Friday, June 11, 2004

Perempuan: Di Balik Tirai Penafsiran

KETERPASUNGAN perempuan bisa dilihat dari aneka multitafsir yang memersepsikan mereka senantiasa terhegemoni oleh sistem paternalistik. Lembaran-lembaran kitab kuning klasik memberikan pandangan yang terkadang ikut serta memberikan opini meminggirkan peran perempuan di arena publik. Sejauh penafsiran yang ada, bisa dimengerti membawa kepentingan penulis yang dipengaruhi oleh background sosial dan setting keadaan pada zamannya. Tuturan yang syarat akan budaya patriark telah melahirkan pengertian ambigu dari sejumlah realitas keterlibatan sejumlah perempuan di arena publik. Alur sejarah perempuan terus bergerak dari titik satu yang mengartikulasikan perjuangan gerak kebebasan. Keanekaragaman karakter termanifestasikan secara berbeda.

Perbedaan karakter dan sudut pandang dari wacana teologis mengusik sejumlah kritisi wacana pada dominasi sistem, yang telah kuat dengan bentuk peradaban yang kukuh. Keterbelakangan yang terus menuai kritik tajam dari gerakan feminisme, yang menuntut perubahan peran demi sebuah mimpi kemajuan bersama.

Probematika dunia tafsir

Tafsir merupakan hasil usaha ijtihad manusia, yang melingkupi segala dimensi pemikirannya untuk memproduksi suatu pemahaman dari kitab suci. Dalam penafsiran senantiasa membawa latar belakang sosial, corak dan warna keilmuan yang melandasi karya pendapatnya. Proses dialektik yang terjadi berintegrasi dengan kitab suci. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd ada tiga dimensi yang mempengaruhi penafsiran; (1) pembaca teks (2) dunia teks (3) realitas sosial penafsir. Ketiganya saling berintegrasi secara dialektik membangun kerangka tafsir yang tentu saja sangat terbatas pada lingkup waktu dan tempat yang bersifat tentatif.

Untuk itu, kecepatan memecahkan masalah akan menjadi tantangan agama terkini. Bagaimana kemampuan agama memberikan kontribusi konkret pada hidup keseharian. Masyarakat membutuhkan bukti empirik yang bisa dirasakan kegunaannya secara jelas (visible) mengentaskan keterpurukan hidup orang-orang tidak berdaya. Pembaca berperan sebagai subjek dengan memproduksi banyak makna dan pemahaman dari pengaruh kehidupannya. Riwayat kehidupan seseorang dapat ditelaah dari situasi keluarga, interaksi sosial, pendidikan dan pengalaman tempat ia lahir dan tumbuh berkembang sejak zaman kanak-kanak sampai dewasa. Kesemua pengalaman itu membentuk, mempengaruhi konsep-konsep memahami sebuah tafsir.

Perlu juga disadari sejak awal, dunia teks mempunyai kesejarahan dan historisitas teks yang terungkap melalui keilmuan yang menyejarah, dan terus-menerus berkembang sepanjang eksplorasi manusia mengintroduksi suatu makna dari teks itu sendiri. Munculnya guliran makna dari setiap teks akan memungkinkan perbedaan beragam dari sudut pandang berbeda memahaminya. Teks mempunyai dunia sendiri dengan aneka ragam wacana seperti sejarah turunnya teks dan peristiwa yang melingkupinya, situasi sosial, yang konon telah berlangsung berabad-abad yang lalu dan terus akan terangkat dalam wacana teks. Khazanah klasik dunia teks akan terus berbicara secara aktif, jika penafsir mendialogkan sejarah masa lalu dengan kondisi masa sekarang yang mempunyai tantangan berbeda. Realitas sosial masyarakat terus berubah dan akan terus mencari bentuk kemajuan zamannya. Peradaban tidak akan pernah berhenti, karena putaran waktu dan hari terus berjalan sesuai dengan ketentuan Tuhan YME (sunnatullah).

Perempuan tidak bisa mengakses kitab suci sebagai penafsir yang berperan sebagai pembaca, dunia teks dan realitas sosial, maka kepentingan perempuan cenderung terabaikan. Sebut saja, bagaimana aturan perempuan dalam sejumlah penafsiran yang ditulis oleh laki-laki membawa kepentingan laki-laki dari perspektif pemahamannya, tentang apa dan bagaimana perempuan bisa dikontrol oleh laki-laki. Maka hasil penafsirannya mengatur tata cara hidup perempuan dalam lembaran fikih terbias sangat ketat (strict) yang harus dilakukan secara utuh oleh perempuan. Maksud dari peraturan yang universal di antara butiran teks Alquran akan melahirkan sebentuk pemahaman yang bisa memberikan kebebasan, untuk tumbuh berkembang memainkan perannya sebagai (khalifah) pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakatnya.

Kepemimpinan (leadership) sangat diperlukan bagi jiwa manusia untuk membentengi diri dari segala perubahan global yang terjadi setiap saat seiring dinamika kemajuan teknologi informasi yang bebas nilai.

Kecanggihan teknologi bersifat netral, bergantung pada pengelolanya untuk menggunakan sesuai dengan kepentingan manusia. Jika perempuan tidak bisa memberikan akses secara cepat terhadap perubahan yang terus mengalir menuju muara kebebasan hidup tanpa kontrol agama dan kepekaan perempuan, maka persoalan hidup menjadi sebuah bencana yang tragis menyentuh harga kemanusiaan. Kejahatan internasional yang terorganisasi bisnis penjualan perempuan dan perbudakan terselubung, harus disikapi secara kritis oleh perempuan untuk menangkal maraknya bursa kerja hiburan yang mengeksploitasi peran perempuan.

Perempuan mau tidak mau harus terlibat dalam wacana keagamaan, karena persoalan perempuan haruslah dijelaskan sendiri dari sudut pelaku perempuan yang merasakan sendiri akibat dari kesehatan reproduksi yang telah menjadi kodratnya dan tidak bisa diwakilkan kepada laki-laki, seperti haid, hamil, menyusui, dan melahirkan. Segala implikasi dari persoalan kodrati perempuan, haruslah melibatkan perspektif perempuan secara terbuka dan arif menelaah hukum yang bisa membuat kesejahteraan perempuan terlindungi. Agama benar-benar bisa memberikan alternatif yang memihak kepentingan perempuan secara total, sehingga mampu memberikan keselamatan bagi manusia yang lahir dari rahim perempuan. 

http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004061101015719