Saturday, July 30, 2005

Pesantren “Compang Camping”

Pesantren adalah kekayaan paling berharga milik NU dan bangsa Indonesia. Pesantren berarti uzlah “tempat pengasingan diri”. Di tengah laju kemajuan, kini posisi pesantren kian marginal. Berada di persimpangan hidup modern. Pesantren terus tertinggal dari perubahan, pesantren mati segan hidup tak mampu. Mutu pendidikannya rendah, pembatasan, pengungkungan, pengangguran, keterbelakangan, dan kemiskinan merupakan beban berat yang ditanggung pesantren. Sistem pendidikan di pesantren berbeda dengan pola sekolah/madrasah pada umumnya. Pesantren tumbuh sebagai pusat belajar pendidikan agama yang unik, seperti bahasa pengantar pengajarannya menggunakan kitab kuning dijelaskan dengan bahasa lokal, memegang teguh tradisi adat istiadat, norma serta nilai khas pesantren. Bahasa lokal mempengaruhi kuatnya nilai tradisional. Terjadi problem krusial dipesantren, berupa pengelolaan guru, peran kiai serta sarana dan prasarana minim. Bagaimana terjadinya kondisi pesantren compang-camping?

***


Pesantren “Compang Camping”

Oleh: Najlah Naqiyah


Duta Masyarakat, 2005.
Pesantren adalah kekayaan paling berharga milik NU dan bangsa Indonesia. Pesantren berarti uzlah “tempat pengasingan diri”. Di tengah laju kemajuan, kini posisi pesantren kian marginal. Berada di persimpangan hidup modern. Pesantren terus tertinggal dari perubahan, pesantren mati segan hidup tak mampu. Mutu pendidikannya rendah, pembatasan, pengungkungan, pengangguran, keterbelakangan, dan kemiskinan merupakan beban berat yang ditanggung pesantren. Sistem pendidikan di pesantren berbeda dengan pola sekolah/madrasah pada umumnya. Pesantren tumbuh sebagai pusat belajar pendidikan agama yang unik, seperti bahasa pengantar pengajarannya menggunakan kitab kuning dijelaskan dengan bahasa lokal, memegang teguh tradisi adat istiadat, norma serta nilai khas pesantren. Bahasa lokal mempengaruhi kuatnya nilai tradisional. Terjadi problem krusial dipesantren, berupa pengelolaan guru, peran kiai serta sarana dan prasarana minim. Bagaimana terjadinya kondisi pesantren compang-camping?

Pertama, Guru yang direkrut dipesantren berasal dari guru-guru tidak profesional. Mereka biasanya “cabutan” dari pesantren satu dikirimkan kepesantren lain sebagai tenaga mengajar dalam jangka waktu terbatas, antara tiga sampai lima tahun. Pertukaran guru-guru antar pesantren belum terlatih mengajar, dan “jam terbangnya” masih minim. Akibatnya guru tersebut sering mengalami trial and error saat proses belajar mengajarnya. Pola pengadaan guru sering berganti-ganti, berdampak negatif pada sipebelajar (santri). Apa yang terjadi apabila guru berganti-ganti? Tentu, santri menerima pelajaran sangat kacau, karena seringkali berganti kurikulum pembelajarannya. Misalnya, pengajian suatu kitab tidak tuntas, karena gurunya harus pindah atau berhenti mengajar. Ketika pengganti guru baru, santri harus beradaptasi lagi. Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, pembelajaran dipesantren tidak pernah tuntas, terkesan “setengah hati”.

Kedua, kerja kiai dipesantren sekedar sambilan saja. Sebagian, kiai lebih sibuk di luar pesantren mengurusi bidang politik, ekonomi dan sosial untuk mencari uang atau jabatan serta kekuasaan. Sebagian lagi bekerja mencari dana untuk kelangsungan pesantrennya. Banyak kiai sekarang memiliki tugas pekerjaan di luar pesantren. Sehingga pesantrennya terbengkalai karena tidak fokus. Pesantren selama ini memang dikenal sebagai lahan ibadah dan kekurangan dana. Maka banyak orientasi kiai mengejar kebutuhan ekonominya dengan bekerja diluar pesantren. Terlebih lagi, saat ramai-ramai para kiai memasuki wilayah politik, aktif di partai sehingga pesantrennya digadaikan untuk kepentingan pribadi mereka. Kiai selayaknya memfokuskan diri pada pengembangan masyarakat pesantren, yang dipercaya taat melaksanakan ajaran agama yang meneguhkan nilai keislaman.

Ketiga, Santri lebih banyak tinggal di pesantren dengan orientasi tidak jelas. Pesantren sebagai tempat “penantian” santri sebelum bekerja, melanjutkan ke sekolah lebih tinggi, menikah dan lain sebagainya. Ketidakjelasan orientasi inilah mendorong pada keraguan masa depan santri. Mereka tidak dipersiapkan sejak awal menekuni pekerjaan secara maksimal. Keseharian para santri hanya dilatih untuk rajin mengerjakan ajaran ritual agamanya, namun tidak peka terhadap persoalan sosial disekitarnya. Kehidupannya terkurung dalam pesantren sampai batas waktu mereka berhenti. Ketika mereka harus bersaing dengan pekerjaan tertentu, seringkali santri tidak memiliki kecakapan hidup. Santri tidak punya bekal pengetahuan yang memadai. Ketidaksiapan inilah berasal dari ketidakjelasan orientasinya.

Bagaimana pesantren bisa maju, dan dipercaya masyarakat ? Kita perlu berpikir mengurai problem pesantren NU. Pertama, perlunya standar baku bagi guru-guru pesantren. Mutu dan kualitas guru-guru pesantren mesti diperbaiki. Guru dipersiapkan secara profesional. Keberadaan ma’had aly, universitas Islam serta institut berguna mencetak guru pesantren. Cara lain meningkatkan mutu guru dengan mengirim kaum muda ke sekolah luar negeri. Gerakan PBNU memberikan beasiswa kader-kader NU belajar ke luar negeri, perlu terus ditingkatkan. Seperti, kerjasama PBNU dengan universitas internasional, dambaan kaum muda NU. Ketika mereka kembali ke komunitas pesantren, membawa pencerahan baru dari pengalaman belajar di negara maju. Selama, pesantren tidak memperhatikan kualitas tenaga pengajarnya, mutu guru-guru menjadi rendah. Sebaliknya, dengan keberadaan guru berkualitas, konsisten disebuah pesantren, diharapkan bisa memperbaiki mutu pesantren.

Kedua, Kiai memiliki komitmen tinggi terhadap pesantren. Peran kiai sebagai top leader berfokus kepada pesantren. kiai yang bekerja di pesantren sebagai sambilan, pesantrennya tidak maksimal. Mengapa kiai harus fokus ke pesantren? Kiai panutan santri dalam keseluruhan hidupnya. Kiai menjadi orang tua tunggal mengelola ratusan hingga ribuan santri. Santri tidak diasuh oleh orang tua kandungnya, maka kiai sebagai wakil orang tua santri. Kiai tumpuan santri. Apabila kiai tidak perduli dengan kepentingan pesantren, maka santrinya terlantar. Bagaimana dukungan kiai ditunjukkan?. Apakah dukungan kiai berhubungan dengan prestasi belajar santri?. Seberapa besar pengaruhnya terhadap prestasi santri?. Apakah berbeda dukungan kiai yang tinggi dan rendah bagi kemajuan santri?. Ada hubungan positif antara dukungan kiai dengan prestasi santri. Apabila kiai mendukung penuh pada santri, maka santri termotivasi dan terus meningkatkan prestasi belajarnya. Sebaliknya jika kiai kurang mendukung kegiatan belajar, maka santri cenderung berprestasi rendah, malas dan putus sekolah atau berhenti dari pesantren. Untuk itu, Para kiai dituntut dekat dengan santrinya, menjadi orang yang selalu ada dan dirasakan kehadirannya. Kiai mesti menjalin komunikasi intens dengan cara mengajar langsung santri-santrinya. Misalnya, mengajar suatu kitab tertentu setiap hari, atau melihat perkembangan santri setiap waktu, terus meningkatkan kemampuannya menolong santri. Apabila kiai memiliki komitmen tinggi terhadap santri, pesantren mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat.

Ketiga, pesantren perlu memiliki madrasah/sekolah maju dengan orientasi jelas. Madrasah dikelola secara modern dan sarana lengkap membawa pesantren pada sistem pendidikan maju. Banyak madrasah tumbuh di pesantren. Menjamurnya madrasah bisa baik apabila dikelola dengan standar sekolah nasional atau internasional. Namun, keberadaan sekolah dipesantren bertambah buruk, apabila dikelola serampangan. Bagaimana mengelola madrasah MI/MTs/MA/PTA di pesantren? Inilah pekerjaan besar NU sebagai basis kekuatan pendidikan di pesantren.

Akhirnya, Jika pesantren terus mempertahankan keadaan guru berganti-ganti dan kiai bekerja dipesantren sekedar sambilan, pesantren compang camping terus terjadi. Sudah saatnya, dibutuhkan kiai dan guru-guru cerdas dan pintar serta konsisten mengelola pesantren.

Sumber Duta Masyarakat

Pro Kontra Alirah Ahmadiyah

Ahmadiyah aliran baru yang sedang diperdebatkan keberadaannya di Indonesia. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) resmi mengeluarkan pelarangan ajaran Ahmadiyah, dengan alasan bahwa kelompok tersebut membawa orang menjadi murtaddin (keluar dari ajaran agama). Murtad karena keyakinan mereka akan munculnya nabi baru. Walaupun telah didakwa sebagai aliran sesat, bagaimana dengan kelompok mereka yang telah mencapai ribuan orang dan berdiri cabang-cabang di perkotaan?

***


Pro Kontra Alirah Ahmadiyah

Oleh Najlah Naqiyah


Duta Masyarakat 2005,
Ahmadiyah aliran baru yang sedang diperdebatkan keberadaannya di Indonesia. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) resmi mengeluarkan pelarangan ajaran Ahmadiyah, dengan alasan bahwa kelompok tersebut membawa orang menjadi murtaddin (keluar dari ajaran agama). Murtad karena keyakinan mereka akan munculnya nabi baru. Walaupun telah didakwa sebagai aliran sesat, bagaimana dengan kelompok mereka yang telah mencapai ribuan orang dan berdiri cabang-cabang di perkotaan?

Hiruk pikuk ajaran Ahmadiyah yang difatwa sesat tersebut bukanlah hal aneh di negeri Indonesia. Banyak aliran-aliran yang dilarang, namun tetap subur di negeri ini. Bagaimana menyikapi kelompok-kelompok marginal tersebut secara bijak? Inilah yang perlu diagendakan bagi keberlangsungan keragaman negeri yang berbeda-beda agama, ras, suku, dan pulau.

MUI melakukan larangan secara resmi peredaran kelompok Ahmadiyah. Tujuan MUI untuk menjaga kedamaian. Tapi apa yang terjadi? Alih-alih kedamaian itu tercermin, justru terjadi pengrusakan dan pembantaian oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab kepada anggota kelompok Ahmadiyah. Pengrusakan pemondokan, kantor serta masjid Ahmadiyah, merupakan bentuk dari kekerasan yang mencederai proses pluralisme agama. Semestinya, perbedaan ajaran apapun, diselesaikan dengan membuka ruang dialog dan pengertian diantara masyarakat. Sehingga menjadi jelas segala pertanyaan yang tersembunyi tentang apa aliran Ahmadiyah; bagaimana aliran Ahmadiyah diterima oleh kelompoknya; apa yang dikerjakan oleh Ahmadiyah sehingga berhasil merekrut jama’ah secara cepat; Mengapa Ahmadiyah dilarang oleh MUI? Pertanyaan lain, bagimana pluralisme Indonesia akan dikembangkan? Bagaimana sikap tokoh agamawan menghadapi munculnya aliran-aliran baru yang berbeda dengan alirannya?

Bagi tokoh agama seperti Gus Dur menolak fatwa MUI atas larangan terhadap aliran Ahmadiyah. Sikap Gus Dur tersebut dilakukan bersama para tokoh lintas agama yang risau dengan segala pengrusakan, pembantaian yang membawa kekerasan. Korban yang ditimbulkan dari fatwa tersebut mengkhawatirkan terjadinya aksi anarki dengan membakar dan membumi hanguskan kelompok Ahmadiyah. Pertengkaran dan permusuhan justru membawa konflik dalam ummat Islam khususnya, dan ummat agama lain umumnya. Gus Dur berharap, masyarakatlah yang akhirnya akan menilai dan memutuskan, apakah mereka akan ikut dengan aliran Ahmadiyah atau menolaknya.

Sikap pro dan kontra membawa dampak sosial bagi kelangsungan pluralisme agama. Kini, fatwa itu telah dihembuskan dan disebar luaskan dimedia elektronik maupun cetak. Bagaimana masyarakat bersikap? Ada dua konsekwensi sikap masyarakat, Pertama, bagi masyarakat yang menerima dan membiarkan aliran Ahamadiyah hadir memperkaya pluralisme maka, mereka cenderung tidak perduli dengan apa yang dihimbaukan oleh MUI. Mereka terkesan cuek dan tidak memikirkan. Mereka tenang dengan bermunculannya kelompok baru seperti cabang Ahmadiyah diperkotaan.

Kedua, Bagi masyarakat yang menolak Ahmadiyah secara sosial ada dua hal. Mereka mereaksi secara keras dan lunak. Bagi mereka yang mereaksi secara keras, akan menggunakan cara-cara pemaksaan untuk menutup kelompok Ahmadiyah dengan cara apapun, misalnya pembakaran pondok, kantor dan rumah-rumah kelompok Ahmadiyah. Jika ini yang dilakukan, tentu ongkos yang harus dibayar mahal sekali, konflik berkepanjangan dan makin pudarnya pluralisme di Indonesia. Sebab kekerasan yang dilakukan dengan cara-cara jalanan merugikan orang-orang yang belum tentu bersalah secara hukum. Sedangkan bagi mereka yang menolak secara lunak, mereka menutup diri dari akses aliran Ahmadiyah. Tipe masyarakat yang semacam ini dialami oleh kelompok-kelompok awam yang khawatir terpengaruh oleh Ahmadiyah. Mereka tidak melakukan reaksi menentang secara kasat mata, namun gerakan mereka eksklusif dan tidak mau berdialog dengan orang-orang dari kubu Ahmadiyah.

Menyimak keragaman sikap terhadap aliran Ahmadiyah, maka mungkin saja sikap serupa ini timbul seiring maraknya kelompok-kelompok kecil militan yang mempengaruhi masyarakat. Sebuah keniscayaan muncul diabad modern, adalah kebebasan aliran apapun berkembang lintas negara. Seiring langkah globalisasi, menjamur aliran-aliran baru dari jaringan bisa diakses lintas batas desa atau kota serta negara. Jangankan aliran Ahmadiyah, atheispun mungkin saja hidup dan berpeluang mempengaruhi masyarakat seiring dengan bebasnya informasi. Untuk itu, pertanyaan yang perlu dijawab bersama oleh kita, adalah bagaimana mencermati aliran baru yang berkembang?
Cara yang dilakukan seiring menjamurnya aliran-aliran baru ialah positive thinking (berpikir positif) dengan memandang perbedaan adalah rahmat dari Allah SWT. Dengan berpikir positif akan membuat kita membuka diri terhadap perbedaan.

Kedua, Sikap terbuka akan mengembang rasa dialog dan sikap pengertian serta toleransi antara sesama ummat. Sikap terbuka dilakukan dengan banyak mendengarkan maksud dari aliran tersebut. Setelah mendengarkan secara kritis maka kita memperoleh pengetahuan untuk belajar. Dengan mengetahui ajaran tersebut akan membuat kita lebih mampu mengendalikan diri dan bersikap empatik. Pengetahuan sifatnya selalu ada dua hal, bias jadi pengetahuan itu untuk dicontoh atau untuk tidak dicontoh. Dengan mengetahui aliran baru, tentu kita bisa mengambil pelajaran.

Ketiga, Sebanyak mungkin menyerap informasi untuk membuat keputusan dan memberikan penilaian, apakah aliran tersebut baik atau buruk. Kalau kita mau jujur, siapa yang berhak membuat keputusan akan kebenaran suatu ajaran ? Jika ditelaah secara jernih, pada akhirnya diri sendirilah yang membuat keputusan apakah aliran tersebut sesuai dengan kita atau tidak. Jika aliran tersebut dinilai menyesatkan, maka dengan sikap elegan, kita berkata “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dengan bersikap tegas dan tidak ikut campur, kita menjadi lebih kuat menghadapi perubahan yang selalu baru dan menuntut kita menentukan sikap secara bijaksana.

Akhirnya, pro kontra aliran Ahmadiyah sejatinya membuat kita semakin bijaksana dan belajar untuk meneguhkan sikap toleransi. Secara ideal, semestinya perbedaan menambah kedewasaan dengan saling berdialog dan menerima perbedaan secara damai. Menyelesaikan dengan cara kekerasan menghadapi perbedaan hanya akan menimbulkan kekerasan yang terus terulang. Semoga kita mampu belajar bahwa menyelesaikan dengan cara jalanan akan membuat pluralisme di negeri ini tertutup kabut hitam.

Sumber: Duta Masyarakat