Friday, October 10, 2003

Politik Global dan Implikasi Kesehatan Reproduksi

Konferensi Asia Pasifik kedua tentang kesehatan reproduksi di Thailand pada 6-9 Oktober 2003 membahas tentang dampak globalisasi pada kesehatan reproduksi manusia. Terpaan globalisasi yang menghembus di wilayah Asia Pacific memberikan kesan keresahan yang hampir serupa seputar kejahatan perdagangan (trafficking) manusia, prostitusi, epidemi AIDS, pergaulan bebas dengan risiko penyakit menular seksual yang hampir meningkat setiap hari. Sekitar 2 miliar setiap hari manusia harus bertarung dengan dekadensi moral dan kekerasan yang merajalela dari wilayah negara tanpa batas. Pertarungan ideologi kapitalisme dan kehidupan modernisasi tidak sertamerta membawa perbaikan kehidupan manusia. Namun, bila mencermati gejala meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, komunitas serta masyarakat pada umumnya membawa ekses yang berat bagi kehidupan global.

Maraknya prostitusi yang dirancang secara sistematis oleh kalangan kapitalisme dengan modus operandi penipuan pekerjaan, kemiskinan dan hegemoni lambat laun menjadi issue yang semakin terbuka di wilayah Asia. Betapa aspek kekerasan yang dulunya tidak dibicarakan secara jujur karena menyimpang dari tradisi dan nilai agama, kini menguak menjadi problem sosial yang harus diselesaikan secara manusiawi terhadap para korban kekerasan. Pemerkosaan, perdagangan prostitusi tidak bisa dibiarkan begitu saja, namun lebih dari itu memerlukan upaya terus menerus memikirkan dan memperjuangkan peradaban yang mampu melindungi korban dan mencegah melebarnya jaringan kekerasan.

Kekerasan yang menghegemoni perempuan dalam perjalanan waktu mendapat tantangan yang serius. Pergaulan bebas yang menggejala di masyarakat, pornoaksi dan pornografi senantiasa terbuka luas memberikan ultimatum kepada semua remaja untuk waspada dengan mengetahui informasi yang benar tentang implikasi yang ditimbulkan dari seksualitas.

Remaja yang aktif seksual semakin meningkat dari ranah situasi yang membebaskan dan terkikisnya nilai agama serta moral membawa risiko terancamnya kesehatan reproduksi. Pernikahan dini yang belum siap secara jasmani dan rohani akan memberikan ekses pada komunikasi rumah tangga. Kekerasan yang membelenggu ketidaksadaran perempuan terkadang membias pada sikap diam dan pasrah menerima kekerasan.

Lebih dari itu, mereka kebanyakan merasa enjoy dengan keberadaannya yang tidak berdaya. Ketergantungan ini nampak pada perempuan yang terhegemoni secara sistematis dan tradisi yang patriarkhi berlangsung lama. Seperti ketidaksadaran perempuan untuk mendapat hidup layak dan memperoleh perlindungan kesehatan tubuhnya.

Pada perkawinan usia dini perempuan sangat terbatas untuk memperoleh akses kesehatan dan pendidikan karena ketika aktif seksual, harus menerima risiko hamil, dan melahirkan secara aman. Sayangnya, banyak kasus aborsi yang tidak aman yang mengakibatkan perempuan meninggal.

Resiko globalisasi yang memberikan ruang kepada usaha yang membebaskan, memberi peluang kepada kekerasan untuk tumbuh secara bebas dengan organisasi yang meluas antar negara. Batas tiada lagi menjadi problem untuk transaksi seksual di wilayah negara mana pun. Untuk itu, perlu aksi mengantisipasi globalisasi ekonomi terhadap kesehatan perempuan, antara lain (1) meminimalisir area tertentu dan menangani korban kekerasan secara layak. Misalnya meminimalisir korban AIDS dengan melokalisasi pusat perawatan korban dengan pendampingan pengobatan yang intensif. Sebab, jika tidak dilokalisasi, maka korban dengan mudah menularkan epidemi aids kepada keluarga dekat, komunitas dan lingkungannya. (2) membuat aturan yang progresif untuk mencegah jaringan ekonomi global yang menghancurkan hak-hak hidup manusia, seperti penghentian eksodus tenaga kerja bagi orang yang tidak memiliki kompetensi kerja yang tidak jelas keluar negeri. Aturan yang progresif tersebut senantiasa memerlukan penegakan hukum yang serius dan adil dari aparatur pemerintah. (3) melakukan kerjasama yang terus menerus antara organisasi masyarakat, dan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan keluarga agar menyadari bahaya kekerasan seksual yang menggejala dan modus kejahatan. Dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat diharapkan akan dapat informasi yang jelas dan benar utamanya kepada remaja.

Remaja memiliki kepekaan yang tinggi untuk mengetahui secara benar apa akibat dari perlakuan seksnya. Implikasi yang akan ditanggung bagi perempuan yang aktif seksual perlu secara detail diketahui oleh perempuan. Risiko hamil, abortus serta penyakit menular seksual dari tingkah laku remaja membawa dampak pada kesehatan tubuhnya. (4) stigma dan penolakan masyarakat terhadap budaya yang menyimpang dari tradisi dan nilai agama perlu dilakukan. Masyarakat perlu responsif terhadap perubahan yang terjadi secara mendesak di lingkungannya. Tentu cara penolakan terhadap kekerasan seksual dilakukan secara bijak dan bermoral aksi yang dilakukan untuk mengantisipasi kehidupan global memerlukan wawasan etik dalam bergerak.

Sebaik apapun pemikiran dan gerakan jika dilakukan dengan kekerasan akan membawa ekses yang merugikan masyarakat. Tentunya dengan memberikan hak-hak yang jelas dan menyadarkan masyarakat dilakukan dengan cara-cara yang santun dan membawa nilai moral. (Penulis adalah peserta konferensi Asia Pacific di Thailand).

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=18912

Ena di Asia Pacific Conference on Reproductive and Sexual Health (APCRSH), Thailand, 6-9 Oktober 2003.