Tuesday, January 11, 2005

Penanganan Trauma Pasca Tsunami

Trauma studies mengkaji sebab-sebab trauma bukan semata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul kibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa terjadi yang menggoncang eksistensi kejiwaan. Sigmund Frued memperjelas bahwa trauma ialah suatu ingatan yang merepresi.

Rasa trauma pasca tsunami menimbulkan ketakutan yang berasal dari ingatan kolektif yang menggoncangkan jiwa. Trauma adalah keterkejutan yang menakutkan bagi seseorang. Trauma menimbulkan ketakutan dan ketidakberdayaan. Ketakutan karena
badai terus menghantui, sementara keadaan diri tidak berdaya. Trauma juga diartikan ketidakcocokan antara tuntutan dengan harapan. Tuntutan untuk mendapat rasa aman dari badai, melindungi sanak keluarganya, tetapi kenyataan yang terjadi perasaannya tidak berdaya, penuh cemas karena keributan badai yang dasyat.

Terdapat beberapa tanda seseorang mengalami trauma, yaitu pada empat kategori perasaan (feeling), pikiran (thoughts), perilaku (behaviour), fisik (physiology). Perasaan traumatis ditandai dengan cemas (anxious), takut (scared), cepat marah (irritable), murung (moody). Sedangkan pikirannya menyebabkan harga diri (self esteem) rendah, takut gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah kecewa, takut denga bayangan masa depan, dan lalai. Perilaku yang mengiringi ialah gagap, sulit bicara, menangis berlebihan, menuruti kata hati. Perlakunya menyebabkan ketidakberdayaan yang ditandai dengan mudah terkejut/kaget berlebihan, menutup mata, diam, sakit kepala, mencret, gemetaran dan melumpuhkan. Pada tingkat proyeksi ada beban psikologis takut terhadap air yang berkekuatan besar, seperti suara deru ombak di pantai.

Penyebab trauma

Rasa trauma merupakan beban psikologis masyarakat Aceh. Trauma disebabkan oleh tekanan lingkungan yang meluluhlantakkan kota Serambi Mekkah. Kematian seseorang yang dicintai (death of a loved one) membuat kekecewaan bertambah. Mereka mengalami penderitaan yang sama menyakitkan dengan kondisi luka fisik. Hati masyarakat Aceh terluka. Rasa trauma mengakibatkan ketidakberdayaan. Orang yang tidak berdaya mengalami stress dan shock berat. Ketidakberdayaan mengarahkan pada sikap apatis, putus asa dan ingin bunuh diri. Ketidakberdayaan menuntunnya pada kondisi labil, dan penuh ragu serta berpikir negative. Orang Aceh yang merasa tidak mampu mengatasi masalahnya mengarahkan orang menjadi gagal, dan marah serta cemas.

Mereka memerlukan perawatan psikologis untuk menyembuhkan. Sakit fisik dan jiwa sama pentingnya dirawat. Penelantaran terhadap persoalan jiwa menyebabkan trauma berkepanjangan. Apabila itu terjadi, maka ketidakberdayaan menjadi gaya hidup masyarakat. Selama ini terkesan, bantuan ditekankan hanya maslah fisik sedangkan persoalan psikologis diabaikan. Alih-alih, orang Aceh mendapatkan rasa aman, yang terjadi ketakutan dengan datangnya beribu tentara asing yang tinggal di Aceh. Ada 12 pesawat Hercules, 8 helikopter dan kapal perang yang merapat dan mengepung Aceh. Mengapa tentara asing tidak bisa membantu orang Aceh dari trauma? Ada hambatan bahasa dalam berkomunikasi dengan tentara asing. Kendala mereka tidak mengerti bahasa menjadi penghambat penyembuhan jiwa. Operasi kemanusiaan yang dilakukan tentara asing hanya membantu secara fisik.

Bagaimana mengurangi trauma pasca tsunami? Jalan yang bias ditempuh untuk membantu masyarakat Aceh ialah berkooperasi dengan perbedaan budaya untuk tumbuh kembang. Model bantuan yang dikembangkan memperhatikan realitas multicultural yang dilakukan oleh konselor dengan penuh rasa hormat (respect) terhadap setiap pribadi di tengah usaha mereka untuk keluar dari krisis pascatsunami.

Trauma dan ancaman kesejahteraan hidup akan menempatkan individu di tengah resiko, terutama ketika trauma dan ancaman itu melampaui kemampuan insane untuk mengatasi secara konstruktif dan efektif. Individu akan makin rentan dengan mengidap resiko tinggi jika diterpa trauma dan ancaman yang berkepanjangan. Misalnya kaum miskin, para pengaggur, anak-anak yatim piatu, kehilangan anggota keluarga, cacat, yang menjadi korban DOM. Konselor perlu mengembangkan strategi intervensi yang tepat untuk meringankan dampak negative trauma dan ancaman yang dialami masing-masing klien.

Faktor yang terangkum dalam model bantuan yang bisa dikembangkan yaitu 1. identitas religius/spiritual. Hal ini mencerminkan kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada relaitas kehidupan. Agama berperan mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup, baik kasus operasi militer (DOM), Badai tsunami dan kekerasan. Pembimbing perlu waktu memadai untuk menaksir sejauh mana dampak identitas spiritual terhadap kondisi psikologi. Dalam penghayatan keislaman, perlu mengembangkan kesadaran bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan (innalillahi wa inna ilaihi rajiun). Konsep ini akan memberikan penerimaan tulus atas musibah meninggalnya ribuan orang Aceh. Terapis perlu mengkaji dampak positif atau negative dari penghayatan agama. Makna yang diresapi seperti kepasrahan total kepada Tuhan akan lebih memudahkan individu membantu dirinya sendiri (self help). Teori cognitive behavioral menjelaskan bahwa otonomi individu mampu berkembang sendiri. Setiap insane mampu meringankan beban traumatisnya.

Kedua identitas etnik/rasial penting diperhatikan. Perbedaan psikologis bisa terjadi ditengah insan yang memegang budaya secara kokoh. Pengalaman hidup dengan budaya tertentu mempengaruhi perkembangan psikologis mereka. Mereka beradaptasi dan mempengaruhi bias dalam memandang kehidupannya. Perbedaan bahasa bahkan dialekpun dapat menyumberi aneka pandangan bias dan pandangan streotipik yang berdampak buruk terhadap penentuan strategi intervensi.

Untuk mengatasi gangguan trauma pasca gempa tsunami perlu kearifan mengerti latar belakang individu dan factor social budaya yang berkembang di Aceh. Meluaskan kesadaran tentang focus pelayanan tidak semata terbatas pada individu, melainkan pula mencakup kondisi kolektif, adat istiadat, dan kebijakan yang berkembang. Akhirnya proses bantuan yang diberikan tidak terlepas dari pergulatan hidup masyarakat mengatasi masalah bencana tsunami.


(link: Harian Umum Pelita)

No comments: