Sunday, January 20, 2008

Menjadi Juri pada 'Religion and Society: Dialogue'




Lombok Senggigi,

Senin sore, 17 Desember 2007, penulis terbang ke Lombok Mataram bersama dengan rombongan juri CCE (Civic Of Center Education). Penulis bermalam di Hotel Shangrilla Senggigi Lombok Mataram. Juri CCE tersebut terdiri dari: Wiliam Ryan (ketua), Tia, dan ketiga dewan juri lain, yaitu Syukron Hamid (UIN Ciputat, Jakarta) dan Najlah Naqiyah serta Jefry Loe. Penulis bersyukur dipercaya sebagai salah satu juri oleh CCE untuk menyeleksi peserta pada program Dialog Agama dan Masyarakat (Religion and Society: Dialogue) ke Amerika Serikat untuk kali ini. Pelajaran apa saja yang dapat penulis peroleh?

Penulis, sebagai pelaku pendidikan di Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani Rangkang Kraksaan Probolinggo, berbesar hati memperoleh kesempatan terlibat menyeleksi peserta delegasi program kunjungan Religion and Society: A Dialogue. Program ini adalah program pertukaran yang ditujukan untuk cendikiawan muslim, alim ulama, dan tokoh masyarakat di Indonesia dan Amerika. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Legacy International dan Center for Civic Education, didanai oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Dalam kesempatan itu, Penulis menguji para peserta yang bergelar Master atau Doktor dari berbagai perguruan tinggi di Mataram. Peserta berasal dari pasca sarjana Teologi, Filsafat Agama, Perbandingan Agama, atau sedang melanjutkan program Doktor (S3) pada bidang ilmu lainnya. Sebagian besar peserta yang ikut berprofesi sebagai dosen yang telah mengajar di universitas atau Perguruan Tinggi. Ketika penulis berhadapan dengan peserta, ada rasa tersanjung bisa menguji para tokoh agama dari Mataram. Sebuah kesempatan yang langka. Seluruh peserta berumur lebih tua dari penulis. Mereka mayoritas punya pengalaman sekolah ke luar negeri dan bertahun-tahun berkecimpung pada pemberdayaan ummat. Usia penulis tidak membatasi untuk menjadi juri mereka. Kesempatan ini, membuat penulis dapat lebih banyak belajar berdialog, berdiskusi, dan bertanya kepada para Master dan Doktor dari kalangan kampus Mataram.

Penulis banyak belajar dari pengalaman berharga ini, terutama sejak mengikuti program Community Leader setahun lalu. Refleksi penulis antara lain:

Pertama, kesempatan "belajar" ke Amerika Serikat tidak dimiliki oleh setiap orang. Pengalaman kunjungan sebulan di Amerika dalam program Community leader telah memberi penulis bahan belajar yang berlimpah. Dan, kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat sulit terlupakan dari ingatan. Budaya Amerika dalam disiplin waktu, orang-orang Amerika yang ramah dan suka meminta maaf serta berterima kasih adalah budaya unik yang penulis lihat di Amerika. Pengalaman hidup di Amerika telah mampu mengurangi prasangka penulis tentang Amerika yang menakutkan. Penulis belajar bertoleransi ke orang yang berbeda agama, bebas menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka dan menghargai perbedaan kulit, etnik dan ras. Pengalaman itulah yang penulis diskusikan dengan para peserta bagaimana mereka nanti akan beradaptasi dengan orang asing yang memiliki perbedaan agama, bangsa dan budaya? Dari dialog itu, muncul berbagai pandangan peserta bagaimana mereka memandang Amerika.

Kedua, Kemajuan peradaban Amerika mendorong penulis untuk meniru dan mempraktekkan pada kehidupan sehari-hari. Misalnya budaya tepat waktu dan hidup mandiri. Di Indonesia, masyaraktnya sangat pelan dan lamban. Terlebih di desa penulis terasa sangat slow (lambat). Nampak dari jalan mereka yang pelan, banyak tinggal di rumah, nganggur dan mengerjakan sesuatu dengan cara biasa-biasa aja. Hal ini berbeda dengan apa yang penulis lihat sewaktu tinggal di Amerika. Orang Amerika selalu sibuk dan bekerja serba cepat. Berjalanpun sangat cepat seperti diburu oleh waktu. Tidak ada makan siang gratis, semua orang mesti bekerja sendiri untuk memiliki uang. Mereka memiliki jadwal kegiatan yang padat dan teratur. Penulis merasakan manfaat yang besar dari kebiasaan yang penulis tiru, seperti bagaimana mengatur jadwal keseharian agar bisa melakukan aktifitas tepat waktu. Bagaimana mengatur jadwal agar tepat waktu dan melakukan dengan cara cepat, tepat banyak menolong penulis. Penulis sangat terbantu melakukan kegiatan rumah tangga dan karier dengan berusaha menyelesaikan secara cepat dan tepat. Maklumlah, kesibukan penulis mengurus anak balita usia 10 bulan membutuhkan ekstra waktu untuk berbagi, disamping juga membagi jadwal untuk sekolah S3 dan bekerja sebagai dosen.


Ketiga, Perjumpaan penulis dengan orang Amerika dan lembaga CCE mendorong Penulis ingin sekolah ke Amerika. Sebuah keinginan dan mimpi untuk go international. Hidup di Amerika Serikat seperti mimpi saja. Hidup dengan suasana multicultural dan kompetisi yang tinggi adalah keinginan penulis. Karena bagaimanapun lingkungan akan menentukan tumbuh kembang penulis secara maksimal. Penulis sangat mengagumi orang-orang besar yang bisa menempuh study pascasarjana di Amerika dengan beasiswa. Kegigihan mereka belajar bahasa Inggris dan kemauan untuk belajar yang kebanyakan lulusan Amerika menjadi orang besar di tanah air. Hal tersebut, bisa dipahami karena fasilitas sekolah di Amerika sangat lengkap. Akses perpustakaan dan metode pembelajaran yang maju membuat lulusan Amerika diperhitungkan oleh perusahaan, atau lembaga penampung lainnya. Penulis mengakui, tidak mudah memperoleh beasiswa pascadoktoral ke Amerika, tetapi juga tidak mustahil kesempatan itu ada bagi siapapun yang berusaha keras. Perjumpaan penulis dengan orang-orang terkenal membuat semangat penulis hadir kembali untuk segera menuntaskan desertasi tentang self-efficacy di kampus Universitas Negeri Malang. Semoga.

Saturday, January 19, 2008

Memuliakan TKW: Belajar dari Hongkong

Penulis sedang bergambar bersama Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di Hongkong, 6 Oktober 2007


Banyak Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia bekerja di Hongkong. Lebih dari 100.000 wanita Indonesia mengais rizki di negeri bekas jajahan Inggris. Sebagian besar TKW tinggal di Hongkong bertahun-tahun. Apa yang membuat mereka betah?