Tuesday, July 13, 2004

Membaca Ulang Khittah NU 1926

Di satu sisi kiai telah mampu menjadi panutan para wong cilik untuk menjadi imam sholat tetapi masih belum menjadi imam untuk mengeluarkan mereka dari kondisi kemiskinan dan keterbelakangan. Masyarakat masih tercerai berai untuk menghidupi diri dan mencari nafkah hidup dengan mengandalkan kekuatan diri tanpa ada pertolongan secara jamaah menyikapi hidup yang terbelit pada kubangan penderitaan. Beragamnya peran yang dimunculkan oleh kapasitas kepemimpinan kiai dimasyarakat menjadi awal bagi NU untuk menuntaskan kejayaannya dengan mengambil pembelaan kepada pemberdayaan wong cilik. Peran civil society untuk memelihara kelayakan yang memenuhi standar sejahtera Mereka telah mengikatkan diri dan kehidupan kepada relasi ketaatan yang penuh kepada pimpinan kiai.

Tipologi kiai ada tiga; ahlul dzikri, ahlul fikri dan ahlul bikri.

Pertama, Kiai harus terlibat pada persoalan kemanusiaan yang tengah dihadapi oleh masyarakatnya. Kita harus melakukan humanisasi doktrin keagamaan, antara lain terhadap istilah ulama. Ulama lebih berpretensi insaniyah, bukan hanya pada tataran ilahiyyah. Ulama saat ini lebih fokus pada hal yang bersifat ukhrawi, misalnya nampak dalam khutbah-khutbah. Isu-isu yang dibawa bersifat normatif berkisar tuturan yang kebenarannya secara tekstual telah diyakini oleh masyarakat seperti ketauhitan, peneguhan keimanan, ancaman siksa neraka dan pahala surga. Peran tersebut kurang menyentuh problem sosial kemasyarakatan yang berkisar pada korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan. Alasannya, karena akibat kedangkalan tingkat keilmuan kiai. Kiai perlu pemahaman tentang fiqh realitas, misalnya pertanahan, perburuhan, perdagangan kaki lima dan sebagainya. Hal ini menyangkut kehidupan ummat mereka pada tataran basis yang bergelut dengan persoalan seputar kerja agraris menuju industri.

Kedua, Kiai harus melakukan advokasi masyarakat menghadapi ketimpangan sosial yang mendera kemiskinan dan keterbelakangan. Bagaimana advokasi ini terbangun untuk memahami problem riil dan memberi jalan keluar bagi masyarakat. Advokasi adalah upaya memberikan pendampingan tentang persoalan yang dihadapi dalam hidup. Biasanya kiai merupakan tumpuan masyarakat mampu menyelesaikan konflik yang tengah menggelayuti mereka. Seperti gagalnya panen dan anjloknya harga gabah, tembakau, bawang dan aneka hasil bumi yang tidak terjual dipasar. Masyarakat berharap dengan pertolongan kiai mampu mengubah kehidupan mereka menjadi lebih bermartabat dan berharga. Advokasi oleh kiai kepada petani akan melindungi mereka dari keterpurukan. Kiai hendaknya mengetahui kebutuhan untuk meluruskan hidup masyarakat yang putus asa, pengangguran. Keberpihakan pada persoalan yang krusial akan membawa kepercayaan yang lebih besar kepada pemimpin kultural bahwa mereka benar-benar menjadi pemimpin yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat (khodimulqoum). Untuk memberikan advokasi, kiai mesti menguasai apa yang menjadi kebutuhan ummatnya dengan menguasai informasi dan akses jaringan yang kuat untuk membangun kebijakan yang memihak kepada kepentingan yang luas. Kiai harus terlibat secara total dalam tradisi masyarakat dan bekerjasama secara intens dengan aparatur pemerintah untuk membawa persoalan umatnya kepada taraf kehidupan yang layak. Tidak mungkin kiai akan melakukan advokasi sendirian, apabila kiai tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah keadaan yang menindas mereka. Kiai seharusnya langsung melibatkan diri untuk menjadi pembela orang-orang miskin mencapai perbaikan hidup secara bersama-sama. Penguatan masyarakat pada tataran basis merupakan tugas mulia yang selayaknya dibangun oleh para kiai.

Kiai sebagai penjaga moral masyarakat melalui tradisi. Budaya yang telah terbangun melalui tradisi relegiusitas yang bernuansa keagamaan selama ini memerlukan ketahanan untuk mengcounter nilai-nilai baru yang disebarkan melalui media, gaya hidup kapitalis dan glamourisme. Kiai berkewajiban menyerukan hidup sederhana, menjadi insan yang berakhlakul karimah. Hal tersebut menuntut keteladanan dan strategi dakwah yang total. Hantaman kapitalisme global yang memperkenankan setiap orang meraih kekayaan sebesar-besarnya dan mengabsahkan memamerkan kekayaan merupakan ancaman yang akan mengikis dimensi sosial ummat Islam yang menekankan moral sosial. Kehadiran ajaran Islam yang mengutamakan prinsip sholat dan zakat akan menuntut peran kiai untuk berdialektika dengan arus kemajuan yang bersendikan individualistik, acuh tak acuh dan menindas ummat yang terbelakang. Ideologi Islam yang menekankan pada pola kebersamaan, kesetaraan, humanis dan keadilan harus senantiasa dikawal oleh para kiai agar ketahanan hidup (survival) masyarakat kuat secara beradab dan damai.

Ketiga, Menghidupkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Tiba saatnya bagi kiai untuk hidup melebur dengan jeritan penderitaan wong cilik. Kiai harus lantang menyuarakan bentuk ketidakadilan yang didera oleh masyarakat miskin. Kiai sebagai tumpuan hidup masyarakat harus membawa gerbong ini melaju bersama dengan segala perih penderitaan ummat dari kedzoliman yang ditindas. Di pundak merekalah sesungguhnya peradaban itu akan dipertaruhkan dengan menghidupkan nilai-nilai keislaman yang menyejukkan dahaga orang yang sedang kehausan. Kiai harus membawa angin perubahan yang dinantikan oleh seluruh ummat yang telah lelah dihempas oleh ketidakadilan dan terbelenggunya hidup. Nilai-nilai keadilan bagi semua masyarakat tanpa membedakan kelas, keturunan, golongan dan jabatan akan mengurangi bentuk kedzaliman yang telah menjerumuskan Indonesia pada krisis yang berkepanjangan.

Para kiai inilah yang sesungguhnya mempunyai peran penting untuk menghidupkan lapangan pekerjaan, membela kepentingan masyarakat dan memperkecil jarak kesenjangan antara sikaya dan simiskin. Kiai berperan menyediakan bentuk-bentuk memberdayakan wong cilik melalui bentuk konkrit mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Kiranya, gerbong NU akan terus melaju membawa kaumnya yang pluralistik menuju keadilan bersama yang humanis. Wujud perannya menentukan seberapa jauh NU mampu menjawab persoalan hidup ummatnya. NU akan ditinggalkan oleh masyarakat apabila tidak mampu membebaskan persoalan hidup yang menindas mereka. []

http://www.dutamasyarakat.com/detail.php?id=13136&kat=OPINI