Friday, October 22, 2004

Puasa “Ibadah Privat” untuk Bertanggung Jawab

Ibadah puasa identik dengan pengolahan pribadi yang bersifat privat. Puasa melahirkan komitmen yang kuat untuk bertahan dari segala godaan hawa nafsu mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa mengingatkan pada problem pemberantasan korupsi yang melanda krisis Indonesia. Cita-cita bangsa Indonesia untuk keluar dari piranti dan akar korupsi menuju pembangunan yang bersih nan suci. Pada era modernisasi tersebut berisikan suatu keinginan besar untuk mengembangkan institusi-institusi dan transformasi kultural yang mewujudkan nilai-nilai seperti diutarakan Max Weber: efisiensi, kehematan, kerapian, kerajinan, ketepatan waktu, dan di atas semua itu, ibadah puasa menjadi sumber belajar menuju proses modernisasi, dimana sikap rasional dalam pembuatan keputusan yang terbebas dari tradisi, adat, dan kesetiaan kelompok

Puasa menjelaskan dimensi hubungan pribadi dengan pencipta. Sehingga nilai puasa merupakan pergumulan batin manusia dengan Tuhan. Manusia dilatih untuk jujur pada diri sendiri dan menjalani perintah Tuhan dengan kesungguhan iman dan hati. Orang yang berpuasa memiliki pengalaman yang unik tatkala merefleksikan diri akan nilai apa yang bisa didapatkan dari perjalan ibadahnya. Setiap orang yang berpuasa tidak tampak oleh orang lainkecuali ia sendiri memberitahukan. Nilai ibadah puasa yang secara rahasia itulah menuntut ketulusan dan keikhlasan hati setiap insan. Mereka tidak bisa membohongi diri sendirikarena ada penjagaan dalam dirinya untuk menjalankan komitmen (janji) dengan Tuhan. Puasa yang bersifat privasi inilah mendorong upaya untuk merenungkan dan berdialog dengan diri tentang realitas yang dialaminya. Menilai diri sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah. Puasa mengajarkan ketenangan hati untuk berpikir secara jernik akan tujuan hidup manusia.

Menata pikiran manusia untuk menerima segala petunjuk kebenaran dan informasi kebangkitan hari akhir. Hari dimana manusia harus mempertanggungjawabkan diri kepada Tuhan. Meyakini hari kebangkitan dari wahyu membutuhkan perenungan panjang didalam relung pikiran yang berubah-rubah menuju keteguhan hati. Ibadah puasa diikuti oleh amalan ibadah membaca al-Qur’an, mengerjakan solat tarawih serta berdzikir dengan I’tikaf merupakan media pelajaran penting untuk menemukan kembali apa sesungguhnya hakikat dan pencarian manusia dimuka bumi. Didalam al-Quran (74:38). disebutkan “bahwa setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. “Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafiran itu; Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan)” (30:44). Secara definisi, tanggung jawab (responsibility) menurut American Heritage Dictionary ialah kata benda (1). Keadaan, kualitas atau kenyataan bertanggung jawab. (2). Benda atau orang yang mempertanggungjawabkan, tugas, kewajiban atau beban. Responsible (bertanggung jawab), kata sifat 1. Secara legal atau etis bisa diandalkan atau perawatan atau kesejahteraan orang lain. 2. Melibatkan keadaan bisa diandalkn secara pribadi atau kemampuan untuk bertindak tanpa bimbingan atau wewenang atasan. 3. Menjadi sumber atau penyebab sesuatu. 4. Mampu membuat keputusan moral atau rasional sendiri, dan dengan demikian bisa menanggung akibat perilakunya sendiri. 5. Bisa dipercaya atau diandalkan; bisa jadi tempat bergantung, 6. Berdasarkan atau berciri khas punya penilaian yang baik atau pemikiranyang mantap, 7. Memiliki sarana untuk membayar hutang atau memenuhi kewajiban. 8. Harus menyerahkan tanggung jawab; bisa menanggung akibat. Dengan demikian puasa merupakan pertanggungjawaban manusia yang akan dinilai dari penghargaan terhadap nilai dan esensi puasa melalui sikap, perilaku dan manifestasi ketakwaan setiap orang yang berpuasa.

Ibadah puasa dibulan ramadhan secara penuh mendorong manusia untuk mencari hikmah. Ada banyak peristiwa yang bersifat transendental tentang kemulyaan bulan suci. Misalnya penjelasan tentang malam lailatul qodar sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan yang ada pada salah satu malam pada bulan ramadlan. Pada bulan ini pula Al-Qur’an diturunkan sebagai wahyu yang memberikan nilai religiusitas bagi manusia. Turunnya wahyu dengan berbentuk bahasa tertulis membentuk budaya yang memberikan inspirasi akan hakikat pencarian kebenaran transendental yang harus dimani sepenuh hati serta berpikir logis. Puasa dalam pengertian privat meneguhkan diri untuk menjelaskan upaya sadar manusia untuk rela berkorban dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Wujud atas syukur manusia yang dibuktikan dengan menjalankan seluruh ritual ibadah menghapus segala anggapan yang mendorong manusia untuk bersikap inkar. Kesombongan dan tidak mengakui adanya pencipta dengan hidup bertahtakan kekuatan nalar saja, akan membutakan nurani. Puasa searah dengan kebutuhan spritual manusia untuk menghayati pesan dari ibadah yang berguna untuk menyadarkan diri seraya mengenal kadar ketakwaan manusia. Benarkah selama ini “saya” telah tulus ikhlas berbuat untuk Tuhan, ataukah selama ini berbuat hanya untuk mengejar upah, nama baik atau kesenangan. Ibadah puasa merupakan sarana tes untuk menilai berapa persen ketulusan untuk tidak memamerkan atau berorientasi pada kekuasaan, popularitas dan kebanggaan duniawi.

Berpuasa menjadi cermin diri untuk tidak pongah dalam kekuatan yang kita miliki, sekaligus tidak rendah diri dengan keterbatasan manusia. Puasa menjadikan tonggak untuk orang-orang yang beriman kepada allah untuk memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Ia mengetahui apa yang kau kerjakan. (al-Quran, 14:111).

Saturday, October 16, 2004

Perlunya Fiqh Perempuan

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Surah ar-Ruum ayat 21)

***

Zaman modern dan era globalisasi telah membelenggu hidup manusia dalam materalisme, konsumerisme, militerisme dan sentralisme. Kapitalisme telah mengubah hidup menjadi persaingan yang sangat kompetitif, dan cenderung akan menggilas perempuan yang tidak mampu bertahan dengan perubahan. Naluri perempuan, secara positif, adalah menjadi ibu yang penuh tulus melahirkan generasi masa depan lewat cinta kasihnya. Namun, dampak modernisme dan globalisasi, pada sisi negatif, kelembutan perempuan dipakai sebagai lahan bisnis, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Gerak lemah gemulainya dieksploitisir. Misal saja, iklan kosmetik yang memakai sosok perempuan bertebaran di media seperti kehendak modal. Belum lagi iklan-iklan lainnya, yang terlihat sangat vulgar dan menonjolkan lekuk-lekuk tubuh perempuan. Keadaan ini mengakibatkan pelecehan dan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan kian marak. Penjualan (trafficking) manusia semakin memprihatinkan. Indonesia meraih peringkat ketiga terbesar dalam jumlah kasus trafficking. Sampai-sampai PBB perlu memakai anak Jawa sebagai ikon untuk menghentikan kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Di samping itu, di tengah desakan modernisme dan globalisasi yang mengharuskan manusia berkualitas dan mempunyai produktivitas kerja, perempuan tidak terlepas dari prasangka sosial. Nilai kepantasan dan ketidakpantasan tercermin dari beragam tradisi di masyarakat, menuntut perempuan untuk berani dan bertahan dari keterbatasan yang terkondisikan. Kenyataan lain, kerasnya hidup jalanan mengharuskan perempuan lebih mampu melindungi diri sendiri dari kekerasan. Karenanya, bagi perempuan diperlukan perlindungan aturan di dalam kendaraan umum yang sarat dengan tangan-tangan jahil. Misalnya, kursi di barisan sebelah kiri --mutlak dan harus-- diperuntukkan untuk hanya perempuan. Perempuan rentan dengan kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi. Disinilah perlunya, perlindungan hukum dan pemihakan agama terhadap perempuan (fiqih perempuan), guna menghindarkan perempuan dari ekploitasi yang tidak memperdulikan rasa kasih dan sayang. Namun, menjauhkan perempuan dari akses publik sama sekali, sama saja akan mematikan perannya di ranah publik. Karena itu, mau tidak mau, perempuan harus terlibat langsung dan bergerak searah perubahan waktu guna memperoleh kemajuan bersama --bahkan jika perlu dengan cara yang lebih radikal.

Selama ini, hegemoni budaya dari sudut patriarkhal membatasi perempuan. Kita harus sadar, memperjuangkan kebebasan perempuan untuk mengaktualisasikan diri adalah tidak mudah, tidak sebagaimana halnya laki-laki. Laki-laki mudah saja memperoleh apapun yang mereka inginkan. Suasana hipokrit dan primordial golongan, menutup pintu bagi perempuan untuk memperoleh kesetaraannya. Hanya karena sebagai perempuan, di Saudi Arabia, atas nama agama, seorang perempuan dilarang dan tabu berjalan dengan menyetir sendiri kendaraan. Dengan ketabuan dan olok-olok ini, perempuan yang tengah meradang berkeinginan untuk berubah, lantas, harus terseret aturan dan prasangka sosial yang menilai jelek dan penuh prasangka negatif terhadapnya. Perempuan seringkali menjadi bahan tertawaan; ejekan bagi kaum laki-laki. Perempuan di-“ping-pong” apabila ingin sekedar setara dan memenuhi harapannya. Kadang, perempuan merasa perlu keberanian baja untuk sampai pada kemandirian.

Perempuan sumber kasih sayang. Kelembutannya laksana taburan cahaya bintang yang dimulyakan oleh Allah SWT. Fiqih perempuan dan aturan hukum yang jelas dibutuhkan untuk melindungi peran perempuan dari eksploitasi. Penegasan untuk memberikan perlindungan ini diisyaratkan secara tegas dalam firman Allah SWT (30:21). Pada Ayat tersebut ditegaskan, bahwa perempuan memiliki sifat kepekaan, perasa, dukungan dan perhatian untuk menjalankan fungsi sebagai istri dan ibu. Agar perempuan bisa melakukan fungsi dan memperoleh martabatnya, maka diperlukan perlindungan perempuan dari kekerasan.Bagaimana persisnya? Perlindungan yang dimaksud ialah, menjaga dan memberikan peran kepada perempuan untuk mencapai fungsinya secara maksimal untuk menggapai kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya.

Eksistensi perempuan sebenarnya tercermin dalam surat An-Nisaa’. Surah ini membicarakan perempuan. Bagaimanapun, Allah telah mengingatkan kepada manusia, bahwa perempuan diciptakan dari jenis yang sama dan harus diperlakukan dengan mulya dan terhormat. Apabila dalam kenyataan, perempuan mengalami kekerasan yang biadab akibat peran yang tidak adil, maka sesungguhnya mereka itu telah melakukan perbuatan yang lalim. Islam sangat melindungi laki-laki dan --sekaligus juga-- perempuan. Dalam surah An-Nisaa’ ayat 40 disebutkan “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dengan memberikan dari sisiNYA pahala yang besar”. Maksud ayat tersebut ialah, bahwa Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau ia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah. Ayat tersebut mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.

Perempuan berhak mengetas harapan dan kehendaknya, bebas memilih dan bertanggung jawab, mampu membedakan antara yang baik dan jelek. Sehingga dengan kreativitasnya, perempuan mendapatkan tempat dan memperoleh jalan mewujudkan cita hidupnya dengan maksimal. Pencerahan perempuan dibutuhkan. Pencerahan merupakan kebalikan dari eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pencerahan akan mendorong laki-laki dan perempuan untuk bergerak mengelola zaman ini dengan lebih baik. Pencerahan perempuan yang terpenting pada bentuk tindakan, bukan sekedar ucapan. Bagaimana caranya? Menerapkan cinta kasih, rendah hati, toleransi dan sikap hormat kepada perempuan. Sikap-sikap ini adalah cerminan prinsip Islam.

Maka pencerahan perempuan akan datang dari nalar mandiri yang akan melahirkan kehendak subjektif. Perempuan yang mandiri dan memperoleh kesempatan luas, maka akan melahirkan karya dari lubuk hatinya dalam membawa perbaikan kualitas hidup. Memperoleh kesempatan yang setara bagi perempuan tidak datang dengan sendirinya, melainkan menuntut usaha bersama. Perempuan harus menunjukkan kemampuannya dan berusaha secara gigih memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Menarik diri dan bersikap fatalis dengan menyerah dan menanti kesempatan tanpa berbuat sesuatu adalah sikap yang membawa kemunduran bagi eksistensi diri. Perempuan sendiri harus membuka kerja sama dengan beragam akses jaringan. Karenanya, guna memaksimalkan peran perempuan, fiqih perempuan mutlak dibutuhkan. Wallahu a’lam.

http://www.pesantrenvirtual.com/artikel.php?id=990

Friday, October 01, 2004

Melawan Prostitusi

Dominansi kekuasaan memberikan konstribusi bagi pengebiran dan hegemonisasi kultural bagi pencerahan kehidupan modern. Praktik kapitalisme global menekankan pada modal telah memperkuat aliansi perselingkuhan antara tirani kekuasaan dengan kapitalisme untuk kepentingan pribadi, golongan dan kelompok tertentu. Praktik dominasi menyebabkan kerusakan peradaban yang cenderung terulang berbagai sejarah.

Dalam relasi kekuasaan yang mendominasi, kerapkali membawa kepentingan umum selalu dipinggirkan dengan menekan dan memberikan ketakutan yang menindas kaum lemah. Keterpurukan dan keterbelengguan itu nyata ditengah realitas masyarakat tertindas mempertahankan hak-hak hidupnya. Tesis (Foucault: 1980,131) menyebutkan bahwa kekuasaan menentukan pengetahuan. Ada hubungan antara (knowladge and power) yang berpengaruh membangun relasi dominasi untuk mempertahankan dan memperkokoh praktik patriarkhi demi stabilitas, normalitas, regularitas dan familiaritas.

Persoalan mendasar membangun ideologi patriarkhi bersumber pada pemegang kekuasaan dan pemilik pengetahuan yang tidak netral. Setiap kuasa pengetahuan mempengaruhi wacana yang membangun prspektif kultural dan praktik sosial di masyarakat. Ideologi untuk membenarkan suatu pendapat umum yang telah mapan seringkali sulit didobrak oleh pemikiran radikal yang membentur tembok kokoh. Gagasan kebebasan untuk memberikan peran lebih luas dengan persaingan yang kompetitif selalu berbentur pada kepentingan yang mempunyai modal besar.

Betapa mudah pemikiran itu terbentuk oleh kemapanan yang membangun wacana kestabilan dan mengabaikan kepekaan etika bagi perempuan. Seringkali kehendak penafsir dalam memberikan pendapat atau menentukan aturan (rule) membelenggu kesadaran perempuan. Seperti banyaknya penafsiran tentang poligami dari sudut pandang laki-laki, dikaitkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Perempuan hanya dijadikan subjek dari hasil penafsiran tanpa sedikitpun terlibat dalam produksi tafsir yang kreatif.

Tafsir sendiri menuntut interaksi dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Jika menelaah kitab tafsir klasik banyak pendapat yang bias gender, karena penafsirnya laki-laki, sehingga secara nyata kepentingan laki-laki masuk dalam penafsiran mereka. Untuk memberikan imbangan pada realitas kekinian, maka perempuan perlu mampu mengakses kitab suci dan memberikan interpretasi sesuai dengan kepentingan dan kepekaan yang dimiliki oleh kaum perempuan.

Misalnya, berkenaan dengan masalah reproduksi, perempuan harus berbicara dan berpendapat tentang apa yang dialami oleh tubuhnya ketika menstruasi, hamil dan melahirkan serta menyusui, bagaimana akibat hukum dan implikasi bagi layanan yang layak kepada perempuan. Laki-laki tidak akan bisa memahami secara nyata, karena laki-laki tidak bisa menggantikan atau mengalami peran reproduksi kalangan perempuan.

Fenomena arus globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan perempuan, menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi, poligami yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern. Tafsir harus berbicara kepada persoalan yang menghadang dan senantiasa terus bertambah seiring arus kebebasan globalisasi.

Masalah 'penjualan diri' yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG diluar sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa didiamkan begitu saja. Menyimak kehidupan malam yang dilakukan oleh sebagian remaja yang masih sekolah di menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik dicermati. Betapa pendidikan yang ditempuhnya tidak bisa mengatur diri mereka, hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika, norma, agama dan sosial.

Gejala ini memberikan ilustrasi bahwa pendidikan hanya berhenti pada sebatas mengetahui teori, tanpa mampu memberikan penyadaran yang berguna untuk mengatur diri sendiri (self-organizing). Dunia gemerlap dan prostitusi memang tidak terlihat secara kasat mata, namun menggejala dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan peredaran narkoba dan minuman keras serta perjudian. Fenomena ini akan terus merambah mengancam kehidupan remaja yang lain, apabila tidak dicounter dengan nilai-nilai spritual.

Agama sebaiknya memberikan pemecahan positif terhadap maraknya penyimpangan problem seksual yang menghalangi mereka untuk tumbuh dalam lingkungan yang baik. Karena diam terhadap persoalan berarti akan memberikan respon positif terhadap dinamika tersebut.

Penafsir tidak hanya berhenti pada memberikan pendapat haram (larangan) kepada praktik prostitusi, tetapi memberikan jalan keluar bagi pelaku untuk bisa meninggalkan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Problem prostitusi memang tidak mudah dihapus begitu saja dengan menutup tempat-tempat hiburan. Kenyataannya semakin ditutup, pelaku akan beralih ke jalan-jalan dan mengancam orang baik untuk melakukan transaksi seks.

Selama ini agama begitu rigid membicarakan secara terbuka tentang mengapa perempuan sampai menjadi pelacur, mengapa mereka tidak perduli dengan larangan agama, bagaimana agama melindungi nasib mereka. Refleksi kritis ini akan melandasi penafsir untuk mencari alternatif pemecahan masalah prostitusi.

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23906