Monday, May 02, 2005

Menggagas Dakwah Transformatif

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (LAKSPESDAM-NU) mengadakan workshop kurikulum dakwah transformatif selama 3 hari, dari tanggal 26-28 April di Bogor. Saya hadir sebagai peserta. Saya mengikuti perbincangan anak-anak muda NU yang dimotori Lakspesdam tersebut. Kelompok anak muda ini bersemangat membawa bendera pembaharuan di dalam tubuh NU. Dalam perbincangan itu tersirat kegelisahan. Bagaimana menyikapi beragam arus besar Islam kontemporer seperti model LDNII, LDK, PKS, yang telah merasuki dan merambah jamaah NU?

***


Menggagas Dakwah Transformatif

Oleh: Najlah Naqiyah


Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (LAKSPESDAM-NU) mengadakan workshop kurikulum dakwah transformatif selama 3 hari, dari tanggal 26-28 April di Bogor. Saya hadir sebagai peserta. Saya mengikuti perbincangan anak-anak muda NU yang dimotori Lakspesdam tersebut. Kelompok anak muda ini bersemangat membawa bendera pembaharuan di dalam tubuh NU. Dalam perbincangan itu tersirat kegelisahan. Bagaimana menyikapi beragam arus besar Islam kontemporer seperti model LDNII, LDK, PKS, yang telah merasuki dan merambah jamaah NU? Bagaimana strategi dakwah di pedesaan dan di perkotaan? Bagaimana NU merespon dinamika menguatnya fundamentalisme di satu sisi dan arus liberalisme di sisi lainnya? Mengapa NU tidak memperdulikan jamaahnya yang mengalami diskriminasi, penindasan dan kemiskinan? Setidaknya kegelisahan tentang maraknya dakwah diperkotaan telah menjadi kecemasan bagi kalangan anak muda ini.

Kecemasan tersebut beralasan. Maraknya pidato dai pada saat solat jum’at di perkotaan sangat berbeda dengan tradisi NU. Isi pidato itu kebanyakan berisi ancaman dan kebencian terhadap golongan lain. Mereka menyederhanakan persoalan dengan menina-bobokan ummat. Para da’i lebih sering menghardik. Umat terlampau takut sehingga tidak mengarah pada perubahan sosial mereka. Para dai lebih banyak mengancam orang lain dari pada memperbincangkan keadaan ummat Islam sendiri.

Pergeseran misi dakwah berhalauan Aswaja bergeser ke arah haluan berbeda, mengakibatkan kegerahan di kalangan kaum muda NU. Lakspesdam sebagai penggerak pemikiran dan kemajuan ide-ide liberatif seolah bertanggung jawab dengan situasi dakwah yang kehilangan orientasi tersebut. Kita merasa kehilangan moment terhadap para da’i-da’i dari kalangan NU yang mencerahkan, tetapi tidak mendapatkan tempat di media. Dakwah yang menarik bagi masyarakat justru model dakwah seperti Aa Gim, ustadz Haryono, Ustadz Arifin Ilham, dsb. Karakter masyarakat lebih menyukai model dakwah yang menghibur, melawak dan menyejukan. Hal itu bagus untuk sementara waktu. Mampu menyejukkan problem stress di masyarakat dengan kepiawaian dakwah mereka. Namun untuk jangka panjang masyarakat membutuhkan dakwah yang melahirkan peresapan nilai-nilai yang lebih ampuh, menambah kualitas keberagamaan untuk menghadapi kehidupan. Namun realitasnya, dakwah yang membawa nilai-nilai ASWAJA seakan tenggelam ditengah gemerlap perkotaan. Dakwah perkotaan justru menganut trend kesejukan sesaat, mengobati kegelisahan dengan nilai-nilai yang dangkal. Mengajak para jamaah untuk bertobat saat mengikuti pengajian dengan menangis, namun setelah keluar dari majlis, kembali menjalani kehidupan yang individualis, materialistis. Dampak dari dakwah terlihat masih belum membawa perubahan pada sistem dan struktur sosial yang menindas kaum miskin.

Apa implikasi bagi NU dari adanya arus Islam yang berbeda tersebut? Arus penyebarkan nilai Islam berbeda, lebih gencar dan intens lambat laun akan menyebabkan tradisi NU hilang. Kekhawatiran tersebut wajar adanya, apabila NU tidak segera melakukan reposisi akan perannya sebagai penjaga tradisi khittah, dalam kerangka pikir K. H. Muhammad Siddiq yang bercirikan moderasi, penerimaan fakta bahwa Islam mengakui kebinekaan, atau Islam pluralis. Persebaran nilai-nilai moderasi tidak akan kelihatan apabila para da’i-da’i NU tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Untuk mendapatkan rasa percaya dari masyarakat, NU sebagai organisasi perlu melakukan “quality control” kepada para da’i-da’i kader NU. Alih-alih, NU memberikan sertifikasi da’i dengan pelatihan yang standar, justru NU tidak memperdulikan anggotanya. NU membiarkan semua orang menjadi da’i yang bebas saja menyampaikan misi dakwah kepada masyarakat. Akibatnya, banyak ditemukan para da’i-da’i karbitan dan instan. Ironisnya, para da’i terkotak-kotak, bahkan ada yang menjadi corong penguasa untuk kepentingan politik tertentu, seperti Pilkada, Pilpres, Pemilu, dst.

Bagaimana pendidikan dakwah transformatif ini digagas? Dakwah transformatif ialah dakwah yang meniscayakan adanya trasformatif (at-tathowwur). Yaitu dakwah yang mampu menyentuh perubahan struktural dan perubahan pribadi ke arah yang lebih baik. Dakwah yang mampu mengatasi struktur berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dakwah transformatif menuntut orang-orang yang kuat untuk merubah kebijakan publik, sehingga rakyat memperoleh keadilan, mendapatkan makan, mendapatkan lapangan kerja, dan memberi rasa aman bagi kehidupan masyarakat. Dakwah transformatif membutuhkan kerangka pikir ASWAJA dengan karakteristik nahdiyin. Yaitu, nilai-nilai moderasi seperti pluralisme, toleransi, mandiri, dan berpikir moderat.

Untuk mewujudkan dakwah transformatif, maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
(1) Mengembangkan dialog internal bagi komunitas NU (al-hiwar ad-dhakhili). Dialog internal akan membuka pengakuan adanya pengkotak-kotakan ulama’, dan ini harus dikomunikasikan dengan penuh toleransi. Dialog internal berguna untuk mengevaluasi NU dari dalam. Evaluasi diri akan menjadi jalan memperoleh pemecahan dari masalah yang melanda NU.
(2). Membutuhkan topangan dakwah, yaitu berupa pendidikan dan ekonomi. Dakwah seharusnya mampu mendorong kebijakan ekonomi yang bisa dirasakan oleh masyarakat bawah. Pendidikan adalah investasi masa depan. Jika Dakwah ditopang dengan ekonomi dan pendidikan, maka akan memudahkan dan mempercepat proses transformasi kepada masyarakat. Pengembangan masyarakat yang berkualitas, dengan sendirinya, akan mampu menggerakkan kesejahteraan umat.
(3). Peradaban Islam akan maju apabila adanya ummat yang bekerja keras dan bekerja sama. Kita harus belajar dari keberhasilan orang lain yang mampu survive dan maju. Membangun kerja sama dengan masyarakat, bahkan Negara, akan mempercepat upaya dakwah transformatif.

Akhirnya, kultur keislaman NU penting untuk dipertahankan. Karakter NU adalah keislaman yang mampu memberikan rasa perdamaian dan keselamatan bagi semua umat manusia. Pendidikan dakwah transformatif merupakan salah satu jalan memberi lisensi bagi da’i-da’i NU. Upaya pelatihan diarahkan untuk menumbuhkan para da’i bernalar dengan argument rasional (kalam) dan mendorong langkah perubahan sistem melalui transformatif. Wallahu a'lam.

5 comments:

Anonymous said...

LAKPESDAM ga diakui di NU ga ada strukturalnya. ISLIB juga ditolak NU. Yang patut dikhawatirkan NU ialah, merasuknya LIBERALISME ISLAM di tubuh NU. Dan alhamdulillah, di Muktamar NU itu telah tegas-tegas ditolak dan dilarang.

ARISTIONO NUGROHO said...

Mari terus berdakwah dengan berpedoman pada Al Qur'an dan Al Hadist. Untuk sharing silahkan klik http://sosiologidakwah.blogspot.com

Unknown said...

canada goose outlet
mac cosmetics outlet
replica watches
oakley uk
coach outlet
michael kors outlet
sac michael kors
nike roshe run
jordan xx9
karen millen
2018.2.1chenlixiang

yanmaneee said...

yeezy 500
kate spade handbags
converse outlet
lebron shoes
adidas nmd r1
lebron 16
balenciaga trainers
canada goose jacket
moncler coat
converse shoes

tiffany necklace wholesale germany said...

Kecemasan tersebut beralasan. Maraknya pidato dai pada saat solat jum’at di perkotaan sangat berbeda dengan tradisi NU. charm bracelet australia , charm bracelet chile ,