Friday, February 07, 2003

Fenomena Kekerasan Seksual

Masyarakat yang sejahtera, bercukupan, serta mengamalkan nilai-nilai Islami, masih jauh dari harapan. Kondisi real di masyarakat makin bertambahnya orang miskin, menderita, berpendidikan rendah dan pengangguran. Masyarakat indonesia mengalami krisis multidimensional, terlebih krisis moral dan ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Contoh, di Probolinggo, Joewarno membunuh ibu kandungnya dengan cara memukul kepala dengan besi. Kejadian ini pada hari minggu, 8 September 2002. Sedang di Batu, Malang, pada tangal 5 Februari 2003, seorang kakek memperkosa dua puluh anak perempuan, dan ada yang hamil akibat nafsu bejatnya. Di Banyuwangi, pada tanggal 6 Februari 2003 terkuak seorang guru mensodomi lima belas muridnya ( Surya ). Bahkan fenomena terakhir, ada Ayah menghamili anak kandungnya sendiri. Jawa Pos dalam kolom Radar Bromo, 28 dan 29 Desember 2002, memuat kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak-anak. Edisi Minggu mengulas tragedi yang dilakukan oleh Har, 14 th., siswa SD yang memperkosa Melati, 5 th.

Kejadian-kejadian di atas sangat memprihatinkan, karena perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma-norma hukum agama, dan moral masyarakat. Namun demikian, betapapun pahitnya kejadian ini, kita tidak bisa menutup mata begitu saja, karena kejadian ini adalah aib masyarakat. Masalah pemerkosaan dan kekerasan kepada perempuan seperti gumpalan gunung es yang tidak terdata dengan pasti. Meskipun sangat banyak terjadi tindak kekerasan, namun data yang tercatat di kepolisian sedikit saja. Budaya tabu dan dipandang sebagai aib, apabila melanggar nilai-nilai masyarakat, menyebabkan sulitnya membantu melacak perilaku menyimpang di masyarakat. Bahkan, terkesan ditutup-tutupi oleh pelaku dan keluarganya.

Perbuatan perkosaan yang dinilai salah oleh masyarakat terangkat kepermukaan manakala terungkap kasus menyimpang yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur. Mencermati pemerkosaan yang dilakukan oleh Har yang masih bocah kepada melati dipicu oleh situasi dan kondisi yang memberi kesempatan untuk melakukan perbuatan itu. Tentu ini menjadi kajian menarik untuk dikritisi. Fenomena kontrol orang tua dan masyarakat yang lemah terhadap anak-anak menjadi pelajaran berharga kita, untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.

Moralitas anak bangsa yang semakin meninggalkan ajaran-ajaran agamanya menjadi problem yang sangat kompleks. Nilai-nilai modern dan liberal yang disaksikan setiap hari oleh media massa mempunyai pengaruh yang luas bagi anak-anak. Banyaknya film-film kekerasan yang dipertontonkan di media elektronik, seperti TV, VCD, Internet secara bebas dikonsumsi oleh masyarakat. Anak-anak menonton film dan menelan mentah-mentah isi yang mereka lihat.

Keinginan untuk mencontoh pada diri anak-anak sangat besar. Setiap hari anak-anak selalu menonton televisi yang membuat anak menjadi malas untuk beraktivitas. Terlebih jika liburan, terkadang seharian menonton televisi. Anak cenderung mengikuti model yang mereka lihat secara terus menerus tanpa filter yang memadai dari orang tua. Pendampingan selama anak menyaksikan acara TV perlu menjadi perhatian dari orang tua. Penjelasan tentang adegan – adegan kekerasan dan pornografi sebaiknya di jelaskan oleh orang tua, atau mengganti chanel TV lain manakala ada film yang berpotensi mempengaruhi kepribadian anak.

Peran yang bisa dimainkan untuk mencegah agar mampu mengurangi tindak kekerasan yaitu control dari masyarakat. Selama ini kontrol masyarakat terhadap kekerasan sosial sangat longgar. Peralihan budaya individualistis menjadikan masyarakat merasa acuh terhadap persoalan orang lain. Kontrol masyarakat dengan cara mengajak masyarakat untuk menjaga kondisi masyarakatnya secara bersama-sama dan menggunakan nalar secara rasional untuk mengatasi problema kekerasaan akibat kemiskinan ini.

Selain itu, masyarakat juga menaruh kepercayaan besar kepada para penegak hukum untuk menindak secara adil kepada pelaku tindak kekerasan seksual dengan hukuman yang adil dan membuatnya jera untuk tidak mengulangi perbuatan keji tersebut. Di samping itu penyelesaian problem sosial semacam ini, harus dimulai dari akar masalah: kemiskinan.

Krisis moral mengakibatkan tindak kekerasan yang meresahkan masyarakat. Alasan ekonomi yang semakin susah banyak menjadi alasan para perempuan lari kelembah kenistaan. Ketidak-peduliaan masyarakat terhadap pekerjaan kotor hanya menjadikan para pekerja seksual terasing dari masyarakatnya. Eksistensinya yang tidak diakui dan ditangkapi oleh aparat pemerintah semakin mengucilkan rasa kemanusiaannya. Persoalannya yang mendasar tentang ekonomi seakan tidak menyentuh relitas kehidupannya. Penguasa cenderung membuat peraturan anti maksiat tanpa memberikan solusi pekerjaan yang akan diambil setelah pemberlakuan peraturan daerah tersebut. Delimatis, memang. Permasalahan sosial yang sangat meresahkan ini seharusnya menjadi pijakan arif untuk memberikan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki. Bukankah, dengan demikian, fenomena kekerasan seksual tidak mustahil akan terkikis habis?

No comments: