Monday, February 03, 2003

Belenggu Korupsi di Indonesia

Problem dasar di Indonesia ialah sistem yang memberi peluang melakukan korupsi. Penguasa dari tingkat Daerah sampai Pusat terbelenggu oleh sistem yang feodalistik. Budaya sogok dan melakukan manipulasi untuk kepentingan tertentu menjadi tren yang sulit dihilangkan. Anggaran Negara yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat banyak “dipotong” untuk memberi upeti pada penguasa. Bahkan, boleh jadi mempersembahkan berbagai macam fasilitas untuk melayani kepentingan penguasa.

Konteks ini seakan jauh dari konsen para pemegang kebijakan dan pelaku hukum. Amanat GBHN 1999 untuk memeberantas segala tindak korupsi tidak digubris, bahkan oknum aparatur keamanan dan pengadilan justru terlibat tindak jahat ini. Suatu sistem korup akan menjerumuskan pada eksistensi bangsa yang timpang dan syarat kemiskinan. Kebijakan R & D yang memberikan kebebasan pada para penghutang dari jeratan hukum membawa dampak yang sangat luar biasa bagi proses kemiskinan dan pengangguran di negeri ini. Uang yang selayaknya bisa untuk memanfaatkan kesejahteraan bagi rakyat banyak dikemplang begitu saja oleh segelintir orang.

Dengan dibebaskannya para penghutang akibat kebijakan R & D banyak investor yang hengkang dari Indonesia, itu berarti makin melebarnya angka pengangguran pada tahun 2003. Industri sepatu Nike yang menarik modalnya dari Indonesia. Ancaman negara Taiwan untuk menarik segala investasinya dan kebijakan luar negeri yang memperketat izin untuk menjadi tenaga kerja dari negara asing adalah contoh konkrit bahwa krisis di Indonesia ini semakin terperosok ke jurang tak menentu.

Sementara di lain pihak, kebijakan otonomi daerah yang disemangati untuk perbaikan potensi daerah tak kunjung membawa hasil. Ironisnya, justru muncul raja-raja kecil di daerah yang menjadi penguasa. Jelaslah, betapa kemajuan bangsa ini semakin terasa timpang sebelah.

Penguasa dapat menikmati hidup layak dan serba mewah, sedangkan kebanyakan rakyat sebagai alat yang ditindas penguasa. Penindasan itu dilakukan untuk melayani dan menjalankan keputusan yang sangat diskriminatif. Contoh, kasus petani yang selama ini menjadi pemback-up ekonomi nasional, namun kesejahteraannya terlantarkan. Harga hasil panennya terlantarkan akibat permainan kebijakan yang meruntuhkan harapan petani.

Petani sama sakali tidak mempunyai nilai tawar atas hasil kerja keras yang dibayar dengan harga sangat rendah. Harga hasil panen petani dipermainkan oleh penguasa yang terjebak oleh sistem kapitalistik. Bahkan dengan munculnya AFTA 2003 ini, pupuk nasional akan gulung tikar karena tidak laku di pasaran dan digantikan produksi pupuk dari Thailand. Artinya, ribuan karyawan khawatir akan nasib kerja yang tidak jelas keberadaannya dan ancaman PHK sewaktu-waktu. Belum lagi akan adanya efisiensi bagi ribuan karyawan Indosat, karyawan pabrik semen. Ini menciptakan pembengkakan pengangguran yang tiada terhitung dengan pasti. Krisis multidimensi makin bertambah akut.

Realitas krisis multidimensional tidak bisa kita diamkan begitu saja. Jika itu dibiarkan, maka akan terjadi revolusi sosial yang membawa harga mahal bagi tegaknya persatuan bangsa Indonesia. Untuk itu, dengan segala upaya penguasa dan masyarakat harus bisa mengurangi krisis dengan melakukan tindakan-tindakan, yaitu:
Pertama, hentikan korupsi dengan cara memberi upah yang sesuai dengan standar hidup yang sejahtera. Munculnya korupsi karena dua hal yaitu, mental yang rusak dan peluang melakukan korup. Untuk itu penguasa selayaknya menata ulang upah para pekerja di pemerintahan dengan standar sejahtera. Jangan harap korupsi bisa diatasi dengan tanpa memperhatikan pendapatan para pekerja di Indonesia. Jika moral dan mental rusak maka harus diganti dengan orang yang jujur dalam melakukan tugas dan amanah rakyat. Selanjutnya, kejujuran adalah perisai dari fondasi suatu bangsa yang berbudaya tinggi.

Kedua, penegakan hukum yang adil bagi pelaku koruptor. Penegakan keadilan menjadi syarat dipilihnya seorang aparat hukum dan penguasa. Keadilan adalah amanah dari Tuhan yang Maha Esa kepada manusia di muka bumi ini. Jika penegakan keadilan diabaikan oleh pemimpin, maka kehancuran ada di depan mata. Dengan memberikan hukum yang adil kepada pelanggar hukum, akan tercipta tatanan negara yang bersih.

Sayangnya, sekarang ini penegakan hukum seakan berjalan di tempat dan berhenti. Kasus yang menimpa pejabat public seperti Akbar Tanjung selaku ketua DPR RI yang sudah divonis tiga tahun masih belum mampu diseret kepenjara. Penegakan hukum yang sangat lambat ini berpengaruh pada kehidupan kebanyakan rakyat.Mereka tidak mempunyai rasa percaya pada penguasa negeri ini. Demonstrasi mahasiswa setiap hari tak juga menggugah elit penguasa. Kekerasan sikap penguasa yang kokoh dengan kebijakannya sendiri dilegitimasi oleh kekuatan militeristik. Hal itu ibarat bom waktu yang akan meledak setiap saat menakuti rakyat dengan tindakan represif. Jika itu berlanjut, akan ada benturan yang teramat keras, dan sekali lagi, rakyat selalu menjadi korban.

Ketiga, Kerja keras oleh semua lapisan masyarakat guna menciptakan lapangan pekerjaan baru. Lapangan kerja akan membantu rakyat menemukan segala peluangnya untuk berkompetisi membangun bangsa. Sulitnya lapangan pekerjaan memberikan peluang bagi munculnya kekerasan sosial yang berujung pada tindakan kriminal. Penguasa seharusnya kreatif menciptakan peluang yang mungkin bisa mengangkat masyarakat dari kemiskinannya.

Peluang itu hendaknya dijawab oleh penguasa sebagai amanat dari pendelegasian kekuasaan oleh rakyat. Penguasa yang baik bisa memberikan pelayanan kepada rakyatnya, “An excellent leader is also an excellent service provider”. Sejauh penguasa tidak bisa mengentaskan problem kemiskinan dan kebodohan, akan sulit bagi rakyat keluar dari lingkaran kemiskinan. Kemiskinan akan membawa pada kebodohan dan terbelakangnya budaya. Problem mendasar ini seperti lingkaran setan yang saling terkait satu sama lain. Selama ini, energi masyarakat habis untuk memenuhi kebutuhan perut, makan dan minum dengan berkelahi dengan sistem yang korup. Untuk pemenuhan hidup itu, masyarakat banyak yang kehilangan kemerdekaan hidupnya. Bahkan, hak-hak kemanusiaannya terampas sehingga menjadi orang yang “non person”. Untuk mendapatkan upah yang minim harus mengorbankan kepribadian, tenaga, bahkan kehilangan derajat kemanusiaannya.

Upaya perbaikan sangat dibutuhkan oleh negeri ini, agar tercipta kestabilan hidup harmoni dan penuh keadilan serta kesederajatan. Sejatinya, hidup sederhana untuk kepentingan bersama adalah satu hal yang perlu direnungkan oleh para penguasa. Langkah kongkrit guna menempuh itu perlu melakukan perbuatan yang nyata. Gaya hidup yang apa adanya tanpa merampas hak orang lain adalah kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Standar hidup sejahtera dan konkrit dengan dinamika persaingan yang bijak, akan melahirkan kompetensi dalam kebaikan. Kehidupan akan seimbang dan hak-hak masyarakat terenuhi dengan menjaga kewajibannya. Ini merupakan cita-cita civil society. Sayangnya, impian itu kini pun masih di langit angkasa yang semakin jauh dari realitas dunia. Perwujudan mimpi itu bisa tercipta bila kita membangun negeri ini dengan kerja keras, hemat dan penuh kejujuran. Mari kita bersihakan negeri ini dari belenggu korupsi!

No comments: