Refleksi: Peringatan dari Pantai Pangandaran

Tsunami terjadi di pantai Pangandaran, Ciamis Jawa barat. Ratusan orang meninggal dan luka. Kini, di desa Madasari, Ciamis luluh lantak diterjang tsunami. Bangunan desa rata dengan tanah. Desa yang terletak 100 meter dari bibir pantai Pangandaran ditemukan mayat meninggal. Tsunami membawa bencana bagi masyarakat di sepanjang pantai selatan. Kantor Menko Kesra mencatat, jumlah korban yang meninggal 357 orang dan hilang 229 orang. (Jawa Pos, 19.Juli.2006). Penderitaan masyarakat sekitar kehilangan anak, istri, dan suami serta dan harta benda. Mereka trauma dan depresi. Mereka ketakutan akan datangnya tsunami kembali. Mereka cepat percaya isu akan terjadinya tsunami kembali dari berbagai sumber yang tidak jelas. Masyarakat dihantui ancaman gempa dan tsunami. Mereka lari ke bukit, mengungsi di masjid dan di tenda-tenda. Masyarakat cepat panik dan berlari membawa anak dan harta benda. Gempa juga terjadi di Jakarta, Sumatera, Jawa Barat di Selat Sunda pada hari Rabu sore 19 Juli 2006. Ancaman tsunami bagaikan mimpi buruk yang terjadi. Namun demikian luka yang ditorehkan, membawa makna yang teramat berarti. Apa saja makna terjadinya dibalik peristiwa gemuruh ombak di pantai Pangandaran itu?


Pertama, penulis percaya, bahwa Tuhan menciptakan hukum sebab akibat. Ada klausal yang mengiringi terjadinya tsunami. Jika menilik peristiwa demi peristiwa tsunami yang terjadi di Aceh di penghujung 2005 yang menelan ribuan korban, dikarenakan tidak adanya peringatan dari pemerintah sebelumnya ke masyarakat. Ketidaktahuan dan ketidakmengertian adalah awal peristiwa getir yang mematikan ribuan penduduk. Alih-alih, pemerintah mau belajar untuk tidak mengulang peristiwa tersebut, kini ancaman tsunami terjadi lagi di sepanjang laut selatan. Masyarakat tidak tahu, terkesan panik dan menjadi korban tsunami. Masyarakat miskin akses memperoleh invormasi. Dan terbukti, bahwa sebenarnya pemerintah telah menerima warning dari Pacific Tsunami Warning Center dan badan meteorology Jepang sesaat setelah ada gempa, tetapi pemerintah tidak mengumumkannya ke masyarakat. Padahal peringatan tersebut dikirimkan 45 menit sebelum kejadian. (Jawa Pos, Rabu, 19 juli 2006). Andai saja, pemerintah sigap dan menyampaikan warning tersebut kepada penduduk, mungkin saja, korban bisa diantisipasi. Tapi, sekali lagi, pemerintah tidak mau belajar dari peristiwa yang mematikan dan terjadi berulang kali. Disinilah, terasa sekali, betapa sistem koordinasi sangat lemah untuk membela keselamatan jiwa warganya. Apabila pemerintah acuh tak acuh, maka tsunami akan terus saja membawa korban yang banyak. Harusnya, ada alat pemantau tsunami yang difasilitasi oleh pemerintah di daerah pantai. Seperti India, yang telah gencar memberikan invormasi akan ancaman tsunami ke warganya.

Kedua, tsunami adalah peringatan Tuhan. Tsunami menyisakan tanya pada manusia tentang apa gerangan kesalahan yang diperbuat sehingga alam murka? Tsunami menggulung manusia dengan ombak yang cepat. Tsunami seakan berkata dengan cara mereka sendiri. Lautan berkata melalui dentuman ombak yang keras dan menggetarkan manusia. Tsunami seakan menjadi pertanda bahwa Allah SWT kuasa melumatkan segala makhluk melalui debur ombakNYA. Tsunami menyimpan pesan Ilahi. Ada i’tibar yang tersembunyi dibalik peristiwa tsunami. Ilahi memperingatkan ulah manusia yang merusak alam secara besar-besaran. Manusia serakah dan sombong merajalela. Laut Allah SWT murka melihat kejahatan korupsi yang terjadi di negeri ini. Negeri yang terus menerus menyusahkan masyarakat miskin. Negeri yang tidak memberikan kesejahteraan bagi penduduknya. Allah SWT sudah memberikan peringatan untuk menjadikan kehidupan di darat dan laut untuk kebaikan manusia, bukan untuk menyombongkan kekayaan dan menindas masyarakat miskin. Allah SWT telah menjadikan lautan dan daratan untuk manusia, namun manusia banyak yang mengingkari nikmat Tuhan dan mendlalimiNYA.

Ketiga, tsunami adalah pertanda bahwa manusia banyak yang tidak bersyukur akan nikmat Allah SWT. Tsunami adalah bentuk kekuasaan Allah SWT yang dipertontonkan ke manusia. Manusia banyak yang kufur atas nikmat Allah SWT. Manusia mendewakan materalisme sebagai segala-galanya di dunia. Tsunami adalah bukti bahwa harta benda tidak ada artinya dan tidak bisa menolong manusia dari amukan tsunami. Ditengah era modern, manusia semakin jauh dari Allah SWT. Manusia hanya mengejar harta dan kekuasaan. Manusia lupa dan mengingkari kuasa Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Krisis keimanan inilah yang tengah menguji manusia untuk kemudian sadar dan segera menyebut kebesaran Allah SWT.

Keempat, bagi orang-orang yang mau belajar dari peristiwa tsunami, tentu musibah ini semakin meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan mengokohkan iman dan tauhid, maka solidaritas antar manusia untuk saling menolong. Manusia tidak perlu lagi saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Semua masyarakat perlu saling waspada menghadapi bencana tsunami.
Wallahu a'lam bishhawab