Wednesday, May 18, 2005

Musuh dalam Selimut; Perkawinan dan Perceraian

Di era globalisasi, setiap orang dituntut untuk bisa hidup dalam arus informasi. Bagaimana caranya beradaptasi dengan kecepatan informasi yang ada? Orang dituntut memiliki kecakapan hidup dalam menghadapi perubahan, ketidakpastian, dan pergeseran norma. Di era informasi orang banyak mengalami masalah, baik di tempat kerja maupun di rumah tangga. Kecakapan emosional sangat krusial. Orang perlu memiliki soft skill (perangkat lunak) berupa kecerdasan emosional dan hard skill (perangkat keras) berupa pengetahuan. Dalam berhubungan dengan orang lain, seseorang membutuhkan soft skill. Alih-alih, orang memiliki kecerdasan emosional, yang terjadi justru meningkatnya perceraian, perselisihan, permusuhan yang berujung pada meningkatnya kekerasan di ranah domestik maupun publik. Bagimana sebaiknya?

***


Musuh dalam Selimut; Perkawinan dan Perceraian

Oleh: Najlah Naqiyah


Di era globalisasi, setiap orang dituntut untuk bisa hidup dalam arus informasi. Bagaimana caranya beradaptasi dengan kecepatan informasi yang ada? Orang dituntut memiliki kecakapan hidup dalam menghadapi perubahan, ketidakpastian, dan pergeseran norma. Di era informasi orang banyak mengalami masalah, baik di tempat kerja maupun di rumah tangga. Kecakapan emosional sangat krusial. Orang perlu memiliki soft skill (perangkat lunak) berupa kecerdasan emosional dan hard skill (perangkat keras) berupa pengetahuan. Dalam berhubungan dengan orang lain, seseorang membutuhkan soft skill. Alih-alih, orang memiliki kecerdasan emosional, yang terjadi justru meningkatnya perceraian, perselisihan, permusuhan yang berujung pada meningkatnya kekerasan di ranah domestik maupun publik.

Dalam ranah domestik, perceraian di masyarakat memprihatinkan. Dari laporan KUA, angka gugatan cerai cukup mencolok. Laporan tersebut, menariknya, menunjukkan bahwa gugatan cerai banyak dilakukan oleh para istri. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi. Sebab lain, perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan dan seterusnya.

Menarik untuk kita cermati, tekanan sosial (social pressures) yang terjadi di masyarakat perkotaan mengalami pergeseran norma. Misalnya saja, tekanan sosial menurun: perceraian tidak dianggap sebagai aib, ekonomi perempuan lebih mandiri, dan lain-lain. Kemandirian ekonomi perempuan ini menyebabkan banyaknya perceraian. Jadi, perceraian semakin meningkat dengan perubahan norma yang tengah berlangsung. Sedangkan di pedesaan, semua urusan dinilai dari “apa kata orang”. Ini merupakan tekanan sosial yang bukan main besarnya. Penilaian orang terhadap perempuan bercerai merupakan sesuatu yang krusial di pedesaan.

Bertebarannya aneka tayangan “sampah” tentang tren perceraian di kalangan artis melalui media televisi, majalah, koran menjadi racun tatanan masyarakat. Meningkatnya jam tayangan seperti ‘cek & ricek’, ‘kasak kusuk’, ‘gossip’ di berbagai stasiun televisi membuat pemirsa dipenuhi dengan tayangan yang tidak mendidik. Tayangan tersebut mencari-cari aib, dan seringkali mengaduk-aduk ruang privasi selebritis yang sesungguhnya menjadi milik pribadi seseorang. Masalah pribadi artis digosipkan dengan beragam isu perceraian, pertengkaran dan perselingkuhan untuk kemudian dibuat sensasi dan blow-up secara besar-besaran. Tayangan yang merusak tatanan budaya masyarakat.

Realitas tingginya angka perceraian juga senada dengan penelitian Goleman tentang terjadinya perceraian di Amerika Serikat. Indikasi tersebut dari angka-angka inteligensi emosional akibat seriusnya masalah perceraian. Penemuannya menunjukkan bahwa dari sepuluh pasang suami-istri hanya tiga pasangan yang dapat bertahan. Mereka juga disebut pasangan hidup karena bertemunya ego “aku” dan “kamu” menjadi satu. Namun, pasangan suami-istri yang mengalami ketidak-harmonisan diibaratkan seperti musuh dalam selimut. Inteligensi emosional berkenaan dengan emosi pasangan suami-istri adalah penting dalam sebuah keluarga. Keluarga dibentuk melalui perpasangan suami istri bukanlah sekedar persahabatan dua insan, melainkan diwarnai oleh cinta kasih secara religius. Agama berfungsi mengendalikan emosi. Gejolak emosi yang berujung pada perceraian adalah akibat dari ketidakmatangan inteligensi emosional baik suami maupun istri. Suami-istri sebagai unit sosial terkecil merupakan potret bagi hubungan sosial yang lebih luas. Pertengakaran antara suami dan istri di dalam keluarga adalah hal biasa. Pertengkaran kadang ada yang baik dan ada yang rusak. Pertengkaran yang baik akan berujung pada solusi pemecahan masalah, sedangkan pertengkaran yang rusak akan berakhir dengan perceraian. Bagaimana membuat pertengkaran berakhir dengan solusi?

Dalam menyelesaikan permasalahan perkawinan, pasangan suami-istri biasanya menggunakan pola mengajak untuk lari, sehingga terkadang tidak mampu mempertemukan keduanya. Pola perilaku ini dipengaruhi oleh pola hidup masa kanak-kanaknya. Jika ditelusuri masa kecil masing-masing terhadap pembentukan kecerdasan emosi, dimulai sejak bayi di ayunan ibunya. Kecerdasan yang ada harus dipelihara sepanjang hidup. Adanya akar pada masa kanak-kanak pada terjadinya perbedaan emosi ini dapat dicek dari kehidupan setiap manusia. Hasil studi memaparkan bahwa anak usia 3 tahun setengah sahabatnya adalah lawan jenis. Anak umur 5 tahun memiliki teman lawan jenis 20 %. Menariknya, anak berumur 7 tahun hampir tidak memiliki lawan jenis. Kenapa? Karena merasa takut diejek memiliki pacar, selain di samping perbedaan biologis. Laki-laki dan perempuan berbeda dalam menyukai permainan. Perempuan lebih suka bekerjasama dalam kelompok dan merasa bangga apabila diterima dalam bagian kelompoknya, dan sering membicarakan tentang emosi. Sedangkan laki-laki bangga dengan sikap kemandirian, mengembangkan sikap kompetisi dan bersaing, serta sering membicarakan masalah beserta pemecahannya. Akibatnya anak perempuan memiliki karakteristik informasi, keterampilan bahasa, pengungkapan perasaan, membaca sinyal emosi, berempati, ekspresi, manajer emosi dalam keluarga, komunikatif, peka, suka mengeluh. Sedangkan laki-laki, rasional, tidak senang diganggu, lebih mudah merasa terjepit pada negativitas, tidak peka terhadap kritik istri, lebih mudah membisu atau defensif. Pendek kata, apabila pasangan suami-istri tidak bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan tersebut, maka seringkali berujung pada keretakan perkawinan.

Gambar-gambar keretakan perkawinan adalah, diantaranya, mengekspresikan keluhan saat emosi, ingkar janji, tidak peka terhadap keluhan, tidak siap menerima kritikan dan membangun dinding pemisah. Hal ini ditandai dengan pikiran-pikiran beracun. Artinya, pikiran suami atau istri ditandai oleh prasangka atau dugaan yang tidak dipikirkan pasanganya. Pikiran semacam ini disebut dengan ‘pikiran otomatis’ (automatic thoughts). Lumpuhnya suatu perkawinan (maksudnya, reaksi negatif yang dilakukan pasangan suami dan istri secara terus menerus) bangkitnya amarah yang tidak terkendali, dan akan menimbulkan konflik. Ini dapat ditandai dengan peningkatan detak jantung pada kisaran 10, 20 – 30 denyut per menit diatas kecepatan jantung normal. Apabila terjadi keretakan yang parah, maka diperlukan bantuan seperti nasihat perkawinan.

Nasihat perkawinan adalah penting dalam keluarga yang mengalami konflik berlarut-larut. Hasil penelitian menemukan adanya pasangan suami-istri yang bertahan lama karena mereka mematuhi nasehat perkawinan yang diberikan. Pertengkaran suami-istri yang berakhir dengan solusi adalah mereka yang saling menghargai pribadi masing-masing. Mereka menyadari diri, dan memperlihatkan kepada pasangannya sikap mau mendengarkan. Tindakan berempati ini merupakan pereda tegangan.

Ada sejumlah keterampilan emosional untuk menyelesaikan pertikaian dan keterampilan mengelola emosi sebagai pengetahuan bagi para suami-istri, calon pengantin, dan remaja dalam membangun hubungan. Kiat-kiat menyelesaikan perselisihan, yaitu :
(1). Menenangkan diri. Ada kemauan belajar dari pihak suami dan istri untuk menenangkan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan diri sendiri.
(2). Dialog batin membersihkan pikiran-pikiran jahat dan beracun. Mereka bersedia menghilangkan pikiran-pikiran negatif tentang pasangan.
(3). Mendengarkan. Ketika kedua pihak dijebak oleh pembajakan emosi, namun keduanya dapat menerapkan keterampilan mendengar dan menanggapi akan berhasil meredam ketegangan. Rasa hormat dan kasih sayang melenyapkan permusuhan dalam perkawinan.
(4). Berlatih. Jika respon emosional dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi otomatis, maka respon emosional mempunyai peluang pertama menjalani sirkuit emosi. Ini membuat peluang perbenturan emosi menjadi berkurang.


Kesimpulan, obat penawar terhadap hancurnya perkawinan adalah perbaikan pendidikan dalam kecerdasan emosional. Sudahkan pendidikan di Indonesia memberikan perhatian besar pada kecerdasan emosional? Belum.
Wallahu a’lam.

Monday, May 02, 2005

Menggagas Dakwah Transformatif

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (LAKSPESDAM-NU) mengadakan workshop kurikulum dakwah transformatif selama 3 hari, dari tanggal 26-28 April di Bogor. Saya hadir sebagai peserta. Saya mengikuti perbincangan anak-anak muda NU yang dimotori Lakspesdam tersebut. Kelompok anak muda ini bersemangat membawa bendera pembaharuan di dalam tubuh NU. Dalam perbincangan itu tersirat kegelisahan. Bagaimana menyikapi beragam arus besar Islam kontemporer seperti model LDNII, LDK, PKS, yang telah merasuki dan merambah jamaah NU?

***


Menggagas Dakwah Transformatif

Oleh: Najlah Naqiyah


Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (LAKSPESDAM-NU) mengadakan workshop kurikulum dakwah transformatif selama 3 hari, dari tanggal 26-28 April di Bogor. Saya hadir sebagai peserta. Saya mengikuti perbincangan anak-anak muda NU yang dimotori Lakspesdam tersebut. Kelompok anak muda ini bersemangat membawa bendera pembaharuan di dalam tubuh NU. Dalam perbincangan itu tersirat kegelisahan. Bagaimana menyikapi beragam arus besar Islam kontemporer seperti model LDNII, LDK, PKS, yang telah merasuki dan merambah jamaah NU? Bagaimana strategi dakwah di pedesaan dan di perkotaan? Bagaimana NU merespon dinamika menguatnya fundamentalisme di satu sisi dan arus liberalisme di sisi lainnya? Mengapa NU tidak memperdulikan jamaahnya yang mengalami diskriminasi, penindasan dan kemiskinan? Setidaknya kegelisahan tentang maraknya dakwah diperkotaan telah menjadi kecemasan bagi kalangan anak muda ini.

Kecemasan tersebut beralasan. Maraknya pidato dai pada saat solat jum’at di perkotaan sangat berbeda dengan tradisi NU. Isi pidato itu kebanyakan berisi ancaman dan kebencian terhadap golongan lain. Mereka menyederhanakan persoalan dengan menina-bobokan ummat. Para da’i lebih sering menghardik. Umat terlampau takut sehingga tidak mengarah pada perubahan sosial mereka. Para dai lebih banyak mengancam orang lain dari pada memperbincangkan keadaan ummat Islam sendiri.

Pergeseran misi dakwah berhalauan Aswaja bergeser ke arah haluan berbeda, mengakibatkan kegerahan di kalangan kaum muda NU. Lakspesdam sebagai penggerak pemikiran dan kemajuan ide-ide liberatif seolah bertanggung jawab dengan situasi dakwah yang kehilangan orientasi tersebut. Kita merasa kehilangan moment terhadap para da’i-da’i dari kalangan NU yang mencerahkan, tetapi tidak mendapatkan tempat di media. Dakwah yang menarik bagi masyarakat justru model dakwah seperti Aa Gim, ustadz Haryono, Ustadz Arifin Ilham, dsb. Karakter masyarakat lebih menyukai model dakwah yang menghibur, melawak dan menyejukan. Hal itu bagus untuk sementara waktu. Mampu menyejukkan problem stress di masyarakat dengan kepiawaian dakwah mereka. Namun untuk jangka panjang masyarakat membutuhkan dakwah yang melahirkan peresapan nilai-nilai yang lebih ampuh, menambah kualitas keberagamaan untuk menghadapi kehidupan. Namun realitasnya, dakwah yang membawa nilai-nilai ASWAJA seakan tenggelam ditengah gemerlap perkotaan. Dakwah perkotaan justru menganut trend kesejukan sesaat, mengobati kegelisahan dengan nilai-nilai yang dangkal. Mengajak para jamaah untuk bertobat saat mengikuti pengajian dengan menangis, namun setelah keluar dari majlis, kembali menjalani kehidupan yang individualis, materialistis. Dampak dari dakwah terlihat masih belum membawa perubahan pada sistem dan struktur sosial yang menindas kaum miskin.

Apa implikasi bagi NU dari adanya arus Islam yang berbeda tersebut? Arus penyebarkan nilai Islam berbeda, lebih gencar dan intens lambat laun akan menyebabkan tradisi NU hilang. Kekhawatiran tersebut wajar adanya, apabila NU tidak segera melakukan reposisi akan perannya sebagai penjaga tradisi khittah, dalam kerangka pikir K. H. Muhammad Siddiq yang bercirikan moderasi, penerimaan fakta bahwa Islam mengakui kebinekaan, atau Islam pluralis. Persebaran nilai-nilai moderasi tidak akan kelihatan apabila para da’i-da’i NU tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Untuk mendapatkan rasa percaya dari masyarakat, NU sebagai organisasi perlu melakukan “quality control” kepada para da’i-da’i kader NU. Alih-alih, NU memberikan sertifikasi da’i dengan pelatihan yang standar, justru NU tidak memperdulikan anggotanya. NU membiarkan semua orang menjadi da’i yang bebas saja menyampaikan misi dakwah kepada masyarakat. Akibatnya, banyak ditemukan para da’i-da’i karbitan dan instan. Ironisnya, para da’i terkotak-kotak, bahkan ada yang menjadi corong penguasa untuk kepentingan politik tertentu, seperti Pilkada, Pilpres, Pemilu, dst.

Bagaimana pendidikan dakwah transformatif ini digagas? Dakwah transformatif ialah dakwah yang meniscayakan adanya trasformatif (at-tathowwur). Yaitu dakwah yang mampu menyentuh perubahan struktural dan perubahan pribadi ke arah yang lebih baik. Dakwah yang mampu mengatasi struktur berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dakwah transformatif menuntut orang-orang yang kuat untuk merubah kebijakan publik, sehingga rakyat memperoleh keadilan, mendapatkan makan, mendapatkan lapangan kerja, dan memberi rasa aman bagi kehidupan masyarakat. Dakwah transformatif membutuhkan kerangka pikir ASWAJA dengan karakteristik nahdiyin. Yaitu, nilai-nilai moderasi seperti pluralisme, toleransi, mandiri, dan berpikir moderat.

Untuk mewujudkan dakwah transformatif, maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
(1) Mengembangkan dialog internal bagi komunitas NU (al-hiwar ad-dhakhili). Dialog internal akan membuka pengakuan adanya pengkotak-kotakan ulama’, dan ini harus dikomunikasikan dengan penuh toleransi. Dialog internal berguna untuk mengevaluasi NU dari dalam. Evaluasi diri akan menjadi jalan memperoleh pemecahan dari masalah yang melanda NU.
(2). Membutuhkan topangan dakwah, yaitu berupa pendidikan dan ekonomi. Dakwah seharusnya mampu mendorong kebijakan ekonomi yang bisa dirasakan oleh masyarakat bawah. Pendidikan adalah investasi masa depan. Jika Dakwah ditopang dengan ekonomi dan pendidikan, maka akan memudahkan dan mempercepat proses transformasi kepada masyarakat. Pengembangan masyarakat yang berkualitas, dengan sendirinya, akan mampu menggerakkan kesejahteraan umat.
(3). Peradaban Islam akan maju apabila adanya ummat yang bekerja keras dan bekerja sama. Kita harus belajar dari keberhasilan orang lain yang mampu survive dan maju. Membangun kerja sama dengan masyarakat, bahkan Negara, akan mempercepat upaya dakwah transformatif.

Akhirnya, kultur keislaman NU penting untuk dipertahankan. Karakter NU adalah keislaman yang mampu memberikan rasa perdamaian dan keselamatan bagi semua umat manusia. Pendidikan dakwah transformatif merupakan salah satu jalan memberi lisensi bagi da’i-da’i NU. Upaya pelatihan diarahkan untuk menumbuhkan para da’i bernalar dengan argument rasional (kalam) dan mendorong langkah perubahan sistem melalui transformatif. Wallahu a'lam.