Sunday, January 30, 2005

Gender di Era Global

Isu gender di era global adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

Mengapa terjadi "perbedaan" gender? Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing. Lalu apa itu gender? Gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Kalau dilihat dalam kamus, tidak dibedakan secara jelas kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata-kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian sex merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki-laki memiliki penis, jakala atau kalamenjing dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan dan memprduksi sel telur, memliki vagina dan alat menyusui. Alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan pada manusia laki-laki dan perempuan karena bersifat tetap yang disebut sebagai kodrat atau ketentuan Tuhan. (Mansur Faqih, 2001).

Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada. Pertama, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi. Gelombang perdagangan bebas dikendalikan oleh pemilik modal dengan serakah. Marginalisai dan penindasan bagi kaum mustadh’afin menjadi buruh yang dieksploitasi. Penindasan dan pemarginalan terhadap kaum dhuafa’ dan masakin sering dilakukan oleh kelas-kelas dominan. Pun, elit keagamaan menjadi bagian dari proses de-humanisasi. Isu perubahan kerja yang adil harus jadi prioritas bagi elit keagamaan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan. Kesalehan personal terhadap Tuhan tidak akan mampu membendung arus penindasan dan marginalisasi oleh kelas dominasi terhadap kaum mustadh’afin. Sejatinya, kesalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari.. Bersandar pada realitas seperti itu, maka mengahadirkan agama sebagai rahmatalilalamin bagi seluruh umatnya menjadi sebuah keharusan untuk menghadang dan membendung kemungkaran sosial.

Kedua, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Perampasan daya sosial mencakup perampasan akses seperti informasi, pengetahuan, pengembangan keterampilan dan potensi kolektif, serta partisipasi dalam organisasi dan sumber-sumber keuangan. Perampasan daya politik meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, termasuk kemampuan memilih dan menyuarakan aspirasi serta bertindak kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian rezim dan pendukung koersifnya. Kebisuan ini yang harus dibongkar. Perampasan daya psikologis mencakup tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya dalam kancah sosial-politik, sehingga individu itu tidak punya peluang untuk berpikir kritis. Tekanan eksternal itu diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu. Mereka percaya bahwa mereka miskin dan bodoh, tidak bisa apa-apa, selain mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya.

Ketiga, Pembentukan sterotipe atau pelabelan negatif. Setereotipe yang dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan.

Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya, pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Keempat, kekerasan (violence). Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami, ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, atau majikan.

Lima, beban kerja yang pajang dan lebih banyak (burden). Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Keenam, Sosialisasi ideologi nilai peran gender. Yusuf Supiandi membeberkan bagaimana ketidaksetaraan gender itu memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kemiskinan. Misalnya, investasi terhadap SDM, khususnya anak-anak dan perempuan dalam pendidikan dan kesehatan. Perempuan yang berpendidikan dan mempunyai kesehatan yang baik akan mempunyai kesempatan untuk aktif bekerja secara produktif pada sektor-sektor formal serta akan menikmati pendapatan yang baik dibanding dengan perempuan yang tidak punya pendidikan dan sakit-sakitan. Selain itu, perempuan yang punya pendidikan akan memberikan perhatian yang lebih besar pada anak-anaknya yang merupakan investasi bagi masa depan anak-anak.

Bentuk ketidakadilan gender tidak bisa dipisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan secara dialektis. Misalnya marginalisasi ekonomi perempuan menyebabkan kekerasan, yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan dan visi kaum perempuan sendiri. Karenanya, guna memaksimalkan peran perempuan, pemahaman gender mutlak dibutuhkan. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan syarat mutlak untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Oleh sebab itu, tidak benar anggapan yang mengatakan bahwa gerakan kesetaraan dan keadilan gender itu merupakan upaya merusak tatanan masyarakat yang telah baku. Yang benar adalah kesetaraan dan keadilan gender menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Upaya laki-laki dan perempuan melawan sistem yang tidak adil.

Bagaimana usaha yang dilakukan mewujudkan keadilan gender? Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis.

Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.
Wallahu a’lam.

(link: Duta Masyarakat)

Friday, January 28, 2005

Persepsi Wanita

Memperbicangkan dunia wanita menjadi isu yang tak pernah usai dan selalu berakhir dengan “teka teki”. Ketidakmengertian tersebut selalu menarik bagi kita untuk menyelami keindahan makhluk “wanita” dengan segala karakter yang sulit ditebak. Problem yang tengah dihadapi oleh laki-laki ialah kebingungan untuk memahami keinginan wanita. Wanita adalah makhluk yang membuat laki-laki tidak bisa hidup tanpa dirinya, tetapi dalam waktu yang sama tidak bisa hidup bersamanya. Problem untuk menngetahui keinginan wanita tergambar kebingungan mencari jawaban pertanyaan Siapa wanita dan apa yang menjadi inginnya, bagaimana cara memenuhi harapannya, cara membahagiakan wanita. Mengapa kemauannya sulit ditebak, bagaimana menyingkap tabir perilakunya. Rahasia untuk mengungkap apa yang menjadi keinginan hatinya, merupakan perjalanan panjang dalam merambah hutan belantara yang gelap. Pencarian cinta yang bayak menjadi cerita legendaris mewarnai kisah pertarungan hidup dengan percik cinta wanita. Seiring zaman modern, wanita banyak menjadi komoditas untuk diangkat sekaligus dijatuhkan pada saat yang sama. Perbincangan melindungi dan memanfaatkan wanita pada dinamika global mencerminkan internalisasi wanita dalam rajut jaring kapitalisme.

Selalu saja ada bentuk dan model baru yang menindas wanita dengan eksploitasi, diskriminasi atau memoles tradisi dengan bentuk lain. Sebuah pencarian panjang yang meracau dan memusingkan laki-laki dan wanita. Nietszche mengungkapkan persepsi tentang wanita dengan mengutip pendapat gurunya Sartre; “sesungguhnya kaum laki-laki bertugas menghadapi peperangan dan pertempuran, sedangkan kaum wanita harus siap dinikahi oleh kaum agresor laki-laki. Jika melakukan selain itu berarti mereka melakukan kebodohan dan kesesatan”. Wanita adalah teka teki abadi. Nietszche mengungkapkan dalam (terj: Bahasa inggris), Thus Spoke Zarathustra. 1933, hal 57-58.

Wacana agama memposisikan wanita secara beragam. Kalangan agamawan banyak berbeda persepsi menjelaskan kedudukan wanita. Pandangan ulama’ Islam klasik sangat dipengaruhi oleh tradisi, budaya dan sosial dimana ia tinggal. Dalam peradaban Islam tradisi dan budaya memegang pengaruh yang luas dalam membatasi wanita dalam hukum, transaksi muamalah, dan ritual keagamaan hanya berdasarkan jenis kelamin. Pada sejarah Muhammad, beliau mampu mengubah relasi wanita dari kondisi perbudakan menjadi orang yang dimuliakan. Banyak tokoh wanita muncul menjadi agent perubahan yang menguasai jazirah arab, seperti ketokohan Siti Khotijah yang menjadi ikon pembisnis yang sangat berpengaruh luas. Siti Aisyah yang mampu menguasai wacana keislaman dalam bidang hadis shahih. Namun, kemajuan itu akhirnya mengalami kemunduran seiring budaya patriarkhi yang melanggengkan keterpasungan wanita. Di timur tengah wanita masih mengalami diskriminasi peran publik karena tradisi Arab menekankan wanita pada kesejahteraan keluarga. Wanita berperan dalam posisi keluarga sebagai perwujudan rasa cinta dan sifat keibuan. Kedua sifat inilah yang menjadi teka-teki terakhir wanita di tempat tertentu untuk mengenali perannya.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan wanita sering dibedakan perlakuan orang tua kepada mereka. Anak laki-laki mendapat prioritas menguasai dunia, sedangkan wanita sering kali menjalani kehidupan dengan inferioritas (minder). Secara nyata, dalam kelahirannya banyak orang tua yang berkeinginan untuk memiliki anak laki-laki sebagai anak pertama. Bahkan dalam tradisi Islam, ada hadits yang menyebutkan bahwa sunnah mengeluarkan aqiqah bagi anak yang baru lahir dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak wanita.

Pembagian ini berdampak pada tradisi Arab untuk melebihkan peran laki-laki dan menyudutkan wanita. Sejarah anak puteri Umar bin Khattab harus dikubur hidup-hidup karena berjenis kelamin wanita. Namun disisi yang lain, banyak tokoh wanita yangdipuja sebagai ratu yang disembah dan mempunyai pengaruh besar pada kerajaan tertentu. Wanita juga dipersepsikan sebagai tukang sihir yang kejam yang menghipnotis kepentingan laki-laki, sehingga harus ditaklukkan dengan menghilangkan karakternya sebagai makhluk yang “aneh”. Wanita menjadi tawanan sampai batas yang besar.

Realitas biologis dalam konteks eksistensial, ekonomi, psikis, dan sosial. Sejak awal, struktur wanita menjadi sasaran pergulatan psikis yang dalam antara perhatian terhadap dirinya sendiri dan pengabdiannya terhadap kemanusiaan. Sebagian kejenuhan psikis yang akan kita temui pada wanita, biasanya merupakan akibat dari pergulatan laten pada diri wanita antara kedudukannya sebagai “individu” dan bagian dari “jenis” manusia. Sementara laki-laki hampir hidup untuk dirinya sendiri tanpa merasa terbelenggu manusia. Maka, wanita adalah makhluk tawanan bagi kekuatan “penindas” yang menggerogoti dirinya. Dan kekuatan itu adalah manusia seperti terungkap oleh Simone de Beauvoire, Le deuxieme sexe, Gallimard Paris, 1949, 64-69. Bahwa wanita ialah makhluk yang misterius. Dalam pandangan behaviorisme, Wanita berbeda dalam memandang dirinya karena terbentuk oleh lingkungan dan pendidikan dalam menjalani hidup.

Struktur biologis berperan penting memahami perilaku wanita dalam sebagian besar hidupnya, seperti gejala pasivisme, masochisme dan narcisisme “objek cinta”. Kehidupan psikis wanita didasarkan atas keserasian atau keseimbangan antara “cinta diri” dan “upaya menyakiti diri sendiri”. Kehidupan biologis wanita memberikan beban, derita dan pengorbanan yang besar bagi dirinya sendiri. Bahwa wanita menanggung derita dan siap berkorban merupakan hal penting bagi wanita sebagai konsekwensi dari fungsi reproduksinya. Bagi wanita yang mengalami kehamilan dan melahirkan merupakan proses yang mengalami rasa sakit dan gembira setelah melahirkan anak.

Bermesraan dengan diri sendiri (narcisisme) bagi sebagian wanita merupakan bentuk lain dari diri wanita. sebagai objek cinta yang ingin mendapatkan perhatian dari laki-laki dan orang lain. Nietszche memandang bahwa “sesungguhnya semua yang ada pada wanita adalah teka teki. Satu-satunya solusi bagi teka teki itu adalah melahirkan. Bagi wanita, laki-laki hanyalah sarana, sedangkan tujuan utama adalah anak. Laki-laki diciptakan untuk berperang dan bertarung, sedangkan wanita diciptakan untuk cinta dan anak. Oleh karena itu, kebahagiaan laki-laki adalah pernyataan : aku ingin, sementara kebahagiaan wanita adalah pernyataan ; dia Ingin . jika memahami persepsi tersebut tentang wanita adalah prinsip menguasai hidup wanita dengan menghilangkan kepercayaan diri wanita untuk produktif diberbagai bidang. Problem wanita adalah perasaan bingung antara kemerdekaan seperti yang ia peroleh dimasa kanak-kanak dan “ketundukan” yang menjadi keharusan sebagai wanita. Hal itulah menyebabkan sebagian wanita menarik diri dari masyarakat, dan tidak lagi hidup dengan eksistensi khusus sebagai ego untuk bekerjasama dengan orang lain. Bahkan wanita bersikap sebagai orang lain (l’autre) yang menawarkan diri, mejeng, dan bersandiwara dihadapan laki-laki, sehingga menarik perhatian mereka yang akhirnya menjadi objek.

Menafsirkan wanita tidak cukup hanya dengan menganalisa organ tubuhnya atau menafsirkan hubungannya dengan berbagai fungsi tubuh atau berpendapat bahwa wanita selalu mengabdi bagi kemanusiaan, tanpa menganggap struktur biologis dari fisik wanita sebagai “nasib’ kaku seakan-akan alam sendiri yang mampu menafsirkan semua perilaku wanita. Pandangan para wanita tentang dirinya seperti yang diungkapkan Kartini bahwa untuk mengenal wanita, langkah pertama harus bisa menghargai perasaannya. Wanita sebagai manusia mempunyai nilai-nilai yang bergerak kearah universal yaitu; ketulusan, keselamatan, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan dan kebenaran. Prinsip kejujuran dalam berkomunikasi terbuka untuk memahami wanita merupakan syarat mutlak bagi keharmonisan hubungan. Rasa menghrgai sesama adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Pemberian rasa untuk menolong, membantu dan toleransi adalah wujud rasa penghargaan yang mulia.

Menghargai wanita sebagai makhluk yang berpikir dan memiliki perasaan akan mendorong mewujudkan perilaku santun kepada wanita. Penghargaan tersebut akan berimplikasi pada terbukanya teka-teki secara perlahan dengan saling mengenal secara intensif. Untuk mencapai kebahagiaan bukanlah anugrah yang datang secara tiba-tiba, tetapiia merupakan hasil pengalaman panjang dan usaha terus menerus. Mengerti wanita tidak bisa langsung melakukan persepsi dari “kacamata” laki-laki. Janganlah kamu sekalian mengikuti persepsi atau prasangka kamu sekalian, karena kebanyakan prasangka adalah jelek dan tidak benar. Menilai wanita jangan hanya dari cover “sampul” saja, namun lebih dimengerti dari riwayat kehidupan yang telah berjalan membentuk kebiasaan wanita..

Riwayat kehidupan seseorang wanita akan mampu mengenali segala inginnya mencapai kemurnian yang lengkap. Membaca riwayat kehidupan wanita dimulai dari bagaimana menjalani masa kanak-kanak, masa pubertas dan rumah tangga. Perjalanan tersebut menceritakan data akurat yang meliputi relasi wanita dalam keluarga, prestasi, kegagalan dan harapannya. Latar belakang keluarga dan tradisi akan membantu mengenali kebiasaan wanita ditempat dan seting tertentu. Pada komunitas wanita dewasa adalah komunitas yang lemah dan masyarakat menganggap lebih rendah dari komunitas laki-laki. Perilaku moral wanita ditentukan oleh lingkungan dan pendidikan. Dengan memahami perjalanan hidup dan pengalaman wanita akan lebih mudah untuk mengenal dan mengerti.

(link: Duta Masyarakat)

Tuesday, January 11, 2005

Penanganan Trauma Pasca Tsunami

Trauma studies mengkaji sebab-sebab trauma bukan semata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul kibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa terjadi yang menggoncang eksistensi kejiwaan. Sigmund Frued memperjelas bahwa trauma ialah suatu ingatan yang merepresi.

Rasa trauma pasca tsunami menimbulkan ketakutan yang berasal dari ingatan kolektif yang menggoncangkan jiwa. Trauma adalah keterkejutan yang menakutkan bagi seseorang. Trauma menimbulkan ketakutan dan ketidakberdayaan. Ketakutan karena
badai terus menghantui, sementara keadaan diri tidak berdaya. Trauma juga diartikan ketidakcocokan antara tuntutan dengan harapan. Tuntutan untuk mendapat rasa aman dari badai, melindungi sanak keluarganya, tetapi kenyataan yang terjadi perasaannya tidak berdaya, penuh cemas karena keributan badai yang dasyat.

Terdapat beberapa tanda seseorang mengalami trauma, yaitu pada empat kategori perasaan (feeling), pikiran (thoughts), perilaku (behaviour), fisik (physiology). Perasaan traumatis ditandai dengan cemas (anxious), takut (scared), cepat marah (irritable), murung (moody). Sedangkan pikirannya menyebabkan harga diri (self esteem) rendah, takut gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah kecewa, takut denga bayangan masa depan, dan lalai. Perilaku yang mengiringi ialah gagap, sulit bicara, menangis berlebihan, menuruti kata hati. Perlakunya menyebabkan ketidakberdayaan yang ditandai dengan mudah terkejut/kaget berlebihan, menutup mata, diam, sakit kepala, mencret, gemetaran dan melumpuhkan. Pada tingkat proyeksi ada beban psikologis takut terhadap air yang berkekuatan besar, seperti suara deru ombak di pantai.

Penyebab trauma

Rasa trauma merupakan beban psikologis masyarakat Aceh. Trauma disebabkan oleh tekanan lingkungan yang meluluhlantakkan kota Serambi Mekkah. Kematian seseorang yang dicintai (death of a loved one) membuat kekecewaan bertambah. Mereka mengalami penderitaan yang sama menyakitkan dengan kondisi luka fisik. Hati masyarakat Aceh terluka. Rasa trauma mengakibatkan ketidakberdayaan. Orang yang tidak berdaya mengalami stress dan shock berat. Ketidakberdayaan mengarahkan pada sikap apatis, putus asa dan ingin bunuh diri. Ketidakberdayaan menuntunnya pada kondisi labil, dan penuh ragu serta berpikir negative. Orang Aceh yang merasa tidak mampu mengatasi masalahnya mengarahkan orang menjadi gagal, dan marah serta cemas.

Mereka memerlukan perawatan psikologis untuk menyembuhkan. Sakit fisik dan jiwa sama pentingnya dirawat. Penelantaran terhadap persoalan jiwa menyebabkan trauma berkepanjangan. Apabila itu terjadi, maka ketidakberdayaan menjadi gaya hidup masyarakat. Selama ini terkesan, bantuan ditekankan hanya maslah fisik sedangkan persoalan psikologis diabaikan. Alih-alih, orang Aceh mendapatkan rasa aman, yang terjadi ketakutan dengan datangnya beribu tentara asing yang tinggal di Aceh. Ada 12 pesawat Hercules, 8 helikopter dan kapal perang yang merapat dan mengepung Aceh. Mengapa tentara asing tidak bisa membantu orang Aceh dari trauma? Ada hambatan bahasa dalam berkomunikasi dengan tentara asing. Kendala mereka tidak mengerti bahasa menjadi penghambat penyembuhan jiwa. Operasi kemanusiaan yang dilakukan tentara asing hanya membantu secara fisik.

Bagaimana mengurangi trauma pasca tsunami? Jalan yang bias ditempuh untuk membantu masyarakat Aceh ialah berkooperasi dengan perbedaan budaya untuk tumbuh kembang. Model bantuan yang dikembangkan memperhatikan realitas multicultural yang dilakukan oleh konselor dengan penuh rasa hormat (respect) terhadap setiap pribadi di tengah usaha mereka untuk keluar dari krisis pascatsunami.

Trauma dan ancaman kesejahteraan hidup akan menempatkan individu di tengah resiko, terutama ketika trauma dan ancaman itu melampaui kemampuan insane untuk mengatasi secara konstruktif dan efektif. Individu akan makin rentan dengan mengidap resiko tinggi jika diterpa trauma dan ancaman yang berkepanjangan. Misalnya kaum miskin, para pengaggur, anak-anak yatim piatu, kehilangan anggota keluarga, cacat, yang menjadi korban DOM. Konselor perlu mengembangkan strategi intervensi yang tepat untuk meringankan dampak negative trauma dan ancaman yang dialami masing-masing klien.

Faktor yang terangkum dalam model bantuan yang bisa dikembangkan yaitu 1. identitas religius/spiritual. Hal ini mencerminkan kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada relaitas kehidupan. Agama berperan mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup, baik kasus operasi militer (DOM), Badai tsunami dan kekerasan. Pembimbing perlu waktu memadai untuk menaksir sejauh mana dampak identitas spiritual terhadap kondisi psikologi. Dalam penghayatan keislaman, perlu mengembangkan kesadaran bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan (innalillahi wa inna ilaihi rajiun). Konsep ini akan memberikan penerimaan tulus atas musibah meninggalnya ribuan orang Aceh. Terapis perlu mengkaji dampak positif atau negative dari penghayatan agama. Makna yang diresapi seperti kepasrahan total kepada Tuhan akan lebih memudahkan individu membantu dirinya sendiri (self help). Teori cognitive behavioral menjelaskan bahwa otonomi individu mampu berkembang sendiri. Setiap insane mampu meringankan beban traumatisnya.

Kedua identitas etnik/rasial penting diperhatikan. Perbedaan psikologis bisa terjadi ditengah insan yang memegang budaya secara kokoh. Pengalaman hidup dengan budaya tertentu mempengaruhi perkembangan psikologis mereka. Mereka beradaptasi dan mempengaruhi bias dalam memandang kehidupannya. Perbedaan bahasa bahkan dialekpun dapat menyumberi aneka pandangan bias dan pandangan streotipik yang berdampak buruk terhadap penentuan strategi intervensi.

Untuk mengatasi gangguan trauma pasca gempa tsunami perlu kearifan mengerti latar belakang individu dan factor social budaya yang berkembang di Aceh. Meluaskan kesadaran tentang focus pelayanan tidak semata terbatas pada individu, melainkan pula mencakup kondisi kolektif, adat istiadat, dan kebijakan yang berkembang. Akhirnya proses bantuan yang diberikan tidak terlepas dari pergulatan hidup masyarakat mengatasi masalah bencana tsunami.


(link: Harian Umum Pelita)

Friday, January 07, 2005

Talk Show: Adopsi Anak Aceh

Talk show, Jum’at pagi, 7 januari 2005, jam 08.00-10.00 WIB, di Radio Bromo, 8.55 Bromo FM/AM.

***

Najlah : Sekarang kita membahas tentang isu yang berkembang tentang adopsi anak pasca tsunami di Aceh.

Ivan : Persoalan anak itu terkait dengan ibu. Dan itu mesti cewek, apa ada ibu cowok…?

Najlah : Ada, bagi orang tua tunggal.

Najlah : Isu yang berembang pasca Aceh.

Guruh : Yang saya tanyakan, mengadopsi anak itu yaitu meringankan beban orang lain, bagaimana hukumnya pemerintah itu disetujui apa tidak, saya dengar, pemerintah tidak menyetujui, apakah itu betul?

Najlah : Isu yang terkuak, setelah pasca tsunami yang menyisakan orang dalam pengungsian, terutama adopsi anak, pembakaran mayat yang belum bias dikubur secara missal, isu kesehatan dan sanitasi di Aceh. Ada 8000 orang yang kekurangan bantuan makanan dan air bersih. Sulit memberikan pasokan air bersih. Namun isu paling aktual, sekelompok orang/organisasi yang membawa keluar anak-anak Aceh dari daerahnya sehingga rentan terjadi penjualan, yaitu terjadinya trafficking sehingga pemerintah mendesak agar melarang adopsi anak.

Karina : Dari Wonoasih, saya sedih banget dan ngeri melihat bencana. Adopsi ini saya tidak setuju, karena anak-anak masih mencari dan orang tua masih mencari, saya sarankan untuk membuat yayasan penampuangan. Saya tidak setuju adanya adopsi.

Ivan : ada sebagian dari teman pendengar bertanya, apa itu adopsi?

Najlah : Adopsi itu pengangkatan anak, ada prosedur yang harus dita’ati oleh orang-orang. Saya sepakat dengan ibu Karina yang tidak setuju dengan adopsi, karena masih kondisi bingung, ada efek psikis, dan adat istiadat di Aceh yang kuat, bahwa anak adalah mutlak keturunan dari orang tua. Persoalannya, anak yang ditinggal mati mencapai ribuan orang, hal ini menyebabkan, selama 12 hari pasca tsunami, banyak anak diorganisir mengangkut mereka dari Aceh dengan alasan pengobatan, apabila sudah dipindah ke tempat lain sampai ke Malaysia. Ada tangan-tangan asing.
Saya masih ingat tragedi di Maluku, ketika ada gelombang pertempuran agama Islam dan Kristen. Banyak anak yang di rawat oleh penampungan yang tidak sesuai dengan agamanya. Sekarang, ada issue beredar, ada 100 anak Aceh yang telah dikelola oleh panti yang berbeda agama. Maka pemerintah mendesak agar menghentikan program adopsi karena orang tua masih mencari dan anak tidak tahu. Saya sepakat dengan mas Guruh, tentang pro kontra ini . Ada orang yang berkeinginan mengangkat anak, tetapi pemerintah harus secara tegas untuk melarang. Persoalan semacam ini harus ada kearifan agar turut menjaga, jangan sampai anak-anak kita menjadi trafficking. Bahkan di Malaysia, sudah ada tawar menawar persoalan harga.

Ivan : Isu adopsi anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya,

Boim : Menurut saya, untuk adopsi anak, telah dibahas di Jawa Pos kemaren, bahwa anak-anak yang ditinggal oleh mati, boleh di adopsi hanya oleh orang Aceh tersendiri, seperti dibilang, takutnya ada orang tuanya masih hidup, sedang kalau kita melihat peraturan undang-undang bahwa anak terlantar dipelihara oleh Negara. Sekarang persoalan maraknya calo perdagangan anak. Kok sampai ada calo anak, pemerintah harus lebih jeli dalam hal ini, mengapa lebih cepat calonya dari pada pemerintahnya, sehingga jadi problem. Di Probolinggo itu anak-anak ngamen itu dibiarin, apakah pemerintah sudah siap menampung anak-anak yang terlantar?

Najlah : Ada budaya di Aceh, harus diperhitungkan ikatan keluarga itu diambil oleh orang asing. Adopsi itu disarankan kepada warga Aceh lebih bernilai, karena bisa hidup bersama antara satu yang lain. Apakah pemerintah anak sudah siap dengan penampungan anak. Menurut saya, PBB sudah memberikan 9,3 trilun kepada Indonesia untuk merehabilitasi untuk membangun kembali, simpati dunia akan lebih percaya bahwa Aceh itu tidak ada harapan. Lebih cepat calonya daripada pemerintah. Memang semuanya diorganisir oleh jaringan sangat rapi dan cepat. Setiap hari kita menyaksikan para TKW, salah satunya organisasi yang bermasalah di Indonesia . yang menjadi ikon untuk menghentikan perdagangan di Indonesia sudah mendunia. Bahwa kita lemah dalam bidang jaringan. Pengiriman melalui kapal laut, pemerintah sudah tidak mengenali apakah itu manusia dengan barang. Karena sudah tidak bisa menerima suap menyuap dan upeti. Tidak ada hanya penghentikan kepada trafficking, atau hal-hal yang membuat pemerintah tidak berdaya. Untuk calo, bahwa moral kita sedemikian rendah karena menjual saudara sendiri dengan rupiah. Kalau kita ke tempat-tempat pembuatan paspor, di bandara, orang mudah menipu dan menjerumuskan orang untuk keuntungannya sendiri

Isu adopsi anak pasca badai tsunami, mereka sudah jelas ditinggal mati. Yang harus dilakukan pemerintah. Yang bisa dilakukan anak asuh memberikan dana-dana social, tetapi tidak membawa anak, tetapi menyalurkan. Pemerintah menurut saya melakukan beberapa hal, harus merehabilitasi kesehatan disana, berkaitan dengan anak pemerintah harus bias merawat anak dengan benar. Kalau mereka mengambil. Dengan anak-anak yang ada di Probolinggo, harus clear dulu, karena mereka datang dari berbagai daerah. Ada organisasi pengemis. Jangan anaknya yang dihukum, tetapi siapa dibalik mereka. Yang memperkerjakan. Tetapi di Aceh sangat berbeda. Dan saya kira Menteri Sosial, sudah menegaskan pemerintah mengeluarkan aturan baru, bahwa anak-anak yang selamat yang tidak diketahui oleh orang tua harus dilakukan kesepakatan oleh anak-anak dan perempuan.

Boim : Saya kurang sependapat, bahwa pengemis dan anak terlantar, bukan anaknya yang ditangkap, tetapi pengelolanya. Saya rasa pemerintah kurang tegas menjalankan aturan main, seharusnya yang ditangkap itu anaknya dulu, bukan pengurusnya, karena setahu saya, apa yang menjadi penyakit dalam hal ini, kalau tidak penyakitnya yang diberantas, mereka akan takut, baru setelah itu kayaknya pemerintah menangkap, Setelah mereka ditangkap, diapain?

Boim : Budaya Indonesia, belum cukup umur sudah dinikahkan, menurut saya itu, intinya solusinya pemerintah lebih serius menangani hal itu. Pembinaan penegasan yang lebih terarah itu lebih penting, dan solusinya memang bukan cowoknya ditegasin, ceweknya juga ditegasin.

Najlah : Saya akan menanggapi Boim, saya setuju dengan statement bahwa “pemerintah kurang tegas menangani persoalan anak”, dan bagaimana upaya ini mendesakkan kepada pemerintah seharusnya pemeliharaan anak terlantar menjadi fokus pemerintah kita, karena pemerintah enggak perduli, berarti kita seperti bunuh diri pelan-pelan karena generasi mendatang di pundak anak-anak yang lemah. Kalau kita menangkap anak-anak terlantar yang ada di jalanan, maka yang perlu diperhatikan adalah: Seberapa lama mereka akan ditangkap?, apa yang akan kita lakukan kepada mereka?, apakah itu tidak melanggar hak asasi manusia? Apakah itu efektif untuk menyeret orang yang mengorganisir anak-anak kepada pengadilan?. Kita tangkap anak-anak ke polisi, nggak mungkin mereka ngambil ke pesantren, saya kira harus dicoba, mungkin perlu mempertimbangkan ide-ide tanpa melakukan kekerasan kepada anak.

Difa : Solusi yang mbak sampaikan tadi, rasanya menarik, menurut Difa, kebijaksanaan pemerintah itu udah cocok, untuk sementara jangan keluar dari Aceh karena belum tentu kehilangan keluarga. Sebab tempat pengungsian mereka berbeda-beda. Ada orang sampai nyasar ke Malaysia. Anak-anak yang terlantar dikasih tempat penampungan, karena sesudah suasana stabil, mereka bisa mencari anak-anaknya ditempat itu di musibah tsunami. Kalau orang tua meninggal, tunggu dulu sampai stabil. Kita tidak bisa mendahului kehendak Tuhan. Ada anak-anak yang di bawa ke Medan, kalau orang tua masih hidup, mereka akan kehilangan. Untuk sementara kita jangan berpikir adopsi anak Aceh, tetapi memikirkan kebutuhan mereka agar terpenuhi. Apabila sudah terkendali, baru dipikirkan langkah selanjutnya. Bencana tsunami bukan lagi perhatian Indonesia tetapi sudah international. Pemerintah harus lebih jeli untuk menangani. Jika kita sudah tercela, tetapi alangkah baiknya kalau kita perbaiki. Saya senang dengan program pemerintah yang seperti itu.

Ivan : Kira-kira 50 ribu anak yang diurus oleh pemerintah

Najlah : Semua pihak membantu, sepertinya lebih baik mengangkat penyelewengan. Jangan sampai hal itu diselewengkan. Seperti langkah bupati di Aceh telah mencopot camatnya karena terlalu lama memberikan bantuan. Di TV dan di Koran begitu cepat, tetapi di Aceh menumpuk. Jadi pencopotan camat jadi contoh. Saya nggak habis pikir tentang pemerintah, Negara yang punya aparat banyak, tatapi kok untuk mengubur jenazah aja tidak mampu. Saya menghargai mereka yang memberikan air bersih dengan haelikopter. Mereka begitu perduli. Sedangkan kita melihat pemerintah kita lemah dan tidak pengalaman. Saya sepakat kalau ini menjadi isu. Seperti ungkapan Koffi Annan, saya harus melihat jerni, bias saja mereka tidak tulus. Tanah Rencong makmur. Dan sangat manusiawi kalau mereka melihat potensi alam untuk dikuasai negara asing. Saya belum jelas, misalnya pemerintah 50.000 anak di Aceh. Ketika fakta berbicara, banyak anak-anak sudah terkena wabah, dan bayi banyak meninggal karena paru-paru. Kalau kita tidakcepat menangani itu, jangan-jangan penampungan ini jadi boomerang. Bagaimana penampungan itu bias stabil, okelah pemerintah sebagai pelaksana, perlu bersatu dan bahu membahu. Kalau tidak layak, bagaimana penanganannya. NU sudah siap menampung 5.000 anak di aceh. Muhammadiyah yang paling banyak sarana pendidikan dan rumah sakit, bisa dimanfaatkan oleh pemerintah.

Ivan : Ada pro dan kontra , sedangkan ada beberapa pihak menampung mereka, ada ibu-ibu yang ingin adopsi untuk anak-anak.

Najlah : Ada prokontra, dan harus kita timbang bagaimana kebaikan dan keburukankan. Imbauan pemerintah itu bisa dibuktikan. Tetapi manakala ada pembiaran anak sama halnya dengan penelantaran. Harus dibicarakan kepada masyarakat kalau pemerintah tidak mampu. Para ibu-ibu yang punya keingan adopsi, mungkin harus bersabar dan bias menjadi orang tua asuh.

Boim : Saya sedikit melenceng dari anak, yang wajib dipertimbangkan aku, pengungsinya sekian ribu ke pulau Jawa, 500 ribu itu mau diapain, campur anak-anak, ibu-ibu. Kalau sudah di Jawa mau diapain. Kalau seandainya 500 ribu itu udah masuk dengan ditinggal keluarganya dari sisi ekonomis, mau minta dengan siapa. Harus dipikirkan. Yang menjadi permasalahan itu besar banget. Kita kembali pada masa anak-anak. Kita takut dengan peringatan orang tua. Pengaruh kepada anak-anak lebih mudah. Tetapi kalau orang dewasa, akan berpikir, kenapa aku gak boleh begini, dicoba. Lagi, tapi kalao udah dewasa terpaksa kok. Dampak mengungsi itu lebih kompleks

Ivan : Bisa enggak itu direhabilitasi? Isu pengungsian akan ada gejolak, ditambah dengan keadaan

Boim : Padahal Januari itu datang juga ke Jawa, sehancur apa sich Sumatra utara, kalau Sumatra itu sedemikian besar, kita bayangin terkena musibah, lalu mengungsi ke Jawa. Apakah Sumatra itu hancur semua. Apa arahnya?
Bantuan itu mengalir hanya mengalir satu dua bulan. Bantuan itu nyalur apa gak. Bantuan yang tiba disana itu hanya Trans TV. Justru hanya . Kita Bantu bukan masalah uangnya. Akhirnya ke materi. Sampai tidak, sampainya kesana itu sudah benar tah. Indonesia itu sudah bikin haelikopter. Kemaren sukarelawannya 6.600. masak bantuan segitu besar, justru dari luar negeri yang masuk. Terus ada factor x yang perlu dipertanyakan. Melihat di timor-timur. Jangan gampang-gampang menerima bantuan luar negeri. Aku siap diminta dukungan kapanpun. Senang juga untuk masalah kemanusiaan.

Najlah : Kegelisahan bersama, kenapa ke pulau jawa pengungsi itu pergi. Kenapa tidak ke pulau yang lebi luas. Kita sangat sentralistik. Karena perputaran uang beradar, 80 % beredar di jawa. Sehingga, jangka panjang ada desentralisasi ang bagus. Tidak hanya membuat kaya kepala daerah, tetapi masarakat.

Masa anak-anak adalah cermin oleh orang tua. Persoalannya pada orang dewasa yang dihadapkan pada kemiskinan dan kekurangan sehingga mudah mengabaikan akal sehat. Terjadi pada orang muda yang tidak punya kekerasan. Kita begitu tidak aman dengan keadaan ini membuat gelisah. Akan banyak terjadi kejahatan yang cepat dan mengabaikan etika moral. Bagaimana budaya Indonesia sebenarnya / itu harus dihadapi, kenyataan Negara miskin lebih banyak kejahatan. Bukan mereka tidak beragama, tetapi karena kemiskinan mereka.

Persoalan korupsi bantuan, saya kira wajar, kita ini Negara koruptor. Kita kehilangan kepercayaan publik kepada pemerintah. Sehingga terus menerus perlu meyakinkan.

Travy : Kenapa banyak mereka pindah ke Jawa, memang sentral banget, paling subur. Tetapi harus mikir, tempat tinggalnya nanti dimana. Tambah lagi tugas pemerintah, mikirin tempat tinggal. Bolehlah mereka tinggal di Jawa. Mereka tinggal di Kalimantan lebih luas, masih banyak lahan kosong yang bias diolah. Sehingga banyak criminal kita akan bertambah. Aku punya pendapat bahwa hokum itu sangat lemah, paling tidak hukumannya hanya 1-5 tahun. Sedangkan di Malaysia dan amerika sangat tegas, takut dihukum mati. Misalnya memperkosa paling lama hanya lima tahun, jadi sering terjadi. Bantuan yang tidak sampai. Kita berusah menyalurkan, bahwa kita terus. Kita sudah bias buat helicopter, tetapi kan diharus. Adobsi, mereka dapat kehidupan yang layak, jangan dulu lah, kita bias bikin yayasan. Udah banyak jual beli anak, kasihan sekali pemerintah.Saya tidak setuju menyalahkan pemerintah, mereka sudah berusaha melakukan, kita terlalu banyak tuntutan. Padahal rakat sendiri yang milih, gak usah saling menuding. SBY sekarang ada peningkatan, jangan hanya membuat down. Aduh rakyatnya gak percaya.

Najlah : Permasalahan Aceh dan korban bukan hanya dirasakan oleh anak dan wanita. Dalam isu gender tidak perduli anak dan perempuan, pemberdayaan kemanusiaan itu harus dilakukan secepatnya karena kita bertarus dengan penderitaan kemanusiaan. Yang terpenting ialah merehabilitasi manusia secara fisik dan mental. Pembangunan pada jiwa agama dan psikis secara sehat. Pembangunan sara akses jalan, rumah sakit akan memberikan cahaya kepa serambi aceh. Kita sayang sama pemerintah kita, makanya kita mengkritik. Maka kalau kita mengkritik, dalam rangka cinta kepada pemerintah, buakan memusuhi. Kalau kita mau berbicara terbuka dari sisi kelemahan kita, maka akan mendapatkan cara mengatasi kelemahan itu bersama. Semoga di lorong yang gelap ada sinar kembali. Aceh itu adalah persoalan bersama.