal (komunikasi). Ketiga, konteks internal. Keempat, konteks bahasa (susunan kalimat). Kelima, konteks pembacaan (takwil). Kelima langkah ini akan memudahkan meneropong apa yang tengah dialami oleh buruh migran illegal yang eksistensinya dihilangkan secara tidak beradab. Para buruh migran mengalami perampasan daya kemampuan, yang menurut laporan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) mencakup perampasan; (1) daya sosial, (2) daya politik, dan (3) daya psikologis.

Perampasan daya sosial mencakup perampasan akses seperti informasi, pengetahuan, pengembangan keterampilan dan potensi kolektif, serta partisipasi dalam organisasi dan sumber-sumber keuangan. Perampasan daya politik meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, termasuk kemampuan memilih dan menyuarakan aspirasi serta bertindak kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian rezim dan pendukung koersifnya. Kebisuan ini yang harus dibongkar. Perampasan daya psikologis mencakup tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya dalam kancah sosial-politik, sehingga individu itu tidak punya peluang untuk berpikir kritis. Tekanan eksternal itu diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu. Mereka percaya bahwa mereka miskin dan bodoh, tidak bisa apa-apa, selain mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya.

Temuan dalam Konferensi Nasional Kemiskinan Tahun 2001 di Jakarta, juga menegaskan adanya korelasi yang kuat antara kemiskinan struktural dengan aspek internasional, kebijakan moneter dan fiskal Indonesia. Sayangnya, persoalan-persoalan seperti ini hampir tidak pernah dipertimbangkan pemerintah dalam mendekati penanganan kemiskinan. Situasi kemiskinan dan pemiskinan di Indonesia kian parah karena hanya menjadi obyek rebutan proyek dari banyak pihak, dengan “payung”-nya proyek utang pemerintah.

Di tingkat nasional, Indonesia juga harus segera menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dan membuat Bilateral Agreement yang melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri. Seiring dengan hal tersebut, kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia harus dihapuskan. DPR sebagai salah satu produk pemilu, sepanjang masa jabatannya (hampir lima tahun) gagal melakukan legislasi guna memproteksi buruh migran. Draf RUU Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya yang ada di badan legislasi DPR sejak tahun 1998 belum diproses secara serius, hanya tersandera sebagai RUU Inisiatif DPR sejak tahun 2002, tidak dibahas dan difinalkan sebagai UU yang selama ini dinantikan banyak pihak.

Konteks sosial budaya Indonesia yang mengabaikan eksistensi buruh migran menjadi terlantar dan terpenjara. Dalam konteks di mana budaya korupsi meluas, ditambah mekanisme yang tanpa kontrol, program-program pemberdayaan buruh migran mudah hancur dan tidak mengubah apa pun. Cara seperti itu tambal sulam. Data terakhir buruh migran Indonesia diperkirakan 4 juta orang. Jumlah terbanyak ada di kawasan ASEAN (terbesar di Malaysia, disusul Singapura dan Brunei), Timur Tengah (terbesar di Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Jordan) dan Asia Timur (terbesar di Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang).

Berdasar data KOPBUMI sepanjang tahun 2001 terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang, dengan perincian 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1.820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/ dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi, 25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah. Sementara itu, dalam 3 bulan pertama tahun 2002, terjadi eskalasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia di Malaysia seperti penangkapan paksa, razia, pemerasan, penyiksaan dalam kamp tahanan dan pengusiran paksa.

Kemiskinan dan pemiskinan buruh migran mempunyai akar struktural. Karena itu, standar ekonomi bukan satu-satunya. Semua ini disebabkan tekanan ekspansi modal dan globalisasi ekonomi. Realitas kemiskinan yang dialami buruh migran illegal yang mengalami tindak kekerasan, sesungguhnya memberi kenyataan yang sangat dalam dari proses penghancuran martabat manusia. Karena itu, pendekatan yang dilakukan seharusnya mencakup upaya-upaya mengembalikan harga diri dan martabat buruh migran dengan segenap haknya sebagai manusia dan warga negara.

Dengan demikian, hal terpenting adalah pendidikan penyadaran sampai kepada kesadaran kritis agar mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana bernegosiasi serta mencari jalan keluar untuk mengembalikan mereka secara bijak dan berkemanusiaan. Agama mesti bergerak untuk membebaskan belenggu buruh migran dari penindasan. Agama secara universal harusnya mampu emberikan perlindungan dan keselamatan bagi para buruh migran yang dikondisikan seperti budak oleh kekuatan yang dominan. Agama harus berpihak kepada orang-orang yang tertindas martabatnya.

Kemiskinan menunjukkan wajahnya dalam kehidupan para buruh migran bersama 17,5 juta warga yang tersebar di seluruh Indonesia. Agama tidak bisa menutup mata terhadap realitas yang tengah mengancam jiwa manusia yang lemah dan tidak berdaya. Agama harusnya hadir untuk membebaskan perbudakan dan segala bentuk kekerasan. Keberpihakan kepada buruh migran harus menjadi semangat setiap pemeluk agama untuk berupaya keras memberikan perlindungan dan menolak upaya kekerasan. Aturan yang memberikan rasa keadilan bagi sesama manusia perlu dirintis oleh agama untuk memberikan pencerahan nilai yang menjadi prosedur hukum pembebasan. Agama harus mampu memberkan konstribusi jelas memihak kepada para buruh migran yang tengah berjuang keras melawan tiran yang membelenggu mereka. Prinsip agama yang senantiasa merujuk pada pembebasan manusia dari ketidakadilan mesti diorientasikan dengan kerjasama antara para tokoh agama, pemerintah dan pengusaha.

Kolaborasi yang utuh untuk mengawal para buruh migran illegal agar mendapatkan pelayanan yang manusiawi menjadi prioritas utama. Fungsi agama tidak hanya mengatur prinsip ibadah kepada Tuhan semata, tetapi juga menyelamatkan kehidupan manusia dari ketidakadilan. Spirit memberikan pertolongan yang berkeadilan membutuhkan proses dan power untuk menjalankannya melalui rincian tugas kerja yang nyata. Agama tidak hanya berwacana dan mengajukan pemikiran semata, tetapi yang lebih penting ialah beramal untuk melakukan tindakan yang cepat dan tepat menyelamatkan kehidupan para buruh migran illegal. Agama harus mampu memenuhi kebutuhan dasar para buruh migran menyangkut kebebasan dalam arti luas, termasuk bebas dari kecemasan dan rasa takut, bebas dari kelaparan, bebas dari penyakit, bebas dari pengangguran, bebas dari penindasan, bebas bersuara, bebas dari diskriminasi dan kebodohan, bebas memperoleh informasi, dan lain-lain.

(link: Duta Masyarakat)

No comments: