Thursday, March 04, 2004

Menggugat Kualitas Pemimpin

Presiden perempuan, itulah kenyataan bahwa Megawati yang memimpin Indonesia saat ini. Isu tersebut menggejala pada pemilu mendatang, masih dipopulerkan oleh kandidat pemimpin perempuan. Seperti, menggelindingnya mbak Tutut, puteri Soeharto, untuk bersaing dengan Megawati. Menarik memang, sosok perempuan yang biasa bahkan tidak nampak kualitas kepemimpinannya mempunyai pengaruh besar pada pertarungan pemilu mendatang. Hal ini menarik untuk dicermati mengapa perempuan lebih mempunyai peluang sebagai presiden mendatang, bersaing dengan para pakar laki-laki yang lain seperti Amien Rais, Gus Dur, Nur Cholis Madjid yang nota bene lebih lugas dan fasih mengemukakan visi dan tujuan kepemimpinan Indonesia mendatang secara rasional dan terjangkau.

Apa yang sebenarnya perempuan miliki sehingga mampu bersaing ketat dengan laki-laki untuk mempunyai peluang menjadi presiden. Tentu mempunyai riwayat hidup yang terinternalisasi menyejarah dalam kekuatan politis mereka. Sebut saja, Megawati yang mempunyai latar puteri Soekarno presiden pertama RI, tentu mempunyai kans besar untuk mencari popularitas dengan mendompleng pada nama besar sang ayah. Seringkali kita dengar kebesaran Soekarno dikutib dalam pidato dan sambutannya. Kenangan-kenangan bersama sang ayah itu menjadi magnet yang menarik untuk dijual kepada rakyat yang masih mempunyai fanatisme terhadap Soekarno.

Namun, mengapa Megawati dijadikan bayangan dari sejumlah politisi untuk berlindung di belakang kepemimpinannya selama ini? Para politisi di balik Megawati mengatur kebijakan, mengorganisasi pemerintahan secara kolektif dan mengatasnamakan Megawati sebagai tempat sandaran dari setiap kebijakan yang dilakukan. Bukan rahasia lagi, bila selama kepemimpinannya, sikap diam Megawati menjadi alat para politisi untuk melempar isu dan sembunyi tangan. Simbol kepemimpinannya diam dan sering terlambat menangani masalah, bahkan seringnya mengeluh, menunjukkan betapa presiden kita mengalami kesulitan mengatasi konflik yang berkembang dan tidak memiliki konsep kemana negara Indonesia ini akan dikayuh. Semua berjalan tanpa arah yang jelas, bagaimana memecahkan problem krisis ekonomi, bencana alam dan kemiskinan serta pengangguran. Tidak ada kebijakan strategis secara cepat dilakukan menerobos problem kemanusiaan di Indonesia. Megawati hanya dijadikan sebagai bayangan para elit kekuasaan untuk bertahan dengan segala kasus korupsi, manipulasi dan kolusi kekuasaan menyiratkan betapa mudahnya mereka berlindung secara tenang di balik keluwesan perempuan Megawati. Budaya kita terlalu mudah memberikan maaf dan mengabaikan kesalahan membuat perangkap yang meneruskan krisis berkepanjangan. Bahkan, orang sekaliber Akbar Tandjung harus main mata untuk meloloskan kasusnya sehingga bebas dari putusan hakim.

Persaingan pemilu mendatang, bursa presiden mulai marak dengan kedatangan mbak Tutut sowan kepada para kiai untuk meminta restu dengan membawa imingan uang dari ayahnya Soeharto. Bahkan, seringkali diiringi salam dari sang ayah kepada para kiai agar menjenguk sakitnya di Cendana. Skenario yang dibuat Tutut membawa kebesaran dan kekayaan sang ayah bisa dengan mudah diterima oleh banyak kalangan. Pertanyaannya, mengapa perempuan lebih diterima dikalangan masyarakat awam, seolah kasus yang telah dilakukan oleh orde baru begitu mudah dilupakan oleh senyum cantik mbak Tutut. Ironisnya, masyarakat begitu mudah tertawa bersama mereka mengambil pembagian uang, fasilitas, barang untuk berbagai sarana pembangunan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di republik Indonesia. Kemiskinan yang merajalela, telah membuat orang begitu mudah dibeli dengan uang.

Betapa slogan para rakyat begitu menggema dari ketidak adilan yang telah dirasakan bertahun-tahun lamanya. Slogan itu berdengung ”ambil uangnya dan jangan pilih orangnya” . Bahkan sinyal itu telah mempengaruhi para masyarakat miskin dan pejabat untuk berlomba mendapatkan sebanyak-banyak keuntungan uang dari para calon pemimpin, baik DPR, DPRD, DPD, dan Presiden dan wakil presiden sebelum perhelatan pemilu berlangsung sampai setelah pemilu. Kesempatan untuk mendapatkan uang ini nampak dari pembagian yang diberikan secara berlebihan oleh kandidat kepada masyarakat, tokoh masyarakat, dan orang yang mempunyai power untuk mendongkrak suara rakyat.

Masyarakat Indonesia masih terkesan feodalistik. Memilih pemimpin dengan melihat patron dan latar belakang dari keturunan siapa tidak mempertanyakan lagi, bagaimana visi pemimpian dan kapabilitas serta komitmen moralitas pemimpin. Budaya ewuh pakewuh telah melekat pada situasi masyarakat pedesaan yang irrasional. Memilih pemimpin melalui dorongan tokoh dan tidak mempunyai pilihan politik sendiri. Keyakinan irrasional berakar pada dogma dan kepercayaan yang telah tertanam semenjak kecil dan melihat dari sisi pendidikan yang rendah. Mental-set telah terbentuk dan terus berinteraksi dengan lingkungan yang mengutamakan instink impulsive yang tanpa pikir panjang menelaah dan menjalani hidup. Cetak biru seseorang bisa dilihat dari interaksi mereka sejak kecil dari latar kehidupannya, tempat ia tumbuh.

Kesadaran yang dibangun dengan patron keadilan dan kebebasan yang bertanggung jawab akan turut melandasi kebebasan perempuan untuk maju ke tampuk pimpinan. Kebebasan yang telah mendapat angin segar di Indonesia jangan disurutkan oleh perilaku para politisi baik laki-laki dan perempuan yang membayangi dan menjegal kelompok lain secara radikal. Prinsip demokrasi yang mengarah pada keadilan gender dengan memperhatikan kualitas etik dan moral perlu dikedepankan. Niat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk memimpin meniscayakan kualitas perempuan yang handal dan bisa dipertanggungjawabkan secara riil dalam membebaskan masyarakat dari penindasan.

Tanpa kepastian hukum dan aturan yang tegak dan berwibawa, sangat sulit rasanya berharap akan adanya perbaikan sistem di negeri Indonesia. Semua akan serba bebas bertarung di antara belantara hutan tanpa ada pengadilan yang mampu memberikan putusan. Maka yang akan terjadi yang memiliki kekuasaan dan uang akan menjadi pemenang dan menindas rasa perdamaian yang sejatinya menjadi tujuan bersama. Pada kondisi seperti ini, kekerasan sangat mungkin terjadi secara nyata mengancam berlangsunganya hegemoni politisasi uang yang tersebar luas dari 24 partai. Perempuan akan menjadi terbebani secara berat dengan permainan yang kasar dan menghilangkan perasaan nurani yang semestinya dibangun berlandasan kepada keramahan hati, kehangatan dan penuh rasa kemanusiaan. Kiranya, politik tidak memberikan tempat untuk mengedepankan moral kalau hanya mengukur dengan banyaknya materi untuk membangkitkan dukungan. Alih-alih politk berdasakan moral etis yang mulya, seringkali politik membebaskan perlakuan apa saja demi tercapainya kekuasaan yang dimiliki. []

http://www.dutamasyarakat.com/detail.php?id=10725&kat=OPINI