Friday, October 01, 2004

Melawan Prostitusi

Dominansi kekuasaan memberikan konstribusi bagi pengebiran dan hegemonisasi kultural bagi pencerahan kehidupan modern. Praktik kapitalisme global menekankan pada modal telah memperkuat aliansi perselingkuhan antara tirani kekuasaan dengan kapitalisme untuk kepentingan pribadi, golongan dan kelompok tertentu. Praktik dominasi menyebabkan kerusakan peradaban yang cenderung terulang berbagai sejarah.

Dalam relasi kekuasaan yang mendominasi, kerapkali membawa kepentingan umum selalu dipinggirkan dengan menekan dan memberikan ketakutan yang menindas kaum lemah. Keterpurukan dan keterbelengguan itu nyata ditengah realitas masyarakat tertindas mempertahankan hak-hak hidupnya. Tesis (Foucault: 1980,131) menyebutkan bahwa kekuasaan menentukan pengetahuan. Ada hubungan antara (knowladge and power) yang berpengaruh membangun relasi dominasi untuk mempertahankan dan memperkokoh praktik patriarkhi demi stabilitas, normalitas, regularitas dan familiaritas.

Persoalan mendasar membangun ideologi patriarkhi bersumber pada pemegang kekuasaan dan pemilik pengetahuan yang tidak netral. Setiap kuasa pengetahuan mempengaruhi wacana yang membangun prspektif kultural dan praktik sosial di masyarakat. Ideologi untuk membenarkan suatu pendapat umum yang telah mapan seringkali sulit didobrak oleh pemikiran radikal yang membentur tembok kokoh. Gagasan kebebasan untuk memberikan peran lebih luas dengan persaingan yang kompetitif selalu berbentur pada kepentingan yang mempunyai modal besar.

Betapa mudah pemikiran itu terbentuk oleh kemapanan yang membangun wacana kestabilan dan mengabaikan kepekaan etika bagi perempuan. Seringkali kehendak penafsir dalam memberikan pendapat atau menentukan aturan (rule) membelenggu kesadaran perempuan. Seperti banyaknya penafsiran tentang poligami dari sudut pandang laki-laki, dikaitkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Perempuan hanya dijadikan subjek dari hasil penafsiran tanpa sedikitpun terlibat dalam produksi tafsir yang kreatif.

Tafsir sendiri menuntut interaksi dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Jika menelaah kitab tafsir klasik banyak pendapat yang bias gender, karena penafsirnya laki-laki, sehingga secara nyata kepentingan laki-laki masuk dalam penafsiran mereka. Untuk memberikan imbangan pada realitas kekinian, maka perempuan perlu mampu mengakses kitab suci dan memberikan interpretasi sesuai dengan kepentingan dan kepekaan yang dimiliki oleh kaum perempuan.

Misalnya, berkenaan dengan masalah reproduksi, perempuan harus berbicara dan berpendapat tentang apa yang dialami oleh tubuhnya ketika menstruasi, hamil dan melahirkan serta menyusui, bagaimana akibat hukum dan implikasi bagi layanan yang layak kepada perempuan. Laki-laki tidak akan bisa memahami secara nyata, karena laki-laki tidak bisa menggantikan atau mengalami peran reproduksi kalangan perempuan.

Fenomena arus globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan perempuan, menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi, poligami yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern. Tafsir harus berbicara kepada persoalan yang menghadang dan senantiasa terus bertambah seiring arus kebebasan globalisasi.

Masalah 'penjualan diri' yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG diluar sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa didiamkan begitu saja. Menyimak kehidupan malam yang dilakukan oleh sebagian remaja yang masih sekolah di menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik dicermati. Betapa pendidikan yang ditempuhnya tidak bisa mengatur diri mereka, hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika, norma, agama dan sosial.

Gejala ini memberikan ilustrasi bahwa pendidikan hanya berhenti pada sebatas mengetahui teori, tanpa mampu memberikan penyadaran yang berguna untuk mengatur diri sendiri (self-organizing). Dunia gemerlap dan prostitusi memang tidak terlihat secara kasat mata, namun menggejala dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan peredaran narkoba dan minuman keras serta perjudian. Fenomena ini akan terus merambah mengancam kehidupan remaja yang lain, apabila tidak dicounter dengan nilai-nilai spritual.

Agama sebaiknya memberikan pemecahan positif terhadap maraknya penyimpangan problem seksual yang menghalangi mereka untuk tumbuh dalam lingkungan yang baik. Karena diam terhadap persoalan berarti akan memberikan respon positif terhadap dinamika tersebut.

Penafsir tidak hanya berhenti pada memberikan pendapat haram (larangan) kepada praktik prostitusi, tetapi memberikan jalan keluar bagi pelaku untuk bisa meninggalkan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Problem prostitusi memang tidak mudah dihapus begitu saja dengan menutup tempat-tempat hiburan. Kenyataannya semakin ditutup, pelaku akan beralih ke jalan-jalan dan mengancam orang baik untuk melakukan transaksi seks.

Selama ini agama begitu rigid membicarakan secara terbuka tentang mengapa perempuan sampai menjadi pelacur, mengapa mereka tidak perduli dengan larangan agama, bagaimana agama melindungi nasib mereka. Refleksi kritis ini akan melandasi penafsir untuk mencari alternatif pemecahan masalah prostitusi.

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23906

No comments: