Persekolahan yang memberi ruang dan waktu untuk mencipta

Sistem persekolahan hari ini memproduksi murid-murid yang mengetahui banyak informasi, tetapi belum banyak murid yang mampu mencipta karya. Sekolah perlu memberi ruang dan waktu bagi murid berekspresi. Mencipta ide, gagasan dan teknologi. Kesimpulan yang penulis dapat dari pemaparan Daniel Ruslan Ghani.

Diskusi terfokus kajian teknologi peradaban leluhur di ITS, 11/05/2016.

Sistem persekolahan, membuat murid diseragamkan menguasai kompetensi secara terpusat dengan standar baku. Murid dipaksa belajar dikelas, dan hilang kesempatan belajar mengalami sendiri. Murid tidak mengalami kehidupan bekerja secara nyata dari orang tua. Tidak belajar sebagai pelayar maupun bertani secara langsung. Murid menghabiskan waktu banyak di dalam kelas, dan jarang mengalami langsung pekerjaan agraris dan maritim. Bukankah Indonesia adalah negara agraris dan maritim? Mestinya, kurikulum yang dirancang mengadopsi kekayaan lokal. Menjadikan lingkungan agraris sebagai laboratorium belajar untuk mempersiapkan kehidupan di masa depan. Belajar interaksi dengan alam dan kearifan lokal. Anak belajat sesuai dengan tanah kelahiran mereka.

Keadaan murid di sekolah, di cetak sebagai penghapal pengetahuan, tetapi tidak mampu menggunakan pengetahuannya dalam hidup kesehariaan. Murid dikatakan pandai kalau ia memperoleh nilai tinggi dalam ujian. Ujian yang diselenggarakan secara tulis maupun lisan. Murid menjadi terasing dengan konteks dunia dan lingkungan sekitar. Keterasingan ini menyebabkan para lulusan sekolah menganggur. Mereka bingung mengelola diri memanfaatkan kekayaan alamnya.

Akhirnya, sebagian orang memilih kota sebagai tujuan mencari kerja. Mereka tidak mampu mengelola ruang yang ada di desa dan berduyun-duyun ke kota untuk menjadi buruh (pekerja). Orang berkumpul dalam kepadatan penduduk. Segregasi sosial makin lebar. Pemiskinan massal terjadi seiring perbedaan pendapatan yang tinggi dan pembangunan terpusat di kota. Teknologi yang digunakan hasil cangkokan, bukan lahir dari karya kreatif seseorang. Semua serba impor dari luat negeri dan semakin kehilangan teknologi leluhur . Budaya dan bahasa para keluhur semakin hilang dari pengetahuan anak-anak.

Ironis, suatu karya membutuhkan ruang dan waktu untuk mengerjakan. Tetapi sistem kelas, menjadikan murid terkotak dalam waktu yang lama untuk belajar mengetahui saja, tanpa mengalami langsung dan mengerjakan proyek di wilayah agraris maupun maritim. Adakah kurikulum di sekolah dasar di daerah maritim yang merancang praktek bagi anak-anak melaut? Atau memperbolehkan muridnya ikut berlayar bersama orang tua atau pelatih mengarungi sungai/bengawan dan samudra?

Budaya urban ke kota menjadikan mereka hidup di daerah padat penduduk. Kepadatan membuat orang kehilangan ruang untuk mencipta. Sementara penduduk meninggalkan desa dan membiarkan desa-desa tidak dikelola dengan teknologi peradaban leluhur.

Orang-orang mencangkok ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar negeri. Orang meninggalkan teknologi peradaban leluhur. Orang lebih bangga menggunakan transportasi mobil produk luar negeri, daripada menggunakan transportasi perahu atau kapal laut. Akibatnya, kota besar menjadi kota macet karena penuh dengan mobil. Mobil menjadi raja dan gengsi sosial. Padahal, jika melihat data kecelakaan motor dan mobil sering terjadi.

Teknologi leluhur nusantara yang pernah jaya dengan kemaritiman, kurang bergairah. Orang enggan meneliti khasanah masa kejayaan mojopahit. Kini, yang tersisa hanya artefak dalam relief dan cerita rakyat yang sudah asing di telinga anak. Menjadikan mojopahit sebagai masa depan adalah tantangan. Perlu penelitian antar disiplin ilmu. Penelitian nusantara masa depan yang mampu disegani bangsa lain.

Persoalannya, anak lebih suka menonton film asing dan bermain game on line daripada mengunjungi musium dan bermain bebas bersama alam. Anak-anak dan orang dewasa makin menurun kesehatannya karena kurang bergerak. Hidupnya pasif dan menghabiskan banyak waktu dengan diam menggunakan hand phone.

Orang menjadi konsumtif dan ketergantungan tinggi pada produk asing. Untuk mengembalikan fungsi manusia yang memiliki nilai dan daya cipta, maka sistem sekolah perlu berbenah. Menetapkan standar mutu sesuai dengan keadaan dan minat siswa yang berinteraksi dengan alamnya. Menjadikan minat siswa sebai pusat perhatian, dikembangkan dan difasilitasi oleh guru. Bukan dengan memaksa murid mengikuti standar kompetensi dari pusat yang belum tentu sesuai dengan kondisi alam sekitar.

Metode investigatif perlu dikembangkan di sekolah, dengan memberi ruang belajar di alam bebas bersama air, angin, udara, laut dan tanah serta gunung dan tebing. Biarkan anak-anak berinteraksi dengan dunianya yang akan menjadi masa depan mereka. Bukan didikte oleh kepentingan asing, tetapi tegak menjadi pemimpin di tanah air sendiri.

Kesempatan beasiswa bagi anak nelayan dilihat
http://m.detik.com/finance/read/2016/05/12/185733/3209258/4/susi-saya-cari-anak-sma-juara-1-5-untuk-jadi-doktor-bahari-di-luar-negeri?f9911023. Semoga berguna.


Waallahu a'lam bis sawab.