Friday, February 07, 2003

Petani Tembakau, Nasibmu kini...

Krisis ekonomi ditandai dengan kebingungan para petani tembakau. Sekarang petani kesulitan untuk memasarkan hasil panennya karena tidak laku dijual. Di daerah Jember saja masih terdapat 200 ton tembakau yang tidak laku dijual dan masyarakat akan membakarnya di kantor pemerintah kabupaten setempat agar pemerintah mau menaikkan harga tembakau pada panen mendatang (Surya, 31 januari 2003). Kesulitan para petani berasal dari susahnya membeli bibit dan pupuk untuk menanam tembakau. Para petani mencari modal menanam tembakau dengan bunga yang sangat tinggi ( Riba ). Contohnya, meminjam satu juta rupiah selama tiga bulan, dan mengembalikan satu juta lima ratus rupiah. Harga pupuk juga tidak terjangkau oleh para petani. Satu kalengnya sampai menjangkau Rp. 100.000,00. Kenyataan ini mengakibatkan para petani Indonesia semakin kesulitan manakala hasil panennya tidak terjual. Kerugian para petani berdampak pada kehidupan mereka yang miskin dan cara keagamaannya.

Dinamika keagamaan Indonesia beraneka ragam dan mengalami pasang surut. Jika musim panen tiba, banyak petani yang meninggalkan sholat, tidak mengikuti pengajian. Seluruh energi para petani untuk mengerjakan tembakau. Mulai dari mengumpulkan daun, memasatnya dan menjemur tembakau. Masyarakat indonesia sangat mempercayai mistik. Banyak petani menggunakan air yang diberi do’a-do’a oleh kiai untuk menyuburkan tanaman disawahnya. Mengobati tubuhnya, masyarakat juga percaya pada dukun. Membakar menyan untuk mengusir roh jahat dan mendapat keselamatan dengan mengunjungi makam-makam para sunan.

Ibadah hanyalah sebagai pelarian dari kesusahan saja. Masyarakat tradisional, para petani, banyak yang belum bisa mengaji Al Qur’an. Mereka tidak mampu untuk menterjemah. Apalagi untuk mentafsirkan demi kepentingan kehidupan yang lebih baik. Untuk memahami ajaran Islam, mereka mendapatkan dari tokoh masyarakat, kiai-kiai, pada saat mengikuti acara pengajian rutin. Seperti tahlil, dziba’iyah, manaqib dan istighotsah . Jika para petani mengalami kesusahan, maka rajin mengikuti acara pengajian tersebut. Sebaliknya, pada saat sibuk panen maka pengajian sepi bahkan diliburkan.

Musibah banjir dipulau Jawa ini menyebabkan sekitar 32.000 hektar sawah gagal panen pada bulan maret 2003 (Kompas, 5 pebruari 2003). Akibat musibah hujan lebat, dan resapan tanah sulit maka petani mengalami kerugian yang besar. Di Tuban, masyarakat membabat tanaman jagungnya dan menjual batangnya seharga 300-500 rupiah dalam satu kilonya. Petani semakin terjepit dengan kenaikan harga yang sangat tinggi. Harga minyak tanah yang menjadi konsumsi petani dalam kehiduan sehari-hari banyak meresahkan mereka. Untuk memenuhi kebutuhan yang membengkak itu, tak jarang petani mencari pinjaman setiap hari untuk membeli beras dan minyak demi kelangsungan hidupnya.

Peran tokoh agama seperti Syuri’ah NU sangat strategis untuk memberi pencerahan kepada mereka. Di sisi lain, apa respon pemerintah untuk menaikkan harga tembakau hasil panen petani?