Friday, June 16, 2006

Upah Perempuan Dibayar Lebih Rendah: Mengapa?

Era global dan pasar bebas kini menuntut perempuan memasuki bursa kerja. Ironisnya, Perempuan dibayar lebih rendah dari pekerja laki-laki. Namun demikian, syahwat perempuan untuk bekerja di sektor publik makin meningkat. Berbagai perusahaan membuka diri menerima para pekerja perempuan profesional agar terlibat memajukan bisnis. Perempuan berbondong-bondong mengajukan lamaran dan memadati setiap bursa kerja. Perempuan berlomba meraih peluang membangun kesejahteraan dengan meningkatkan kinerja. Kesejahteraan menjadi wacana aktual di berbagai seminar-seminar karier dan usaha. Tantangan perempuan memilih pekerjaan yang sesuai bagi diri mereka sangat terbuka lebar. Persoalannya ialah, bagaimana melindungi agar perempuan memperoleh gaji yang sama dengan laki-laki?

***


Upah Perempuan Dibayar Lebih Rendah: Mengapa?

Oleh: Najlah Naqiyah


Era global dan pasar bebas kini menuntut perempuan memasuki bursa kerja. Ironisnya, Perempuan dibayar lebih rendah dari pekerja laki-laki. Namun demikian, syahwat perempuan untuk bekerja di sektor publik makin meningkat. Berbagai perusahaan membuka diri menerima para pekerja perempuan profesional agar terlibat memajukan bisnis. Perempuan berbondong-bondong mengajukan lamaran dan memadati setiap bursa kerja. Perempuan berlomba meraih peluang membangun kesejahteraan dengan meningkatkan kinerja. Kesejahteraan menjadi wacana aktual di berbagai seminar-seminar karier dan usaha. Tantangan perempuan memilih pekerjaan yang sesuai bagi diri mereka sangat terbuka lebar. Persoalannya ialah, bagaimana melindungi agar perempuan memperoleh gaji yang sama dengan laki-laki?

Tingginya minat perempuan bekerja diperkantoran dan perusahaan membuktikan adanya gerakan perubahan peran domestik ke peran publik. Ditengah perubahan itulah, perempuan memperoleh tantangan besar memperjuangkan hak-hak pribadi mereka. Hak mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki, hak memperoleh kesejahteraan dan keselamatan kerja serta hak mendapatkan kehidupan ekonomi secara layak. Untuk mendapatkan hak-hak pribadinya, perempuan tidaklah mudah. Problem budaya dan kultur semakin menambah peliknya kapitalisme yang menghegemonik. Nilai feodalisme, yang menganggap perempuan lebih rendah, tenaganya lebih lemah dari lelaki seakan menguatkan para pengusaha kapital menghargai kinerja dan jasa perempuan secara lebih rendah dari laki-laki. Wacana agama yang menyebutkan bahwa perempuan tidak memiliki kewajiban memenuhi nafkah keluarga, menjadi pembenar bagi para pengusaha kapital membayar upah perempuan dibawah pekerja laki-laki. Kultur feodalisme, perempuan dihadapkan pada budaya bisu dan diam akan segala ketidakadilan yang dirasakan. Perempuan yang melawan dan menuntut hak-haknya, seakan hanya akan tinggal nama, contoh kasus Marsinah, seorang buruh pabrik yang meninggal akibat sikap kritisnya menuntut perbaikan upah. Persoalannya ialah, rasa takut yang mendera perempuan, membuat mereka bungkam menuntut keadilan dan kesetaraan upah. Bagaimana memberdayakan perempuan memperoleh upah yang sama dengan laki-laki?

Persaingan dan kesempatan menggapai pekerjaan sangat pelik. Dilain pihak, kesamaan upah dengan pekerja laki-laki menjadi perjuangan gerakan perempuan yang relefan seiring meningkatnya akses perempuan di dunia pekerjaan. Dinamika gerakan perempuan terus melaju. Tuntutan hak-hak sipil bagi peran perempuan terus digugat. Tuntutan tersebut seiring dengan kemajuan kehidupan masyarakat. Tuntutan terhadap kesejahteraan keluarga, pendidikan dan pekerjaan menjadi wacana utama bagi terpenuhinya hak-hak sipil. Kesamaan kesempatan akses tidak terpenuhi akibat tirani hegemonik kapitalis. Perbudakan gaya baru dengan wujud segregasi kaya dan miskin menjadi penegas pemisahan kesamaan akses bagi kaum buruh. Keadaan ini mengingatkan saat perbudakan yang terjadi. Dulu, perbudakan disebabkan oleh perbedaan kulit hitam dan kulit putih. Orang kulit hitam harus menjadi hamba sahaya yang dijual, tidak dibayar kinerjanya, tidak memperoleh pendidikan dan hidup dalam ketakutan. Sekarang, Perbudakan muncul kembali dengan baju yang berbeda tetapi memiliki kesamaan perlakuan penindasan. Yaitu perbudakan yang disebabkan oleh orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Perlakuan ke pekerja perempuan miskin, seperti perlakuan pada budak hitam tempo dulu. Bagaimana tidak? Perempuan miskin yang bekerja sebagai buruh di suatu pabrik yang bekerja selama sehari hanya memperoleh upah berkisar Rp 10.000,- sedangkan pekerja laki-laki dengan pekerjaan yang sama memperoleh upah Rp 12.500,-. Perbedaan itu terlihat nyata dan banyak terjadi dikomunitas pekerja perempuan. Siapapun yang miskin baik laki-laki atau perempuan tidak akan mampu mendapatkan akses ekonomi dan pendidikan yang layak, apabila eksploitasi pekerjaan tetap berlangsung. Bahkan, banyak para pembantu rumah tangga yang umumnya para perempuan muda tidak dibayar oleh majikan. Keadaan ini menambah miris, apabila terjadi pada perempuan yang bekerja pada sektor pekerjaan yang eksploitatif. Misalnya, pekerjaan pabrik yang mengandalkan keterampilan tangan, mengelinting rokok, atau menjahit pakaian. Mereka memperoleh upah dibawah pekerja laki-laki pada banyak perusahaan. Ironinya, tenaga perempuan semakin dibutuhkan oleh perusahaan bermodal besar dengan alasan pekerja perempuan lebih murah. Alasan ini berlaku pada hukum ekonomi kapitalisme. Bagaimana mengusahakan biaya produksi rendah, dan mengeruk laba setinggi-tingginya. Tenaga perempuan sebagai alibi dengan membayar murah keringat para buruh perempuan guna memperoleh laba yang tinggi. Kenyataan ini menodai perjuangan keadilan yang didengungkan oleh sistem demokrasi yang tengah dipuja oleh banyak orang.

Perbedaan kaya dan miskin juga terjadi pada akses pendidikan. Akses memperoleh kualitas pendidikan adalah hak setiap individu. Misalnya, Tuntutan kesejahteraan keluarga untuk bidang kesehatan dan pendidikan. Kini akan terlihat nyata bagaimana komplek sekolah elit yang kaya fasilitas hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki ekonomi menengah keatas, sedangkan sekolah negeri yang miskin fasilitas diakses oleh orang-orang dari ekonomi kelas rendah.

Lalu bagaimana mewujudkan rasa adil bagi upah pekerja perempuan? Pertama, Kemauan untuk menyamakan upah pekerja laki-laki dan perempuan. Persamaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan adalah wujud keadilan. Sebaliknya, Perbedaan upah yang disandarkan pada jenis kelamin yang menganggap perempuan lebih lemah dan lebih rendah dari laki-laki adalah pandangan yang tidak adil. Keadilan akan terwujud, apabila ada kesamaan dalam menghargai kinerja baik laki-laki dan perempuan secara profesional.

Kedua, Gerakan organisasi pemberdayaan yang menyurakan isu persamaan upah. Gerakan ini menjadi nilai penting bagi perjuangan pergerakan perempuan pada sektor ekonomi. Perempuan mesti dinilai sebagai manusia yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki tenaga dan mampu mengusahakan kinerja yang maksimal secara profesional. Sebagai manusia, perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama besarnya untuk memperoleh keterampilan dan mengusahakan kinerja yang profesional. Kesempatan untuk memperoleh hak-hak yang sama atas upah mereka adalah hak setiap pekerja perempuan.

Ketiga, Meningkatnya gerakan kerja oleh kaum perempuan di sektor publik, menuntut perempuan mesti belajar secara terus menerus. Pekerja di bidang tertentu akan membutuhkan inovasi, kreativitas serta kecerdasan yang selalu baru. Peran perempuan yang bekerja di perusahaan atau di perkantoran mesti mengejar ketertinggalan mereka. Menguatnya tuntutan profesionalisme meniscayakan adanya kompetisi makin tinggi antara pekerja satu dengan yang lain.

Keempat, Sikap profesionalisme yang tinggi bagi pekerja perempuan. Mengapa pekerja perempuan mesti profesional? Tuntutan perusahaan global menekankan efisiensi pegawai/pekerja. Tuntutan efisiensi semakin nyata dengan rampingnya jumlah tenaga kerja yang semakin kecil dengan kemampuan profelional. Kenyataan inilah yang menyebabkan perempuan mesti bersaing ketat. Misalnya, saat penerimaan pekerja di perusahaan. Perusahaan membutruhkan satu pekerja dengan jumlah pelamar laki-laki dan perempuan sangat banyak peminatnya. Secara matematis, perusahaan akan merekrut satu orang tersebut akan diberikan pada laki-laki daripada perempuan. Mengapa? Perempuan akan banyak mengalami cuti, saat menstruasi dan melahirkan serta merawat anak-anak mereka. Pada saat inilah, sikap profesionalisme perempuan mesti teruji dengan laki-laki. Bagi perempuan yang memiliki kemampuan professional yang lebih tinggi dari kemampuan laki-laki dan bisa memilih resiko akan memperoleh peluang pekerjaan. Ketika proses wawancara berlangsung, maka sikap tegas perempuan berani mengambil resiko dari setiap pilihan mereka menjadi suatu yang tidak mudah bagi perempuan.

Terkadang, memilih peran domestik atau peran publik menjadi problem pelik bagi perempuan karier. Pada saat peran domestik tengah menunggu tangan-tangan kasih perempuan sebagai ibu hamil, menyusui dan merawat anak-anak serta pekerjaan rumah tangga lainnya akan membuat perempuan berpikir lebih arif untuk meneruskan karier bekerja di perusahaan atau cuti sementara waktu. Pilihan cerdas perempuan itu merupakan hal yang unik bagi perempuan untuk mengambil keputusan sesuai keinginan masing-masing. Sikap gamang, tidak menentu terkadang membuat pekerja perempuan dihargai dengan lebih rendah. Sebaliknya, sikap berani menuntut hak-hak pembayaran upah yang sama dengan laki-laki akan meniscayakan perempuan lebih sejahtera bekerja secara professional. Akhirnya, perempuan perlu belajar melawan rasa takut mereka untuk memperoleh hak-haknya.

3 comments:

Anonymous said...

Setuju Bu 100%.Salut ...
Sayangnya tidak semua prempuan menyadari hak & kebutuhan utk bersikap profesional spt yg Ibu sebutkan diatas sehingga akhirnya mereka menerima perlakuan yang tidak adil tetapi dan tidak berani memperjuangkan yang menjadi haknya karena ketergantungan ekonomi pada perusahaan t4 dia bekerja .
Baik itu dalam lingkungan kerja di bidang Jasa maupun manufakturing.
Setahu saya persentasi tingkat kesadaran ini lebih tinggi di bidang jasa yang biasanya berlokasi di tengah kota (tenaga kerja wanita yg relatif berpendidikan tinggi) dibandingkan dengan bidang manufakturing yang biasanya berlokasi di pinggiran kota (kebanyakan hanya lulusan SMA).Mereka bahkan enggan mengembangkan diri seperti mempelajari sesuatu yang baru, memperdalam bidang pekerjaannnya , membuka wawasan pribadi dll.
Sangat-sangat disayangkan. Padahal mendidik seorang perempuan sama halnya mendidik seluruh keluarga.
Sementara mendidik seorang laki-laki hanya mendidik seorang individu. Dengan kata lain bila bangsa ini ingin maju seharusnya pendidikan untuk para perempuan seharusnya juga lebih digiatkan baik itu secara formal maupun informal.Dan diharapkan kaum wanita mempunyai kesadaran untuk mengembangkan diri sendiri .
dari seorang feminist di pinggiran kota :-)

yanmaneee said...

supreme
michael kors outlet
jordans
curry 6 shoes
vapormax
golden goose
michael kors outlet online
golden goose
yeezys
yeezy boost 500

yanmaneee said...

kyrie 6
cheap jordans
jordan shoes
kyrie shoes
nike x off white
westbrook shoes
yeezys
michael kors outlet
nike shoes
vapormax