Wednesday, November 01, 2006

Belajar Demokrasi di hari Lebaran

Suasana lebaran di Indonesia berjalan damai. Perbedaan penetapan hari raya idul fitri, disatu pihak merayakan idul fitri hari senin 22/10/2006, dan pihak lain merayakannya pada hari selasa, 23/10/2006. Penetapan lebaran oleh pemerintah disatu pihak berbeda dengan hasil rukyah setempat. Mayoritas masyarakat NU Jawa Timur mengabaikan keputusan pemerintah. Kedewasaan masyarakat untuk memilih berlebaran sesuai dengan pilihan mereka dengan penuh rasa aman merupakan indikasi meningkatnya kebebasan menjalankan agama sesuai dengan pilihan masyarakat. Betulkah demikian?


***

Belajar Demokrasi di hari Lebaran

Oleh: Najlah Naqiyah


Suasana lebaran di Indonesia berjalan damai. Perbedaan penetapan hari raya idul fitri, disatu pihak merayakan idul fitri hari senin 22/10/2006 dan pihak lain merayakannya pada hari selasa, 23/10/2006. Penetapan lebaran oleh pemerintah disatu pihak berbeda dengan hasil rukyah setempat. Mayoritas masyarakat NU Jawa Timur mengabaikan keputusan pemerintah. Kedewasaan masyarakat untuk memilih berlebaran sesuai dengan pilihan mereka dengan penuh rasa aman merupakan indikasi meningkatnya kebebasan menjalankan agama sesuai dengan pilihan masyarakat.

Perbedaan ini tidak membuat masyarakat bertengkar. Gema takbir di setiap masjid terasa indah, mengagungkan kebesaran Allah SWT. Rasa toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat adalah pembelajaran demokrasi yang patut diapresiasi. Indonesia yang garang, dengan berbagai ragam pertengkaran antar etnik, pertikaian antar suku dan segregasi antara kaya dan miskin yang makin melebar serta bencana alam telah mencabik-cabik anak bangsa selama ini, tidak terlihat pada saat lebaran. Kerukunan nampak di masyarakat saat lebaran merupakan langkah maju bagi budaya bangsa Indonesia. Suasana guyub, gembira dan ceria juga ditunjukkan pada acara silaturrahmi dari rumah ke rumah guna memperoleh maaf. Tidak ada masyarakat yang tidak tersenyum saat menyapa saudaranya.

Masyarakat seakan tidak hirau dengan perbedaan yang terjadi. Toleransi masyarakat jauh lebih nampak dewasa di desa yang tidak berpendidikan tinggi. Hal ini, jauh dengan pemandangan hiruk pikuk, beda pendapat para penguasa yang terjadi di meja-meja sidang partai politik. Sidang DPR tidak jarang yang berakhir dengan saling caci maki dan saling adu otot. Nuansa lebaran menjadi lain dari yang lain.

Lebaran diperingati secara berbeda oleh ummat Islam di Indonesia. Perbedaan penetapan hari lebaran ini berjalan damai. Perbedaan lebaran mengisyaratkan perbedaan faham yang mulai berani dimunculkan oleh masyarakat. Perbedaan lebaran menunjukkan perjalanan keagamaan yang beragam. Perbedaan tersebut merupakan rahmat lil alamin. Perbedaan sejatinya disikapi dengan terbuka dan menerima keanekaragaman paham. Perbedaan yang dikelola dengan baik membangun citra positif. Perbedaan merupakan ekspresi yang tercermin dari cara berpikir bebas yang mesti terjadi. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan.

Bagi masyarakat awam, perbedaan hari raya tidak menimbulkan konflik. Walaupun ada sebagian masalah yang terselubung. Realitas kesehariaan masyarakat petani dan buruh, lebih bersikap respek terhadap perbedaan yang terjadi. Mereka tidak perduli dan bersikap acuh tak acuh dengan segala perbedaan. Ekspresi yang mereka tunjukkan ada yang positif dan negatif. Ekspresi positif ditunjukkan dengan membiarkan perbedaan terjadi dan bersikap memahami pilihan masing-masing. Sedangkan ekspresi negatif muncul melalui kasak kusuk di balik meja. Secara samara terlihat mereka saling menggunjing satu dengan yang lain. Mengintai dan mematai-matai aktivitas satu dengan yang lain. Namun, secara umum, masyarakat tidak peduli dengan perbedaan yang terjadi, mereka cenderung mengikuti para kiai mereka yang menjadi panutan sehari-hari.

Demokrasi : kebebasan berekspresi.
Belajar demokrasi tidak harus pergi ke Amerika atau duduk di bangku sekolah atau perguruan tinggi bertahun-tahun. Belajar demokrasi bisa di capai dari realitas kesehariaan idul fitri di kampung. Pembelajaran demokrasi tersebut ialah saling memberikan maaf antara satu dengan yang lain. Kesediaan saling memaafkan merupakan bentuk rekonsiliasi yang menghantarkan pada rasa perdamaian. Kesediaan saling memberi maaf akan menghapus segala prasangka dan dendam serta kesalahan yang telah menimbulkan luka. Dosa yang paling banyak dilakukan manusia adalah kesalahan-baik kecil maupun besar-terhadap sesamanya yang disebabkan oleh hal-hal yang sepele antar manusia bisa bermusuhan, bertikai, hingga saling bunuh.

Idul Fitri merupakan momentum untuk saling memaafkan antarmanusia, baik secara individu maupun kolektif. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal bihalal. Meski awalnya eksklusif milik umat Islam, kini telah menjadi fenomena nasional, telah dimiliki dan dilaksanakan semua kalangan, tak terkecuali non-Muslim. Fenomena ini wajar karena relevan dengan inklusivitas misi ajaran Islam. Kesediaan memaafkan merupakan bentuk eratnya hubungan kemanusiaan antar sesame. Kesediaan memberi maaf adalah kebutuhan manusia yang tidak luput dari salah dan dosa. Kesediaan memaafkan membuka komunikasi yang tertutup. Kesediaan rasa memaafkan menjadikan manusia kembali kepada fitrah dan kesucian. Kesediaan memaafkan memberikan pertanda bersemainya demokrasi yang menekankan pada saling pengertian dan pemahaman. Kesediaan mengakui dan memperbaiki kesalahan adalah bentuk perilaku yang perlu terus menerus dilakukan.

Idul fitri juga mengembangkan budaya saling sapa dan mengenal secara baik setiap pribadi orang lain. Melalui acara silaturrahmi dengan mendatangi rumah dan berkunjung membentuk saling pengertian dan keeratan hubungan sesama ummat. Tradisi silaturrahmi yang tercermin dalam peristiwa mudik lebaran, membawa hikmah merekatkan kembali nilai persaudaraan. Tradisi pulang kampung dan meminta maaf ke sanak keluarga terutama orang tua, saudara serta keluarga dan masyarakat merupakan bentuk nilai kasih sayang. Nilai rasa kasih sesama merupakan pilar demokrasi. Demokrasi membawa gagasan bertumbuhnya rasa perdamaian dan persaudaraan. Kunjungan dan saling memaafkan antara satu dengan yang lain wujud rasa damai diantara masyarakat.

Lebaran kali ini awal tradisi demokrasi yang bersemai di masyarakat. Cara masyarakat mengelola perbedaan secara dewasa, wujud penghargaan kebebasan berekspresi. Penghargaan yang tinggi atas setiap pilihan bebas tanpa tekanan, suasana kondusif bagi bertumbuhnya demokrasi. Gagasan saling mengerti dan bertoleransi atas pilihan satu dengan yang lain patut diapresiasi. Atas nama bangsa yang pluralistik meniscayakan adanya perbedaan yang terus terkelola dengan baik. Kita mesti belajar dari peristiwa pahit yang menghancurkan nilai persaudaraan akibat ketidakmampuan mengelola perbedaan, berakhir saling tikai dan bunuh. Masyarakat lelah bertengkar dengan hal-hal yang sepele, seperti pembakaran tempat-tempat ibadah, merusak fasilitas umum dan saling bunuh. Masyarakat belajar untuk bisa menjalani setiap perbedan dengan saling mengerti.

Lebaran yang diharapkan dapat membelajarkan demokrasi akan tercapai, apabila;
1.Masyarakat menyediakan lingkungan yang saling memaafkan antara satu dengan yang lain. Lingkungan saling maaf akan terbentuk apabila terbangun budaya yang selalu hadir dalam tingkah laku masyarakat untuk memohon maaf. Budaya maaf ini tercermin sekali misalnya, di saat hari raya idul fitri, dimana setiap orang saling menyapa dan meminta maaf. Lebaran ini merupakan tradisi unik yang bisa menjadi momentum tradisi saling memaafkan setiap hari disepanjang tahun. Alangkah indahnya apabila tercipta hubungan persaudaraan yang bersedia saling memaafkan antara satu dengan yang lain. Damai akan terasa di hati.
2.Pembelajaran yang bisa di petik adalah bertumbuhnya ekspresi masyarakat untuk bebas berpendapat, mengeluarkan gagasan secara lugas dan bertanggung jawab. Lebaran kali ini melatih masyarakat berani menetapkan keputusan kapan melaksanakan hari raya, meskipun pilihan mereka harus berbeda dengan pemerintah. Masyarakat berani mengekspresikan keyakinannya secara dewasa.
3.Memberikan penghargaan yang tinggi atas sesama manusia. Kita mesti memperlakukan dan menghargai orang lain sebagai mana kita ingin dihargai. Penghargaan yang tulus menunjukkan nilai kemanusiaan kita sendiri. Setiap orang lain memiliki persamaan secara universal. Setiap manusia ingin dihargai, dicintai dan diperlakukan sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain.

Akhirnya, ainti dari demokrasi ialah kesediaan untuk berdamai dengan Allah SWT, berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan orang lain. Kesemua itu bisa dilakukan apabila kita hidup dengan bersyukur (berterima kasih) dan bersedia menjalani demokrasi setiap hari. Mewujudkan kehidupan yang damai, bahagia dan adil.

3 comments:

Samsjul Hudha said...

Lebaran kemaren di rumah kami juga ada perbedaan.
Tapi alhamdulillah semuanya bisa saling memahami dan toleransi.

Unknown said...

Perbedaan lebaran... apakah itu Rachmat?,di mana letak kerachmatannya? bukanya yg membuat berbeda itu hanya satu/dua gelintir orang yg masing2 hanya untuk membenarkan pendapat diri sendiri?Adakah di dunia ini yg cara menentukan hari lebaran berbeda seperti di Indonesia ini?
Simak surat Annisa' ayat 59, Hai orang2 yg beriman taatilah Alloh dan Rosul Nya dan Ulil amri di antara kamu. dst... Ayat ini jelas dan lugas dan tdk di ragukan lagi bahwa yg tdk taat dengan ulil amri, menurut ayat ini apakah masih di golongkan orang beriman?

Unknown said...

browse this site replica ysl bags this article dolabuy hop over to this website replica bags china